- Bacaan I: 2Raj. 19: 9b-11.14-21.31-35a.36
- Injil: Mat. 7: 6.12-14
DI suatu malam, saya melihat gerobak pemulung yang “parkir” di tepi jalan depan gereja. Saat saya melihat keluar, ternyata gerobak itu milik sepasang suami-istri pemulung dengan dua anak perempuannya yang masih kecil, mungkin 4 dan 5 tahun.
Mereka sedang istirahat di situ; suami-isteri itu duduk di pinggir trotoar sedang dua anaknya duduk di atas tumpukan rongsok di dalam gerobak.
Beberapa saat kemudian lewat penjual nasi goreng. Pada saat tukang nasi goreng lewat ke dua anak itu teriak: “Ma, makan, lapar.” Mamanya menenangkan kedua anaknya itu dengan mengatakan nanti ya. Tetapi kedua anak itu tetap merengek minta makan dan selalu mengatakan lapar. Ditawari minum oleh orang tuanya, mereka tidak mau.
Saya berhentikan penjual nasi goreng itu, dan saya tanya pada anak-anak itu, mau makan nasi goreng atau mie. Anak yang besar mengatakan nasi goreng sedang yang kecil mie goreng.
Ibunya spontan mengatakan: “Nasi goreng aja 1 pak, mereka gak akan habis.”
“Gak apa-apa bu, ibu dan bapak mau makan apa?,” sahutku.
“Sudah pak satu cukup untuk kami,” jawab ibu.
Setelah agak saya paksa, mereka menerima tawaran saya dan pesan nasi goreng.
Akhirnya saya pesan untuk mereka dan untuk saya sendiri. Setelah pesanan selesai saya ikut makan bersama mereka sambil ngobrol. Dari ngobrol itu saya tahu bahwa mereka sering kali hanya makan satu kali sehari. Dan hari itu kebetulan anak-anak dari siang memang belum makan. Biasanya mereka tidak rewel, kalau lapar diberi minum mereka diam.
Sambil mendesah bapak itu bicara:
“Pak, zaman sekarang susah untuk hidup baik dan mencari rezeki halal. Apalagi orang seperti saya ini, sering dicurigai. Saya jujur dikira menipu dan ditipu; saya ngomong apa adanya dikira pura-pura. Tapi hidup baik, jujur dan mencari rejeki halal itu pilihan saya Pak, jadi ya saya jalani saja dengan ikhlas,” sambungnya.
Setelah selesai makan dengan penuh syukur, mereka pergi, dan saya masih melihat kedua anak itu melambaikan tangannya dengan ceria. Saya melihat mereka menjauh, namun kata-katanya masih terngiang di telinga saya: “Untuk hidup baik dan mencari rezeki halal itu susah. Hidup baik, jujur dan mencari rejeki halal itu pilihan, sehingga dijalani dengan ikhlas.”
Prinsip hidup yang luar biasa hebat dan mulia dari orang sederhana.
Sebagaimana dialami keluarga pemulung tadi, setiap orang yang berjuang untuk hidup semakin baik, dan berjuang di jalan kebenaran, selalu berhadapan dengan tantangan dan penderitaan yang tidak mudah.
Akan tetapi sebagaimana kata bapak pemulung, hidup baik dan benar adalah pilihan.
Benarlah Sabda Tuhan sejauh diwartakan Matius: “Sempitlah pintu dan sesaklah jalan yang menuju kehidupan, dan sedikitlah orang menemukannya.”
Aku selalu dihadapkan pada pilihan dan aku mempunyai kebebasan untuk memilih. Apa yang hendak kupilih?