Renungan Harian 23 September 2020: Cukup

0
572 views
Ilustrasi - Memikul keranjang (Ist)


PW. St. Padre Pio
Bacaan I: Ams. 30: 5-9
Injil: Luk. 9: 1-6

SORE itu, saat saya sedang menikmati matahari tenggelam yang bulat memerah di halaman gereja, ada bapak tua yang memikul keranjang bambu. Karena sering ada orang yang salah jalan masuk halaman gereja, maka saya mengira bapak tua itu orang yang salah jalan.

“Bapak mau kemana, ini tidak ada jalan lagi,” sapaku.

“Bapak tidak salah jalan nak, bapak mau menawari apakah mau membeli keranjang?”

Jawab bapak itu. “Saya gak mau beli pak.”

“Tolong beli, ini bagus dan dari pagi belum ada yang beli,” pinta bapak itu.
 
Saya iba melihat bapak tua itu. Seharusnya beliau istirahat di rumah, tetapi masih harus berjualan.

Bapak tua itu badannya sudah bungkuk, dan kulit wajah sudah berkeriput menunjukkan usianya.

Kemudian bapak itu saya ajak duduk di pastoran, dan saya beli enam keranjang yang di bawanya.
 
Bapak itu saya tawari makan, beliau menolak. Tetapi setelah saya desak beliau mau.

Saya meminta  ibu yang membantu di pastoran untuk menyiapkan makan. Saat saya tawari minum teh atau kopi beliau menjawab: “Aki, minum air putih saja cukup, nak.”

“Aki, tidak minum kopi?” tanyaku.

“Minum, tetapi sekarang cukup air putih,” jawabnya.

Saya minta agar bapak tua itu disediakan kopi, selain air putih.
 
Bapa tua itu mengambil nasi sedikit, sayur dan sepotong tempe. Ayam goreng, tahu dan ikan asin, tidak diambilnya.

“Kek, jangan malu ya, kenapa lauk yang lain tidak diambil?,” tanyaku.

“Ini sudah cukup untuk aki,” jawabnya.

Sambil menemani beliau makan, saya ngobrol dengannya. Bapak tua, itu bercerita bahwa isterinya membuat keranjang dan beliau yang menjualnya.

Hasil menjual keranjang cukup untuk makan sehari-hari dengan istrinya, karena beliau hanya tinggal berdua sedang anak-anaknya sudah berkeluarga dan berpisah.

Hari itu, ia membawa keranjang lebih banyak dari biasanya karena berharap ada kelebihan uang untuk membeli obat buat istrinya. Sayang hari itu, dagangannya sampai sore tidak laku.
 
Setelah selesai makan, saya membayar enam keranjang yang saya beli, dan memberi sedikit uang untuk bapak itu.

Saya terkejut, karena bapak itu hanya mau menerima uang sejumlah harga keranjang. Saya agak sedikit memaksa, tetapi beliau tetap tidak mau menerima.

“Nak, apa yang aki terima sudah cukup untuk makan besok dan beli obat untuk nini. Riski ini sudah cukup, dan biar besok aki kerja lagi. Nanti kalau aki terima uang ini,  besok aki jadi malas kerja,” jawabnya dengan tersenyum.

Saat saya menjabat tanganya sambil sedikit membungkuk memberi hormat, bapak itu menepuk pundak saya dan berkata:

Sing sehat dan selalu berkecukupan ya nak.”
 
Saya menatap punggung bapak tua itu yang pergi meninggalkan pastoran. Saya tersentak dengan perjumpaan dan pembicaraan yang amat singkat itu.

“Orang yang luar biasa, yang dikirim Tuhan untuk mengajariku agar selalu berpikir cukup,” pikir saya dalam hati.

Orang yang amat langka di masa sekarang, di mana banyak orang berlomba untuk mengumpulkan dan menumpuk.
 
Sebagaimana nasehat dalam kitab Amsal: “Janganlah aku kau beri kemiskinan atau kekayaan; biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Jangan sampai kalau aku kenyang, lalu menyangkal-Mu.”
 
Berkata cukup membutuhkan keberanian yang luar bisa dan kepasrahan yang luar biasa pula.

Adakah aku berani mengatakan cukup?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here