- Bacaan I: Kis. 1: 12-14.
- Bacaan II: 1Ptr. 4: 13-16.
- Injil: Yoh. 17: 1-11a.
SEORANG Bapak yang sekarang sudah sepuh, berbagi pengalaman tentang pergulatan hidupnya. Dia mengisahkan, di awal karirnya, ia bekerja disebuah perusahaan swasta yang besar. Salah satu tugasnya adalah menjumpai klien-klien di luar negeri.
Dalam perjumpaan dengan klien di luar negeri, acara yang tidak pernah dilewatkan adalah dijamu oleh para klien, dan tentu saja dengan pembicaraan bisnis. Apa yang ia temui dalam perjamuan itu adalah selalu disediakan dua perempuan cantik menemani dan melayani.
Perempuan-perempuan cantik itu bukan hanya melayani perjamuan, tetapi juga menggoda yang menjurus ke arah hubungan badan. Bahkan kliennya dengan terus terang mengatakan bahwa perempuan-perempuan cantik boleh dibawa ke tempatnya menginap.
“Bukannya saya tidak tertarik dan tidak terdorong untuk mengikuti ajakan perempuan-perempuan cantik itu. Saya seorang laki-laki muda dan tulen,” lanjut bapak itu.
“Namun saya selalu ingat akan spiritualitas yang saya hayati dan perjuangkan. Saya mengatakan tidak. Saya tetap fokus untuk pekerjaan saya.”
Setiap kali berdoa, dia selalu mohon agar dihindarkan dari pencobaan. Namun dirinya amat sadar dan tahu bahwa kalau dia berjumpa dengan klien-klien, hal itu seringkali terjadi.
Maka pilihannya adalah tidak mau menjalankan pekerjaan itu supaya dirinya jauh dari pencobaan, atau dia tetap menjalankan tugas itu dan berjuang untuk setia pada kehidupan rohani yang dirinya perjuangkan, dengan resiko kehilangan klien-klien.
Ternyata dalam perjalanan waktu, para klien justru menghargainya dan menaruh hormat. Hormat karena dia selalu berani menolak tawaran dan godaan itu. Baginya hal kecil itu (walaupun dengan perjuangan luar biasa) menjadi pewartaan bagi klien-kliennya.
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan Yohanes, dalam doanya Yesus berkata: ”Bapa, telah tiba saatnya: permuliakanlah AnakMu, supaya AnakMu mempermuliakan Engkau.”
Kata memuliakan dalam hal itu berhubungan dengan sengsara dan wafatNya. Yesus dengan jelas dan tegas tidak mohon agar dihindarkan dari sengsara dan wafat akibat penolakan manusia.
Justru dengan kerelaannya untuk tetap menderita, menunjukan (mewartakan) betapa cinta Allah kepada manusia. Allah yang berpihak pada manusia, meski manusia menolaknya. Allah tetap setia, untuk mengembalikan manusia; yang lebih memilih kegelapan; menuju terang.
Belajar dari pengalaman di atas, kita selalu berdoa “…hindarkan kami dari pencobaan…”
Itu bukan berarti Allah menghilangkan pencobaan atau aku melarikan diri dari pencobaan. Tetapi justru aku dipanggil untuk berjuang di dalam pencobaan itu dan tetap berpegang pada ajaranNya.
Pencobaan bukan untuk dicari dan didekati, tetapi bila pencobaan itu datang, atau aku dihadapkan, atau dimasukkan dalam pencobaan, aku tidak lari atau menyerah (menikmati) pada pencobaan. Aku tetap tekun dan setia berjuang di dalamnya.
Persoalannya adalah apabila aku ada dalam pencobaan, dapatkah aku tekun dan setia berjuang berpegang pada belas kasihNya, sehingga pada akhirnya aku keluar, tetap dengan terang yang kupunya?
Iwan Roes RD.