Bacaan I: Ef. 4: 32-5: 8
Injil: Luk. 13: 10-17
SAAT saya sedang makan siang, tiba-tiba ada tamu meminta Sakramen pPrminyakan untuk keponakannya. Beliau bercerita bahwa keponakannya sedang kritis.
Saya segera menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan dan segera pergi ke rumah sakit.
Ketika saya sampai di rumah sakit, saya terkejut karena yang sedang sakit adalah anak yang saya kenal dengan baik.
Anak ini aktif sebagai misdinar, ikut di kegiatan orang muda katolik dan banyak kegiatan gereja dia ikuti.
Orang tuanya adalah aktivis di paroki kami.
Saya segera mengajak keluarga untuk berdoa bersama untuk anak itu. Setelah selesai berdoa bersama saya menemui orang tua anak itu.
Saya bertanya: “Bapak, putranya sakit apa? Rasanya kemarin saya masih lihat di Gereja?”
Bapak itu menarik nafas panjang dan dalam mencoba untuk menahan tangis: “Pastor, dia overdosis.”
“Waduh, kok bisa?” kata saya spontan.
“Itulah Pastor, saya juga tidak mengerti kenapa bisa seperti itu,” jawab bapak itu dengan duka yang mendalam.
“Pastor, saya amat sedih, dan menyesal dengan kejadian ini. Saya merasa kecolongan dengan pergaulan anak saya. Saya selama ini melihat bahwa anak saya aktif di gereja, tetapi saya tidak memperhatikan pergaulan dia dengan teman sekolah dan di kampung. Dan ternyata pergaulan dengan teman-teman sekolah dan kampung anak saya terpengaruh kebiasaan minum minuman keras dan obat.
Pastor, semua itu saya ketahui setelah anak ini overdosis, dan saya mendengar cerita ini dari teman-temannya. Saya sedih, dan kecewa, namun demikian saya tidak bisa menyalahkan anak saya sepenuhnya. Semua ini salah saya dan mamanya yang kurang perhatian pada anak ini. Peristiwa ini menyadarkan kami untuk lebih memperhatikan anak saya, supaya tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan yang kurang baik,” bapak itu mengungkapkan penyesalannya.
Saya sedih mengalami peristiwa ini. Anak yang baik, aktif di gereja; keluarganya adalah keluarga terpandang di paroki maupun masyarakat namun harus terjadi peristiwa seperti ini.
Pengaruh lingkungan yang kurang baik amat mudah menyeret siapapun untuk menjadi bagian dari lingkungan itu.
Dalam bahasa jawa ada pepatah “Cedak kebo gupak” yang kurang lebih berarti, kalau dekat kerbau akan terkena kotorannya.
Satu pihak orang tua mendorong anak-anaknya untuk bergaul dengan siapapun namun tetap harus melindungi dari pengaruh lingkungan yang kurang baik.
Sebagaimana kata St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus: “Janganlah kalian disesatkan orang dengan kata-kata yang hampa, karena hal-hal yang demikian mendatangkan murka Allah atas orang-orang durhaka.”
Bagaimana dengan aku, adakah aku orang yang teguh dalam iman dan pendirian? Sehingga tidak mudah disesatkan?