PW St. Monica
Bacaan I: 1Kor. 1: 1-9
Injil: Mat. 24: 42-51
ADA ungkapan dalam bahasa Jawa “Wong urip neng ngalam donya kuwi mung koyo wong mampir ngombe”. (Orang hidup di dunia itu bagai orang yang singgah untuk minum). Ungkapan tersebut berlatar pengalaman orang-orang desa pada masa yang membawa dagangan ke kota.
Pada masa lalu, orang-orang desa kalau mau menjual hasil bumi atau hasil rumah tangganya, harus pergi ke kota. Pada umumnya keramaian pasar-pasar di kota terjadi pada hari pasaran tertentu, misalnya pahing, pon, wage kliwon atau legi. Di luar hari-hari pasaran, pasar-pasar akan sepi.
Orang-orang desa kalau mau ke kota, harus jalan kaki, karena pada masa itu belum ada transportasi umum seperti sekarang.
Mereka akan berangkat malam hari atau dini hari agar pagi hari bisa sampai di pasar untuk menjual hasil bumi atau hasil rumah tangganya.
Pada masa lalu setiap rumah selalu menyediakan kendi (tempat minum dari gerabah) di depan rumahnya, sehingga siapapun orang yang lewat dan kehausan dapat minum dari air kendi yang tersedia.
Orang-orang desa yang berjalan ini sering kali kalau haus akan minum dari air kendi yang disediakan di depan rumah orang. Mereka sejenak melepas lelah dengan minum air kendi itu. Itulah yang disebut dengan mampir ngombe.
Artinya hanya sebentar dan hanya secukupnya. Kalau kelamaan istirahat makan akan ketinggalan pasar, dan kalau kebanyakan minum sakit perut sehingga berat untuk berjalan akibatnya ketinggalan pasar.
Dengan ungkapan “Urip mung mampir ngombe” mau menegaskan bahwa hidup di dunia ini sifatnya sementara dan hidup di dunia ini bukan tujuan. Ada hidup yang kekal dan menjadi tujuan utama dari hidup ini.
Dengan demikian hidup di dunia ini hendaknya selalu diarahkan pada tujuan hidup yang kekal. Menjalani hidup dengan secukupnya jangan mengumbar hawa nafsu yang menyebabkan orang lupa dengan tujuan hidup dan akibatnya tidak sampai pada tujuan hidup itu sendiri.
Hidup di dunia jangan takut untuk prihatin (menderita) dan mengalami kesulitan, asal semua mengarah pada tujuan hidup. Semua penderitaan dan kesulitan itu tidak lama, tidak kekal.
Maka hal paling penting dalam menjalani peziarahan hidup di dunia ini adalah selalu “eling lan waspada” (selalu sadar/aware dan waspada) agar tidak berbelok dari arah tujuan hidup yang sebenarnya.
Kiranya ungkapan dalam bahasa Jawa di atas senada dengan Sabda Tuhan sejauh diwartakan Matius: “Hendaklah kamu siap siaga, sebab Anak Manusia datang pada saat yang tidak kalian duga.”
Persoalan besar adalah bagaimana aku selalu eling lan waspada dalam hidup yang “mung mampir ngombe” itu?