Bacaan I: Ayb. 1: 6-22
Injil: Luk. 9: 46-50
PADA suatu sore saya kedatangan tamu seorang ibu muda yang ingin konsultasi. Setelah kami saling mengucapkan salam ibu itu memulai dengan permintaan: “Pastor, saya mohon doa dan berkat yang dapat membebaskan karma yang saya tanggung.”
Saya agak terkejut dengan permintaan ibu tersebut, mengingat tidak ada ajaran karma dalam Gereja Katolik.
“Maaf ibu, kalau boleh tahu, apa yang sebenarnya terjadi?,” tanya saya.
“Begini pastor,” ibu itu memulai kisahnya.
“Pastor, saya tidak mengerti perkawinan saya selalu berantakan, karena suami meninggalkan saya demi wanita lain. Saya sebelumnya sudah menikah; tidak di gereja, perkawinan kami berjalan 5 tahun. Suami saya pergi dari rumah dengan wanita lain. Saya bekerja keras menjadi tulang punggung keluarga, karena suami saya tidak bekerja. Setiap hari judi dan main perempuan. Akhirnya kami bercerai.”
“Kemudian saya bertemu dengan orang katolik dan mengajak menikah. Saya mau jadi Katolik dan mau menikah dengan dia. Karena saya tahu perkawinan katolik tidak boleh cerai.”
“Tetapi kejadian berulang, suami saya selingkuh dan sekarang pergi dengan wanita lain. Saya sedih, hancur pastor. Rasanya saya sudah berjuang menjadi isteri yang baik, saya rela keluar dari pekerjaan dan menjadi ibu rumah tangga agar bisa ngurus rumah tangga dengan baik. Tetapi toh yang terjadi suami saya pergi juga.”
“Suatu kali saya bertemu dengan seorang teman dan mengatakan bahwa itu karena karma. Jadi saya harus dibebaskan dari karma itu.”
“Pastor, menurut saya, karma itu saya terima akibat perilaku ibu saya. Pastor, ibu saya dulu meninggalkan ayah saya. Dan saya karena selingkuh dengan laki-laki lain. Dan kemudian saya tahu ibu sudah tiga kali kawin cerai. Karena ibu saya selalu meninggalkan suaminya pergi dengan laki-laki lain. Begitu Pastor, jadi saya mohon dibebaskan dari karma.”
Pandangan seperti ibu muda itu masih banyak hidup dan dihidupi oleh banyak dari kita. Penderitaan, sakit dan kemalangan yang dialami seseorang adalah akibat dosa.
Karena orang itu berdosa maka dia menderita, sakit atau ditimpa kemalangan. Baik itu dosa dirinya sendiri atau dosa leluhurnya.
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Ayub menegaskan bahwa penderitaan, sakit atau kemalangan tidak serta merta karena akibat dosa.
Penderitaan, sakit dan kemalangan bisa menimpa baik orang suci maupun orang berdosa. Sebagaimana kisah Ayub orang yang suci di mata Allah tetapi ditimpa kemalangan bertubi-tubi.
Hal yang paling penting adalah bagaimana aku menghadapi penderitaan, sakit dan kemalangan.
Aku menyalahkan Tuhan? Menyalahkan leluhur?
Dan yang lebih penting adalah, apakah aku mudah menghakimi orang lain bahwa penderitaan, sakit dan kemalangan karena dia berdosa?