Hari Raya St. Petrus dan Paulus
Bacaan I: Kis. 12: 1-11
Bacaan II: 2Tim. 4: 6-8.17-18
Injil: Mat. 16: 13-19
BEBERAPA tahun yang lalu, seorang kerabat menikahkan anak perempuannya (mantu). Acara pernikahan ini menggunakan tata cara adat Jawa yang lengkap.
Mulai sejak memasang tenda, mencari air tujuh sumber untuk siraman, acara midodareni (malam sebelum hari perkawinan) dan pada saat resepsi, semua menggunakan tatacara adat Jawa yang lengkap termasuk memakai gamelan lengkap.
Saya yang mengikuti semua rangkaian acara itu kagum dengan berbagai simbol yang ditampilkan dengan makna yang luar biasa mendalam. Acara terasa meriah dan agung bagi saya, walaupun memang kelihatan dan terasa begitu rumit dan ribet.
Saya melihat pengantin menjalani semua rangkaian acara itu seperti anak kecil yang harus selalu dituntun dengan segala kebingungannya. Bahkan beberapa kali saya perhatikan pengantin agak kurang sungguh-sungguh dalam menjalankan beberapa rangkaian acara itu.
Esok hari ketika kami sedang ngobrol-ngobrol, saya bertanya kepada kerabat saya, mengapa memilih dengan tatacara adat Jawa yang lengkap dengan segala kerumitannya?
Saudara saya menjawab, karena ingin ikut melestarikan budaya Jawa. Kemudian saya bertanya kepada mempelai pria yang ikut ngobrol pagi itu:
“Kenapa kamu memilih adat Jawa yang rumit begini?”
Dia menjawab: “Saya sih ikut gimana orang tua aja Om.”
“Terus kamu ngerti kenapa harus melakukan ini dan itu?,” tanya saya lebih lanjut.
“Ngerti sedikit sih Om, bapak sempat cerita sedikit,” jawabnya.
“Waktu kamu menjalankan rasanya gimana?,” tanyaku.
“Gak ada rasa apa-apa Om, ikutin aja apa yang diminta. Semakin cepat semakin baik,” jawabnya sambil tertawa.
Saya bisa mengerti dan merasakan apa yang dialami oleh pengantin, dalam menjalani seluruh rangkaian tata cara yang hanya sekedar mengikuti dan tidak ada rasa apa-apa. Dia tidak mengerti berbagai simbol yang ditampilkan dan yang harus dijalankan. Terlebih lagi seluruh rangkaian tatacara itu bukan pilihan mereka. Maka tidak mengherankan bahwa mereka nampak seperti wayang yang digerakkan oleh dalang.
Tanpa penghayatan dan tanpa jiwa.
Bukankah sering kali dalam menjalani hidup imanku, aku seperti pengantin itu? Menjalankan segala sesuatu tanpa penghayatan dan tanpa jiwa. Aku menyebut diri pengikut dan murid Yesus dan memang benar karena aku mengimani Yesus.
Apakah aku mengenal Dia? Aku pasti mengenalNya, lewat pengajaran maupun lewat bacaan-bacaan yang kubaca. Sejauh mana aku mengenal Dia? Kiranya sejauh yang kudengar dan kubaca.
Kalau aku ditanya lebih lanjut, siapakah Yesus menurut aku? Artinya aku harus menghilangkan pengetahuanku tentang Yesus menurut orang lain, menurut para ahli dan menurut buku-buku yang kubaca, apakah aku bisa menjawab?
Jawaban yang bersumber dari pergulatan peziarahan hidupku bersama dengan Dia, menjadi sulit bagiku. Jangan-jangan sebenarnya aku tidak mengenal dia yang hidup dalam diriku, atau aku mengenal dia sejauh dalam pengetahuan dan tidak hidup dalam pengalaman pergulatan peziarahan hidupku.