Bacaan I: Ayb. 42: 1-3. 5-6. 12-17
Injil: Luk. 10: 17-24
SETELAH misa harian pagi, ada pasangan suami isteri yang masih muda, meminta waktu untuk ngobrol.
Melihat wajah mereka kelihatan bahwa mereka berdua sedang berduka. Ibu muda itu matanya sembab kelihatan habis menangis, sedangkan bapak muda wajahnya kelihatan kusut.
Saya mempersilakan mereka untuk menunggu sebentar di ruang tamu.
Setelah berbasa basi dan mereka memperkenalkan diri dengan mengingatkan saya bahwa tiga tahun lalu saya memberkati perkawinan mereka, saya mulai bertanya: “Apa yang dapat saya bantu?”.
“Pastor, kami lelah, kami ingin berpisah,” kata bapak muda itu menjawab pertanyaan saya.
“Oh, kenapa mau berpisah? Kan masih tahun-tahun madu,” kataku untuk sedikit mencairkan
“Itulah pastor, semakin hari, kami pikir kami akan semakin mengenal dan semakin mengerti satu sama lain, tetapi ternyata justru sebalik. Kami semakin lama jadi tidak saling kenal. Saya sibuk banget dan dia juga amat sibuk,” kata suami.
“Karir kami sedang bagus, pastor. Sejak setelah kami menikah, karir kami semakin bagus, dan kami bersyukur banget, kami berpikir ini rezeki kami dalam perkawinan ini. Tetapi dengan karir kami yang meningkat kami jadi gak punya waktu.”
“Awal-awal masih sempat telpon kalau siang lama-lama tidak ada waktu. Pulang sudah malam bahkan sering kali larut malam, saya capek, dia juga capek, kami ingin tidur. Tidak ada waktu lagi untuk kami berdua,” kata isteri menambahkan.
“Kemarin, kebetulan kami sore sudah pulang. Saya senang karena bisa ketemu isteri dan menikmati rumah lebih lama, yang sudah lama tidak terjadi. Kami ngobrol tetapi malah jadi ribut.”
“Saya ngobrol dengan isteri saya tetapi kok rasanya bukan sedang ngobrol dengan isteri saya. Dia cerita tentang karirnya, tentang keberhasilannya. Saya pun juga cerita tentang karir dan keberhasilan saya. Pada saat bicara tentang waktu untuk bertemu tidak ada, mulai ribut. Kami masing-masing merasa bahwa semua ini demi masa depan keluarga kami.”
“Dia menuntut saya bangga dan mendukung keberhasilan dia, saya pun juga menuntut dia begitu. Entah bagaimana, kami menjadi saling membanggakan keberhasilan dan kesuksesan kami. Dan dengan apa yang kami capai sekarang untuk keluarga.”
“Kami masing-masing menunjukkan peran kami untuk menghidupkan keluarga kami, dan kami saling merasa lebih berperan. Saya sampai minta isteri untuk melihat bahwa tidak banyak orang muda yang bisa sukses seperti saya. Isteri saya juga mengatakan yang sama.”
Suami menambahkan.
“Pastor, saya sudah lelah menghadapapi ini semua ini, saya mau sendiri saja. Saya mau bebas dengan hidup dan karir saya. Dan saya kira dia pun begitu. Saya sedih, pastor…”
“Mengapa ketika kami mendapat anugerah besar dalam karir kami, tetapi justru cinta kami jadi porak poranda. Akhir-akhir ini saya merasa semakin asing dengan suami saya. Rumah menjadi semacam tempat kost, bukan rumah kami lagi.”
Istri menambahkan.
“Baik, terima kasih ceritanya. Yuk kita ngobrol tentang kisah cinta kalian. Saya agak lupa dengan kisah kalian. Bisa cerita lagi?,” ajakku kepada mereka.
Tiba-tiba muka mereka yang tegang menjadi kelihatan rileks dan cerah. Mereka saling melirik dan tersenyum tersipu.
Kisah pasangan ini memunculkan pertanyaan besar dalam diri saya, “mengapa kisah sukses seseorang, menghantarnya pada kesepian yang dalam?”
Kiranya sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan St. Lukas menjawab pertanyaan besar saya: “Namun demikian janganlah bersuka cita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersuka citalah karena namamu terdaftar di surga.”
Aku sering terpukau dengan keberhasilanku, terpukau dengan kebanggaanku, dan aku terjebak dengan ke-terpukau-anku. Semakin bangga aku dengan diriku dan keberhasilanku semakin jauh aku tersesat dalam keterpukauanku.
Pada saat yang sama ada kekosongan dalam hatiku yang pada awalnya tidak kurasakan.
Dan pada satu titik aku sampai pada kekosongan yang mendalam, dan aku terpuruk dalam kesepian yang dalam.
Hal yang paling penting ternyata adalah menghidupi pengalaman syukur atas rahmat yang membuat aku berhasil. Membangun kesadaran bahwa aku hanyalah alat dan sarana.
Dengan demikian keberhasilan dan kesuksesanku bukan pada hasil karya dan karir yang luar biasa tetapi karena aku dipilih dan dipakai oleh Allah untuk mengejawantahkan karya-Nya.
Pengalaman syukur itulah yang menjadikan aku selalu bahagia dalam hidup, dan jauh dari rasa kesepian. Aku melihat hidup menjadi indah dan memberikan kelimpahan rahmat.
Adakah aku terjebak dalam keterpukauanku?