Renungan Harian 30 Agustus 2020: Terserah

0
574 views
Ilustrasi -- Batal menikah hanya gara-gara kata terserah kamu (Ist)


Minggu Biasa XXII
Bacaan I: Yer. 20: 7-9
Bacaan II: Rom. 12: 1-2
Injil: Mat. 16: 21-27
 
BEBERAPA tahun yang lalu, saya menghadapi peristiwa yang cukup mengejutkan dan sekaligus menyedihkan. Pengalaman ini tentang pasangan calon pengantin yang hendak saya berkati dalam perayaan ekaristi penerimaan Sakramen Perkawinan.
 
Pasangan ini tinggal di luar kota dan hendak menikah di paroki dimana saya bertugas. Karena keluarga mempelai perempuan berdomisili di paroki tempat saya bertugas. Semua urusan administrasi sudah dibereskan oleh pastor paroki tempat kedua pengantin berdomisili.

Semua sudah disiapkan dengan baik, saya juga melihat koor sudah latihan, keluarga sudah menyiapkan segalanya. Bahkan saya dengan pengantin sudah mengadakan gladi resik.
 
Namun kurang lima hari kedua pengantin didampingi kedua orang tuanya membatalkan perkawinan itu.

Saya cukup terkejut, karena tinggal lima hari lagi. Kedua orangtua pengantin menangis dan mohon agar saya sebagai pastor dapat menasehati mereka.

Kepada kedua orang tua pengantin saya hanya bisa mengatakan, mohon bersabar dan lebih baik sekarang batal daripada nanti kalau sudah menikah.
 
Ketika saya mengajak kedua pengantin ngobrol mengenai sebab mereka membatalkan, saya menjadi terkejut karena pemicunya adalah kata “terserah” yang sering diucapkan oleh calon pengantin perempuan.

Calon mempelai pria bercerita bahwa dirinya tidak tahan dengan keributan-keributan yang sering terjadi dan sungguh-sungguh menguras emosi dan energi.
 
Sejak pacaran, calon mempelai perempuan, kalau diajak berbicara khususnya berkaitan dengan pilihan selalu menjawab:

“Terserah kamu saja, aku ikut .”

Tetapi nanti pada saat sudah diputuskan dan dijalankan mempelai perempuan akan marah-marah dan mengkritik harusnya begini dan begitu.

Dia memberi contoh kalau diajak makan, ditanya mau makan apa dan di mana, jawabnya terserah saya ikut saja.

Tetapi saat diajak makan nasi uduk, selama makan itu calon isteri ini ngomel-ngomel yang gak enaklah, harusnya bukan makan ini dan itu. Hal itu yang memicu keributan.
 
Demikian pula ketika persiapan pesta perkawinan, jawaban calon mempelai perempuan terserah kamu saja.

Dan ketika semua sudah siap, calon mempelai perempuan marah-marah, karena dia tidak seneng dengan pakaiannya, dengan acara adat dan macam-macam.

Intinya semua apa yang sudah dipersiapkan ini tidak benar.
 
Pada saat saya konfirmasi ke pengantin perempuan, dia mengatakan bahwa dirinya memang kalau ditanya tidak bisa mikir dan tidak bisa menentukan pilihan. Tetapi setelah diputuskan dan dijalankan, dia baru bisa mikir bahwa ini tidak baik, itu tidak menyenangkan.
 
Setelah mendengarkan cerita mereka maka saya setuju bahwa perkawinan ini ditunda.
 
Belajar dari pengalaman calon pengantin di atas, betapa sulit untuk menyatukan pikiran, pandangan dan kehendak.

Bahkan ketika sudah mengatakan terserah, yang ditangkap sebagai kepasrahan pun ternyata tidak berarti sungguh-sungguh menyatukan diri.

Menyatukan diri baik pikiran, pandangan dan kehendak dengan orang lain membutuhkan kerelaan untuk menanggalkan diri dan siap untuk menderita.
 
Kiranya itu pula yang diminta Yesus bagi para pengikutnya sejauh diwartakan Matius:

“Setiap orang yang mau mengikuti Aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya dan mengikuti Aku.”

Penyangkalan diri bukan untuk menjadikan diri kita sebagai pribadi lain tetapi aku mau menyatukan diri dengan cara berpikir, cara pandang, dan cara bertindak Yesus.
 
Dalam praktek bukankah aku sering memaksakan kehendaku pada Tuhan? Dan entah sadar atau tidak aku memanipulasi Allah agar menuruti semua keinginanku?

Bagiku sering kali Allah itu baik dan maha segala maha manakala memenuhi segala keinginanku.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here