Renungan Harian 4 Agustus 2020: Penuntun

0
825 views
Ilustrasi - Tumpukan buku yang mesti dibaca by ist


PW. St. Yohanes Maria Vianney
Bacaan I: Yer. 30: 1-2.12-15.18-22
Injil: Mat. 15: 1-2.10-14
 
ENTAH kapan persisnya saya mendengar kisah ini. Pak Moedjanto, beliau adalah mantan guru sejarah di Seminari dan kemudian menjadi dosen sejarah, bercerita.

Dalam sebuah acara hajatan ada seseorang yang bertanya kepada tamu sebelahnya tentang pekerjaannya. Tamu itu menjawab bahwa pekerjaannya adalah dosen. Mendengar jawaban itu, tamu yang bertanya, bertanya lagi soal berapa buku yang sudah ditulisnya.
 
Dari cerita itu, saya berpikir kalau orang bertemu dengan seseorang yang mengatakan bahwa dirinya seorang imam, apa yang akan ditanyakan pada imam itu. Sudah pasti tidak akan ditanya berapa buku yang telah dihasilkan, mungkin orang akan bertanya apakah imam itu sering membaca Kitab Suci sehingga sudah khatam beberapa kali; mungkin ditanya berapa banyak dirinya berdoa; mungkin ditanya apakah masih terus belajar atau tidak; atau mungkin ditanya bagaimana dirinya mempersiapkan khotbah yang menarik.
 
Andai benar itu yang ditanyakan, jawaban apa yang akan kuberikan? Apakah saya membaca Kitab Suci? 

Saya membaca, tapi belum pernah khatam.

Apakah saya berdoa? saya berdoa tapi sedikit, meditasi sering bolong, dan sering banyak melantur, kalau tidak mengantuk.

Apakah saya menjalankan doa Brevir? Saya berdoa, walau kadang bolong. Apakah saya terus belajar? Saya belajar sendiri itupun kalau ingat. Apakah aku mempersiapkan khotbah? Saya mempersiapkan khotbah, tetapi seberapa mendalam, he… he.
 
Sebagaimana seorang dosen yang bertugas menuntun mahasiswa agar memiliki dan menguasai dasar ilmu dan dasar keahlian, maka buku yang ditulis menjadi ukuran seberapa serius dan seberapa mendalam beliau mempersiapkan diri untuk menuntun mahasiwa.

Demikian pula pertanyaan-pertanyaan untuk para imam juga menjadi ukuran seberapa serius dan mendalam saya sebagai imam mengolah dan mempersiapkan diri agar dapat menuntun umat.
 
Manakala jawabanku masih seperti di atas, menunjukkan betapa dangkal dan “sambalewanya” (kurang serius, sering abai) dalam mengolah dan mempersiapkan diri. Dengan demikian bagaimana mungkin saya bisa menuntun umat?

Dengan demikian nyatalah kritik Yesus sebagaimana disampaikan Matius: “Mereka itu orang buta yang menuntun orang buta. Jika orang buta menuntun orang buta, pasti keduanya jatuh ke dalam lubang.”
 
Jangan-jangan aku bukan seperti orang buta menuntun orang buta, akan tetapi orang buta menuntun orang yang bisa melihat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here