Bacaan I: 1 Kor. 4: 1-5
Injil: Luk. 5: 33-39
HARI itu, saya menerima tamu pasangan suami–isteri yang masih muda. Mereka baru 4 tahun menjalani hidup perkawinan. Ketika melihat pasangan itu, saya merasa pasangan ini pasangan yang baik dan saling mencintai. Sejak bertemu pertama dan mulai dengan ngobrol basa–basi, pasangan ini selalu menunjukkan kemesraan.
Setelah basa-basi, saya mulai bertanya kepada mereka: “Bagaimana, apa yang dapat saya bantu?”
“Maaf pastor, mengganggu waktu pastor, kami hanya ingin ngobrol-ngobrol,” kata suami.
Isterinya segera langsung menimpali: “Kami ingin curhat pastor.”
“Saya tidak terganggu kok.Ok saya senang bisa bertemu dan saya siap mendengarkan,” kata saya.
Mereka tertawa.
“Pastor, sesungguhnya kami merasa lelah dengan hidup kami. Kami seperti hidup dalam kepura-puraan dan memenuhi tuntutan harus ini, harus itu,” kata suami membuka pembicaraan.
Saya agak terkejut dan berpikir ada masalah apa dengan pasangan ini. “Sok, (silakan) ceritakan apa yang membuat kalian lelah,” kata saya.
“Ceritanya panjang pastor. Sebenarnya awal persoalan terjadi waktu kami memutuskan untuk menikah. Ketika kami memutuskan menikah dan bicara dengan orangtua kami, mereka lalu mengajak saya pergi ke orang ‘pinter’ untuk tanya apakah kami cocok atau tidak. Menurut perhitungan orang pinter itu kami sebenarnya tidak cocok, kalau dipaksakan nanti kami akan selalu ribut, nanti kami akan selalu sendiri-sendiri dan kami akan menderita. Kalau urusan rejeki kami akan berkelimpahan.”
“Setelah mendengar dari orang pinter, orangtua kami bicara, apakah tidak sebaiknya dibatalkan keputusan kami untuk menikah. Kami mengatakan kami tetap mau menikah dan akan membuktikan bahwa ramalan orang pinter itu salah.”
“Pastor, hidup perkawinan kami tidak ada masalah, tetapi kami banyak harus berpura-pura. Saya bekerja dan isteri juga bekerja. Pada waktu, kami hanya punya satu mobil, saya antar jemput isteri. Sekarang kami mampu membeli dua mobil, seharusnya isteri bisa pergi ke kantor sendiri. Itu lebih efektif, tetapi karena kami harus membuktikan bahwa kami selalu bersama maka kami memutuskan tetap antar jemput.”
“Saat kami ada acara, kalau salah satu dari kami gak bisa pergi yang gak usah pergi semua. Padahal sebenarnya kami gak ada masalah, kalau salah satu dari kami yang pergi. Tetapi keputusan itu demi pembuktian itu.”
“Banyak hal yang kami lakukan untuk membuktikan bahwa ramalan itu salah. Satu sisi kami tahu bahwa itu kepura-puraan, tetapi sisi lain kami tidak mau keluarga besar kami mengatakan: ‘betulkan ramalan itu’. Itu semua membuat kami lelah. Kami berdua sebenarnya ingin kami hidup normal gak usah berpura-pura, karena sebenarnya hidup perkawinan kami tidak ada masalah.”
“Menurut pastor, kami harus bagaimana? Dan ramalan itu datangnya dari Tuhan bukan sih pastor?,” mereka mengakhiri curhatnya.
Betapa banyak dari antara kita yang mengalami kelelahan hidup, karena mau membuktikan sesuatu melalui hidup yang dijalani. Betapa banyak dari antara kita yang mengalami kelelahan hidup karena hidup terpenjara oleh sebuah ramalan atau “kutukan”
Kiranya hidup bukan untuk membuktikan atau untuk melawan sesuatu.
Cara hidup atau bentuk yang aku pilih adalah sebuah pilihan yang dengan sadar dan bebas aku pilih. Dasar dari pilihan cara hidupku adalah kesadaran dalam diriku bahwa dengan cara ini menghantar aku pada tujuan hidupku.
Hidup harus berbuah itu harus.
Buah itu merupakan hasil dari pergulatanku memilih sarana-sarana terbaik agar aku selalu ada di jalan menuju tujuan hidupku.
Oleh karenanya, aku menjalani peziarahan hidupku dengan bahagia karena semua berdasarkan pilihan bebasku.
Bukan karena tuntutan dari orang lain atau dari apapun, bukan pula karena ketakutanku akan penghakiman dari orang lain atau dari sesuatu.
Sebagaimana disampaikan Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus: “Dialah yang akan menerangi juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan. Dialah pula yang akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati. Pada saat itulah tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah.”