PW. St. Paulus Miki
Bacaan I: Ibr. 13: 15-17. 20-21
Injil: Mrk. 6: 30-34
BEBERAPA tahun yang lalu, saya mengikuti sebuah pertemuan selama tiga hari. Pada hari pertama,acara pertemuan adalah mendengarkan masukan-masukan dari narasumber yang berkompeten berkaitan dengan acara itu. Dari pagi hingga sore hari kami mendengarkan paparan para narasumber.
Pada pertemuan itu ada peserta, seorang bapak yang sudah berumur, yang kami rasakan mengganggu. Awalnya saya pikir hanya saya yang terganggu dengan sikap bapak itu, ternyata hampir semua peserta terganggu.
Setiap kali ada sesi tanya jawab pada saat acara pemaparan, bapak itu selalu paling duluan meminta waktu untuk berbicara. Bapak itu tidak bertanya, tetapi selalu menyanggah pemaparan para narasumber.
Ia selalu mulai dengan pernyataan: “Saya tidak setuju dengan pendapat narasumber. Berdasarkan pengalaman saya ketika saya menjabat…….”
Ia akan bicara panjang lebar yang intinya menunjukkan kehebatan dia yang dulu sebagai pejabat. Setiap kali diingatkan oleh moderator, beliau marah karena tidak mau dipotong pembicaraannya.
Pada sesi-sesi yang lain,
ketika tidak diberi kesempatan bicara beliau marah dan ngetok-ngetok meja atau langsung berdiri dan bicara. Pada sesi-sesi akhir setiap kali bapak itu minta kesempatan untuk bicara, peserta yang lain mulai membuat keributan dengan suara-suara macam-macam yang menunjukkan ketidaksenangan pada bapak itu.
Pada saat kami para peserta diminta membuat tulisan dan nanti akan dipilih secara acak oleh panitia untuk presentasi, semua peserta membuat tulisan, kecuali bapak itu.
Pada saat presentasi bapak itu minta diberi kesempatan untuk presentasi, tetapi ditolak oleh panitia karena tidak ada tulisan yang dikumpulkan.
Bapak itu sangat marah:
“Saya tidak perlu membuat tulisan, seharusnya kalian yang menuliskan apa yang saya katakan. Selama ini saya tidak pernah membuat tulisan-tulisan, itu bukan pekerjaan saya, pekerjaan saya itu menerangkan, kalian yang menuliskan.”
Bapak yang sedang marah-marah itu ditinggalkan oleh semua orang, sehingga dia memutuskan meninggalkan tempat acara dengan marah.
Setelah bapak itu pergi, kami para peserta membicarakan bapak itu. Satu pihak kami jengkel dan terganggu dengan sikap bapak itu, tetapi di lain pihak kami kasihan dengan bapak itu.
Pada saat sedang membicarakan bapak itu ada seorang peserta nyeletuk:
“Hati-hati kita nanti juga jadi tua lho.”Kami semua langsung tertawa; celetukan yang bernas.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Markus, ketika para murid kembali dari pengutusan dan menceritakan kisah sukses mereka, Yesus justru mengajak para murid untuk ke tempat sunyi agar bisa sendirian.
Kiranya Yesus mengajak para murid untuk tidak terpukau dengan kisah sukses mereka, tetapi berani melihat siapa diri mereka sendiri. Ketika sendirian jauh dari orang-orang yang kagum dan memuji, melihat kenyataan diri apakah benar seperti pandangan orang-orang yang kagum dan memuji itu. “Marilah ke tempat sunyi, supaya kita sendirian dan beristirahatlah sejenak.”
Bagaimana dengan aku?
Beranikah aku menatap diriku sendiri dalam kesendirianku?