Bacaan I: 1Kor. 5 : 1-8
Injil: Luk. 6: 6-11
IBU paroki itu sudah terkenal sebagai aktifis yang luar biasa di paroki di tempat di mana saya pernah bertugas. Sebutan ibu paroki dialamatkan kepada beliau, karena semua kegiatan paroki pasti melibatkan beliau. Atau minimal beliau pasti hadir.
Beliau sudah begitu lama menjadi koodinator salah satu bidang di paroki. Sudah sejak pendahulu saya, beliau sudah berkarya dan menjadi koodinator bidang. Banyak orang mengatakan bahwa perannya tidak tergantikan.
Bahkan pendahulu saya mengatakan jangan mengusik ibu itu, karena akan menimbulkan masalah besar di paroki ini.
Ketika saya pertama kali datang di paroki itu untuk bertugas, ibu itu memperkenalkan diri bahwa beliau sudah menjabat sebagai koordinator bidang sejak lama.
Beliau mengatakan bahwa sampai sekarang belum ada yang menggantikan, walaupun menurutnya beliau sudah capai. Dan pernyataan beliau kalau sudah capai berkali-kali diulang disampaikan.
Dengan pertimbangan beliau sudah capai dan sudah amat lama, tetapi juga pesan dari pendahulu saya, maka saya tidak menggantikan beliau tetapi menempatkan orang-orang muda untuk membantu beliau.
Setiap kali bertemu dengan saya, ibu itu selalu mengeluh tentang anak-anak muda yang membantunya. Beliau selalu mengatakan anak-anak mudah itu tidak becus, dan menurut beliau tidak bisa dipertahankan dan membuat beliau lebih lelah.
Beliau mengatakan lebih baik kerja sendirian tidak usah dibantu.
Anak-anak muda yang membantunya juga mengeluh karena selalu dikritik, disalah-salahkan bahkan sering kali dicari-cari kesalahannya. Mereka ingin mengundurkan diri.
Sejauh pengamatan kami, saya dan anggota dewan paroki yang lain, anak-anak muda ini amat kreatif dan dedikasinya luar biasa. Bidang yang dibawahi oleh ibu itu jadi lebih hidup dan berkembang.
Apa yang terjadi, nampaknya ibu itu terusik dengan kehadiran orang-orang muda ini. Sudah bertahun-tahun, beliau bekerja sendirian dan dianggap sukses. Sehingga beliau selalu melakukan dengan cara yang sama.
Beliau sudah nyaman dengan posisi itu dan merasa menemukan penghargaan diri dalam posisi itu.
Pernyataan-pernyataan beliau yang mengatakan bahwa beliau sudah capai dan ingin diganti dengan yang muda bukanlah pertanyaan yang sesungguhnya. Pernyataan itu adalah ungkapan harapan akan pujian atas kinerja dan dedikasinya.
Maka ketika ada orang lain yang mau terlibat, beliau merasa terusik, sehingga apa yang terjadi selalu mengkritik, menyalahkan. Bahkan mencari-cari kesalahan orang lain, dengan tujuan agar dirinya tidak tergantikan.
Sebagaimana Sabda Tuhan sejauh diwartakan Lukas, orang-orang Farisi selalu mencari-cari kesalahan Yesus karena mereka terusik dengan kehadiran Yesus.
Harga diri, dan kemapanannya terusik, sehingga mereka ingin menyingkirkan Yesus. “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi mengamat-amati Yesus, kalau-kalau Ia menyembuhkan orang pada Hari Sabat, agar mereka mendapat alasan untuk menyalahkan Dia.”
Bagaimana dengan aku bila aku terusik? Terusik kenyamanan dan kemapananku, terusik harga diriku.