Renungan Harian 8 September 2020: Mengolah Luka

0
1,416 views
Ilustrasi - Jangan suka mengumbar rahasia pribadi ke panggung medsos (Ist)


Pesta Kelahiran Santa Perawan Maria
Bacaan I: Mi 5: 1-4a
Injil: Mat. 1 1-16.18-23
 
DI era media sosial ini, banyak orang menggunakan media sosial sebagai sarana untuk meletupkan kekesalan hati.

Mereka mengunggah kesedihan, kekecewaan dan kemarahan di media sosial; baik menggunakan bahasa yang baik dan santun maupun dengan dengan bahasa yang tidak sepantasnya. Sehingga letupan kegaduhan hati mereka dapat “dinikmati” oleh khalayak. 

Tidak jarang persoalan kekisruhan rumah tangga yang seharusnya masuk dalam ranah amat privat diumbar ke media sosial. Bahkan sering kali unggahan itu saling berbalas, sehingga pertengkaran rumah tangga menjadi konsumsi publik.
 
Dalam arti dan batas tertentu, meluapkan kegaduhan hati punya nilai positif. Karena seseorang yang dapat meluapkan kegaduhan hatinya bisa merasakan kelegaan.

Akan tetapi ketika persoalan-persoalan yang seharusnya dijaga privasinya kemudian di umbar sebagai konsumsi publik, kiranya ada sesuatu yang tidak sepantasnya dan selayaknya.
 
Fenomena di atas bisa jadi menunjukkan rendahnya kemampuan seseorang untuk mengolah luka pada diri sendiri. Atau adanya keenggan untuk mengolah. Sudah barang tentu mengolah luka bukan perkara mudah dan menyenangkan.
 
Seseorang yang terluka cenderung untuk menolak kenyataan dirinya terluka dan berjuang untuk melupakan. Oleh karenanya melampiaskan kegaduhan hati dipilih sebagai sarana untuk menutupi kenyataan diri yang terluka dan melupakan luka itu sendiri.

Sementara mengolah luka dibutuhkan kemauan dan keberanian untuk memeluk luka.
 
Seseorang yang mau dan berani memeluk luka berarti dia mau dan berani untuk menatap dan mengakui diri sebagai orang yang sedang terluka dan berjuang untuk mengurai.

Dengan penerimaan diri dan kemampuan mengurai mengapa dan bagaimana luka itu terjadi, seseorang akan menemukan rahmat dibalik luka tersebut. Sehingga pada gilirannya apa yang keluar dari dirinya bukan pelampiasan kegaduhan hati, tetapi sebuah kedamaian dan kasih yang memancar.
 
Santo Yusuf, suami Santa Perawan Maria menjadi teladan luar biasa bagaimana mengolah luka sehingga menghasilkan kedamaian dan kasih yang memancar. Sebagaimana Sabda Tuhan sejauh diwartakan Matius mengkisahkan: “Karena Yusuf, suaminya seorang yang tulus hati, dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam.”
 
Bagaimana dengan diriku? Adakah kemauan dan keberanian untuk memeluk luka dalam diriku?

Atau aku cenderung melampiaskan kegaduhan hatiku?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here