Bacaan I: Yes. 40: 25-31
Injil: Mat. 11: 28-30
MALAM itu kami, Dewan Pastoral Paroki mengadakan rapat bersama Seksi Keluarga.
Seksi Keluarga akan mengadakan pertemuan keluarga muda. Dalam pertemuan itu seksi keluarga mengusulkan agar ada pasangan suami isteri yang terpandang baik untuk sharing tentang hidup berkeluarga.
Semua peserta rapat sepakat mengusulkan agar pasangan suami isteri orangtua ketua misdinar yang memberikan sharing.
Kami semua melihat bahwa pasangan ini sebagai pasangan yang ideal. Mereka ke gereja selalu bersama dan duduk dengan putra-putri mereka, berjalan bergandengan tangan, pada saat salam damai mereka saling memeluk dan mencium.
Bagi kami peserta rapat, pasangan ini menjadi pilihan utama untuk sharing dengan harapan dapat menjadi teladan bagi keluarga-keluarga muda di paroki.
Maka mereka meminta saya untuk menghubungi yang bersangkutan.
Setelah perayaan ekaristi hari Minggu, saya sengaja menemui pasangan suami istri itu dan meminta kesediaan mereka untuk sharing dalam pertemuan keluarga muda.
Mereka berdua setuju, namun suami meminta waktu untuk bertemu terlebih dahulu dengan saya sebelum sharing dalam pertemuan itu.
Saya setuju dan kami membuat janji untuk bertemu.
Pada hari yang kami sepakati, pasangan suami istri itu datang ke pastoran. Setelah bersalam-salam, suami berkata:
“Romo, sebetulnya keluarga kami tidak seindah yang terlihat. Kami bisa seperti ini mungkin baru 5 tahun terakhir, dan itu karena kehebatan dan keluhuran istri saya. Biar dia yang cerita romo.”
“Romo, sesungguhnya 8 tahun yang lalu saya pernah menggunggat cerai suami saya ke pengadilan. Saya pada saat itu sungguh-sungguh sudah lelah, tidak tahan dan tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan. Sejak awal perkawinan kami selalu ribut, sumbernya adalah kecemburuan dia yang berlebihan. Dia selalu bilang, dia melakukan itu karena sayang banget sama saya, tetapi menurut saya salah. Romo, bayangkan, saya menyapa satpam atau menyapa teman kantor pria, saya bisa dimarahin dianggap saya kecentilan. Belum lagi kalau dia telepon atau menghubungi saya lewat media sosial dan saya telat menjawab wah bisa jadi bencana.
Romo, apa yang saya alami semakin parah sejak dia kena PHK. Saya mengatakan tidak apa-apa, untuk hidup sehari-hari toh masih cukup dari penghasilan saya. Tetap berjuang untuk mencari pekerjaan baru. Tetapi dia seperti orang yang putus asa, tidak mencari pekerjaan, tetapi pergi dengan teman-temannya. Dia tidak mau tahu urusan rumah, saya pagi nyiapin sarapan, ngantar anak-anak ke sekolah, lalu kerja. Pulang beberes rumah, nyuci, setrika dan masak, saya kerjakan sendiri. Dia bangun siang, dan pergi pulang larut malam.
Dia semakin posesif dan apa pun jadi masalah. Lama kelamaan dia gak bisa dikontrol romo, kemarahannya semakin menjadi, kasar dan memukul. Dia bisa memaki-maki saya di depan anak-anak; bahkan memukul saya di depan anak-anak gara-gara saya tidak angkat telpon karena saya sedang masak.
Saya cerita ke orangtua dan mertua mereka selalu mengatakan sabar nanti akan berubah, tetapi bertahun-tahun sampai 10 tahun tidak pernah berubah dan saya semakin tersiksa.
Maka saya meminta bantuan pengacara untuk menggugat cerai. Pada saat kami diminta untuk mediasi oleh pengadilan, orang tua dan mertua mengajak kami ketemu dengan seorang Romo.
Romo itu mengatakan kepada saya: “Jangan ditanggung sendiri, pasti tidak akan kuat dan tidak ada orang yang kuat. Datanglah pada Tuhan yang di salib, Dia menjanjikan kelegaan.”
Dan Romo itu bicara ke suami saya: “Datanglah ke pada Tuhan yang di salib, tanya pada dirimu sendiri apakah kamu akan menyiksa Tuhan dan menyalibkan Tuhan lagi?”
Romo, itu menjadi titik balik dalam hidup kami. Hampir setahun romo, kami berjuang untuk memulai dari awal. Saya berjuang untuk menerima dia lagi, dan dia sungguh-sungguh berjuang untuk berubah.
Puji Tuhan romo kami bisa melewati semua ini dan kami sekarang menemukan kebahagiaan dalam keluarga kami,” ibu itu mengakhiri kisah panjangnya.
Wow luar biasa kata saya dalam batin. Karya Tuhan luar biasa pada orang yang sungguh-sungguh mau datang kepadanya.
Sebagaimana sabda Tuhan sejauh diwartakan nabi Yesaya: “Tuhan memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tidak berdaya.”.
Bagaimana dengan aku? Adakah aku mau mengandalkan Tuhan?