Bacaan I: Gal. 3: 7-14
Injil: Luk. 11: 15-26
SORE itu, kami mengadakan pertemuan para petugas liturgi perayaan Natal. Pertemuan ini diadakan untuk evaluasi atas pelaksanaan perayaan Natal.
Setiap orang yang hadir diminta untuk memberikan evaluasi atas pelaksanaan tugas para petugas liturgi. Sebagaimana biasa umumnya peserta pertemuan memberikan tanggapan bahwa pelaksanaa perayaan natal berjalan dengan baik, lancar dan meriah.
Para petugas liturgi sudah menjalankan tugas dengan baik, dan mempersiapkan diri dengan baik.
Pertemuan evaluasi itu menjadi riuh dan sedikit emosional, ketika mengevaluasi pelaksanaan tugas Prodiakon. Pada perayaan malam Natal, salah satu Prodiakon yang bertugas tidak datang, sehingga tidak melaksanakan tugas.
Sementara yang bersangkutan memberi kabar ketidakhadirannya, setelah perayaan malam Natal selesai. Pada saat itu, sudah dihubungi tetap tidak ada jawaban, HP-nya aktif; tetapi tidak menjawab.
Prodiakon yang bersangkutan memberi kabar bahwa tidak bisa bertugas karena mengantar tetangganya yang sedang sakit ke rumah sakit.
Salah seorang bapak, mengkritik sikap bapak Prodiakon yang tidak bertugas: “Setiap orang yang mendapatkan tugas dan sudah sanggup harusnya bertanggungjawab atas tugasnya dan punya komitmen yang tinggi. Tugas pelayanan ini bukan tugas main-main karena ini hari raya.”
Bapak Prodiakon yang tidak bertugas saya persilahkan untuk menjelaskan. “Pertama-tama, saya mohon maaf karena telah menimbulkan kesulitan untuk semua. Saya bukan tidak bertanggung jawab dan juga bukan tidak punya komitmen. Tetapi kejadian yang saya alami benar-benar di luar dugaan saya.”
“Saat saya sedang bersiap-siap untuk berangkat ke gereja, tiba-tiba tetangga datang minta tolong untuk diantar ke rumah sakit, karena suaminya tiba-tiba pingsan. Maka tanpa pikir panjang saya langsung mengeluarkan mobil dan mengantar tetangga yang sakit. Dan karena sibuk mengurus tetangga yang sakit, saya tidak sempat memberi kabar ke teman-teman. Sekali lagi saya mohon maaf.”
“Tetangga dia kan bukan hanya bapak, bapak harusnya bisa dan berani mengatakan bahwa bapak punya tugas yang penting, jangan menggampangkan. Saya pernah mengalami, waktu saya tugas pelayanan hari Sabtu sore, tetangga sebelah meninggal, saya ke gereja dan menjalankan tugas pelayanan baru kemudian ke tempat tetangga yang meninggal,” jawab bapak yang memberikan kritik tadi.
“Bapak, ibu dan teman-teman, saya kira cukup perdebatan ini, kalau diteruskan bisa sampai besok pagi dan belum tentu selesai,” saya memotong perdebatan itu.
“Saya menghargai bapak yang memilih menolong tetangga yang sakit, itu pilihan mulia. Saya tidak keberatan bahwa ada petugas liturgi yang tiba-tiba tidak bertugas karena ada hal lain yang lebih penting untuk dijalankan. Soal pertimbangannya saya serahkan kepada kebijakan bapak, ibu dan teman-teman masing-masing.”
“Namun, demikian apa yang dikatakan bapak tadi soal pentingnya tanggungjawab dan komitmen pada tugas yang dipercayakan juga amat penting. Artinya jangan memudahkan untuk meninggalkan tugas dan tanggungjawab,” kataku mengakhiri perdebatan itu.
Sering kali aku terjebak melihat hukum hanya sebatas aturan-aturan dan sanksi, tidak melihat hal-hal di balik hukum dan sanksi.
Kiranya hal itu yang menjadi kritik St. Paulus kepada orang Yahudi dalam suratnya kepada umat di Galatia.
Dalam pemahaman mereka, keselamatan ditentukan atas ketaatan pelaksanaan Hukum Taurat, sehingga abai dengan maksud hukum taurat yang menghantar umat pada iman. “Kalian mengerti bahwa yang disebut anak-anak Abraham ialah mereka yang hidup dari iman… Hal itu jelas, karena orang yang benar akan hidup berkat imannya.”
Bagaimana dengan aku?
Adakah aku melihat aturan, hukum dan kewajiban agamaku sebagai sarana yang mengantarku pada Allah atau sekedar melihat sanksi?
Iwan Roes RD.