Bacaan I: Yer. 7: 23-28
Injil: Luk. 11: 14-23
DULU, waktu saya masih misdinar, bersama dengan teman-teman misdinar berkunjung ke Pertapaan Santa Maria Trappist di Rawaseneng, Temanggung. Pada waktu itu, kami diterima oleh seorang frater, yang saya sudah lupa namanya.
Sejauh saya ingat frater itu berasal dari Flores dengan perawakan yang besar.
Ketika kami diajak berkeliling, di halaman sebelum pintu masuk biara, kami diajak melihat kolam ikan yang tidak terlalu besar.
Menurut saya, kolam itu hanyalah penghias yang memperindah taman. Namun frater itu menerangkan bahwa kolam dan ikan itu merupakan simbol kehidupan para rahib trappist.
Sebagaimana ikan-ikan itu hanya bisa hidup di dalam air, demikian juga para biarawan trapis hanya bisa hidup dalam aturan-aturan biara: selalu hening, tidak ada
televisi, tidak ada koran, hidup penuh dengan doa dan kerja tangan.
Kalau para rahib Trappist melihat televisi dan baca koran pasti tidak bisa hidup karena akan selalu terganggu keheningannya.
Pada saat itu, saya membayangkan betapa berat, dan menyedihkan hidup sebagai rahib trappist.
Ketika salah seorang berkomentar: “Wah tidak enak ya menjadi rahib trappist,” frater itu menjawab bahwa hidup dengan cara itu adalah hidup yang membahagiakan bagi para biarawan. Sebagaimana ikan-ikan itu bahagia di air.
Rasanya saya tidak mengerti betul dengan apa yang dijelaskan frater itu soal kebahagiaan.
Orang beriman, hidup dengan berbagai macam aturan-aturan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi. Aturan-aturan itu diadakan agar orang beriman sampai pada tujuan hidupnya yaitu kebahagiaan.
Semakin tahu dan sadar akan adanya aturan semakin banyak aturan yang dilanggar bahkan dengan sadar melanggar aturan itu.
Apakah dengan sadar melanggar aturan berarti tidak tahu tujuan adanya aturan?
Tujuan adanya aturan dimengerti dengan baik, akan tetapi pengertian dan kesadaran akan kebahagiaan yang sering hilang.
Pelanggaran aturan terjadi karena melihat dan merasa bahwa aturan itu tidak memberikan kebahagiaan, sehingga godaan untuk melanggar aturan amat besar.
Godaan menawarkan kebahagiaan semu, karena apa yang ditawarkan memberi kesenangan dan kegembiraan. Namun kesenangan dan kegembiraan itu sering kali amat sebentar atau tidak terlalu lama dan yang paling pokok tidak meningkatkan kualitas hidup sebagai pribadi.
Kebahagiaan terletak bukan hanya pada rasa senang dan gembira, tetap lebih dari itu adanya peningkatan kualitas hidup. Kesadaran akan hal ini amat sulit sehingga hal ini menjadi perjuangan dan pergulatan setiap orang beriman dalam peziarahan hidupnya.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Yeremia, aturan-aturan Tuhan menghantar umat Israel sampai kepada kebahagiaan. Akan tetapi umat Israel melihat orang-orang yang tidak mengikuti Tuhan lebih senang dan gembira dibanding mereka yang mengikuti aturan Tuhan.
Pergulatan umat Israel adalah pergulatan setiap orang beriman yang berziarah. “Dengarkanlah suaraKu, maka Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umatKu, dan ikutilah seluruh jalan yang Kuperintahkan kepadamu, supaya kamu berbahagia.”
Bagaimana dengan aku?
Apakah dalam peziarahan hidupku aku memperjuangkan kebahagiaan?