18 Desember 2020
Bacaan I: Yer. 23: 5-8
Injil: Mat. 1: 18-24
BAPAK itu sedang menyiram tanaman anggreknya, ketika saya datang berkunjung. Di depan, samping dan belakang rumahnya penuh dengan anggrek yang subur dan bagus.
Sebagian besar anggrek itu beliau tempelkan di pohon-pohon yang ada di halaman rumahnya.
“Wah hebat, pagi-pagi sudah bercengkrama dengan anggrek-anggreknya,” sapaku.
“Monggo Romo, silahkan masuk; ini hiburan pensiunan,” jawabnya.
“Hiburan yang luar biasa, sehat jiwa raga,” balasku.
“Betul romo, ini hiburan luar biasa untuk saya dan istri,” jawabnya.
Setelah berbasa-basi sejenak, kami ngobrol di teras rumahnya sambil menikmati anggrek-anggrek segar sehabis disiram.
“Bagaimana Pak, masa pensiun menyenangkan atau menyedihkan?” tanyaku.
“Romo, saya sungguh-sungguh menikmati masa pensiun saya dengan bahagia. Beban pekerjaan sudah lepas. Sekarang saya menikmati hari-hari lebih tenang tidak tergesa. Saya bisa lebih banyak ikut kegiatan Gereja. Dan yang paling penting sudah tidak strss dengan ambisi,” bapak itu menerangkan.
“Maksudnya tidak stres dengan ambisi bagaimana pak,” tanyaku.
“Romo, kurang lebih 4 tahun lalu saya ditawari untuk menjadi kepala dinas. Memang dari sisi pangkat dan golongan saya sudah memenuhi syarat untuk jadi kepala dinas, apalagi di kantor saya, saya paling senior dari sisi pangkat dan golongan. Tetapi ya itu romo ada syarat yang membuat saya bingung dan berpikir keras waktu itu.
Untuk jadi kepala dinas saya diminta menyediakan dana 250 juta rupiah. Teman-teman menyarankan agar saya menerima tawaran itu. Permintaan segitu itu murah, beberapa kepala dinas diminta lebih dari itu antara 300–400 juta rupiah. Dan lagi menurut teman-teman yang sudah menjadi kepala dinas, uang segitu tidak sampai setahun sudah balik modal.
Awalnya saya pikir akan saya terima romo; karena memang sistemnya seperti itu; sementara kesempatan tidak akan datang dua kali. Saya punya idealisme untuk membuat kantor saya lebih disiplin, akuntabel dan sungguh melayani masyarakat.
Saya ingin kantor saya menjadi teladan dalam pelayanan kepada masyarakat. Selain bahwa jabatan kepala dinas menjadi jabatan tertinggi yang bisa saya raih. Istri saya sepakat dan uang sudah disiapkan ambil dari tabungan.
Saat saya cerita kepada kedua anak saya tentang tawaran itu, anak-anak saya senang bahwa bapaknya akan naik pangkat dan dapat kedudukan. Anak pertama lebih melihat bahwa dengan jabatan baru bisa mewujudkan idealisme saya.
Ketika kami mau mengakhiri pembicaraan malam itu, tiba-tiba anak saya kedua yang masih kuliah nyeletuk: “Pa, kalau menurut Tuhan gimana?”
Saya terkejut romo. Saya balik bertanya: “Kalau menurut kamu Tuhan gimana?”
“Ya gak tahu. Tuhan pasti senang bapak mau menjadikan kantor bapak lebih baik. Tetapi apa iya harus dengan cara menyuap?” dia menjawab.
Romo, perkataan anak saya menjadikan saya tertampar, dan saya mulai menimbang-nimbang dengan novena. Di akhir novena, saya menjadi yakin bahwa kehendak Tuhan pasti tidak ingin saya berbuat baik dengan cara yang tidak baik.
Satu pihak saya yakin itu kehendak Tuhan, tetapi di pihak lain saya yakin dengan cara itu saya bisa memperbaiki kantor. Sekarang berperang dalam diri saya antara kehendak saya dan apa yang saya yakini sebagai kehendak Tuhan.
Akhirnya entah dorongan dari mana, saya yakin bahwa kehendak Tuhan yang terbaik.
Romo, akhirnya saya tidak jadi kepala dinas, dan kepala dinas diambilkan dari dinas lain yang sama sekali tidak pernah bergelut dengan bidang di kantor saya. Karena beliau tidak banyak mengerti, maka beliau selalu minta pertimbangan saya.
Puji Tuhan pertimbangan-pertimbangan saya selalu digunakan. Jadi meski tidak menjadi kepala dinas, saya tetap dapat mewujudkan idealisme saya, meski hanya sedikit. Tetapi hati tentram, dan bahagia romo.”
Bapak itu mengakhiri kisahnya.
Betapa sulit untuk meninggalkan keputusan diri sesuai dengan pertimbangan pribadi dan mengikuti kehendak Tuhan yang dalam arti tertentu mematikan idealisme pribadi.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan St. Matius, Yusuf meninggalkan keputusan pribadi dan mengikuti kehendak Tuhan sehingga karya keselamatan Allah bisa dinyatakan.
“Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya.”
Bagaimana dengan aku?
Beranikah aku menanggalkan keputusanku sendiri dan mengikuti kehendak Tuhan?