Bacaan I: Bil. 21: 4-9
Injil: Yoh. 8: 21-30
KETIKA mengunjungi sebuah kampung di pedalaman, saya diterima oleh ketua stasi dan kepala kampung. Dalam salah satu pembicaraan, bapak kepala kampung itu bercerita bagaimana kampung ini mengalami banyak kemajuan terlebih soal pendidikan orang muda dan anak-anak berkat kehadiran seorang bapak guru.
Ia bercerita bahwa bapak guru itu sungguh-sungguh menjadi bapak dan guru tidak hanya bagi anak-anak dan orang muda; tetapi juga bagi semua orang kampung. Kepala kampung mengusulkan agar saya mengunjungi bapak guru itu.
Setelah selesai memimpin ekaristi, saya menemui bapak guru itu dan menyampaikan bahwa saya akan main ke rumahnya. Ia kelihatan senang dan segera mengajak saya ke rumahnya. Rumah sederhana, hampir sama dengan rumah-rumah di kampung itu; tetapi kelihatan lebih bersih dan tertata.
“Bapak, saya mengucapkan banyak terima kasih, karena bapak telah memberikan hidup bapak untuk membangun kampung ini. Saya telah mendengar cerita banyak tentang bapak,” saya memulai pembicaraan.
“Aduh pater, saya jadi malu. Pater, sesungguhnya saya di kampung ini merasa sebagai orang buangan. Saya dulu mengajar di kota, saya banyak menemani anak-anak ekstra kurikuler membuat kerajinan tangan dan koor. Tetapi entah mengapa apa yang saya lakukan dianggap salah dan saya dipindahkan di kampung ini.
Saya tiba di kampung ini, dan saya sungguh-sungguh seperti orang buangan. Sekolah ini tidak ada guru. Mereka pergi ada urusan di kota dan tidak segera kembali.
Anak-anak banyak yang tidak pergi belajar, karena mereka mencari ikan dan ubi untuk makan. Di sini ada warung tetapi harga barang-barang yang dijual di warung mahal.
Saya sudah hampir putus asa, dan saya ingin kembali saja. Tidak menjadi guru tidak apa apa, saya sudah tidak betah tinggal di kampung ini.
Untunglah waktu itu ada pater Belanda yang berkunjung, dan ketika saya sampaikan bahwa saya mau pulang beliau menasehati saya dengan cerita.
Pater Belanda itu cerita tentang St. Petrus yang mau pergi dari Roma dan ketemu Tuhan Yesus di jalan. Ketika Petrus tanya Tuhan mau kemana?
Tuhan menjawab mau disalibkan dua kali di Roma.
Pater cerita itu membuat saya menangis, ”Aduh Tuhan, Kau mau disalib lagi kah? Karena aku mau pulang kah? Tidak Tuhan, biar sudah saya disalib di sini, tetapi Kau jangan disalib lagi,” itu yang saya katakan pada Tuhan.
Sejak saat itu saya seperti bangkit dapat kekuatan baru. Saya mengajar anak-anak di sungai tempat mereka cari ikan, mengajar di kebun tempat mereka cari ubi.
Saya ajak anak-anak menanam ubi, menanam pisang, dan apa saja yang dapat dimakan.
Saya ajak bapak-bapak dan mama-mama juga bertanam. Saya ajak mereka menata rumah dan beternak yang baik.
Pater, semua itu bukan karena saya, tetapi karena Tuhan yang beri saya kekuatan dan petunjuk. Satu hal pater, saya tidak ingin Tuhan disalib dua kali,” bapak itu mengakhiri kisahnya yang luar biasa.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Yohanes: “Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu bahwa Akulah Dia.”
Penghayatan iman pada salib Kristus yang luar biasa meski dengan pemahaman sederhana dari bapak guru itu mampu mengubah hidup saudara-saudaranya.
Bagaimana dengan aku?
Dengan cara apakah aku meninggikan Tuhan?