Renungan – Isteri Tinggalkan Rumah

0
222 views
Ilustrasi - Menahan diri untuk tidak marah. (Ist)

OBJEK atau sudut pandangan bisa sama. Tapi, tafsiran bisa beragam.

Kendati setiap pribadi berhak menafsirkan sesuatu dengan cara pandang. Berdasarkan pengalaman dan apa yang dia inginkan, subyektivitas tetaplah diperlukan.

Prinsip-prinsip dasar objektif bersama.

Pribadi manusia itu tercipta tidak hanya one dimension only.

Setiap pribadi itu unik, tak tergantikan. Ia diciptakan dengan anugerah masing-masing.

Misalnya, Pancasila adalah kesepakatan dasar, utama, penting dalam kebersamaan menuju Indonesia jaya dan makmur.

Dan cara mewujudkannya juga telah disepakati dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Partisipatif.

Termasuk dalam kehidupan menggereja.

Gereja adalah Umat Allah

Dalam terang iman kristiani, itu berarti kita disadarkan terus-menerus untuk mampu melihat, berani belajar menemukan dalam diri orang lain martabat yang sama.

Tanpa kecuali.

Kita semua adalah ciptaan yang sepenuhnya dicintai oleh Allah Bapa.

Manusia adalah gambaran Allah sendiri. Satu hal yang lebih istimewa orang lain adalah juga saudara yang telah ditebus oleh Tuhan.

Gagal paham

“Romo tolong saya. Saya pergi dari rumah.”

“Kenapa? Apa yang terjadi?”

“Romo, masih ingatkah saya?”

“Saya dan suami bertemu dengan Romo, kira-kira enam bulan yang lalu. Saya mencoba memperbaiki diri, kata-kata, perilaku saya kepada mertua. Pasangan saya membantu juga dengan mengingatkan ibunya.

Tapi akhir-akhir ini, suami lebih pro dengan mertua. Ia sudah tua 20 tahun menjanda. Tinggal bersama kami. Ia terlampau banyak mengatur kehidupan kami.

Lebih-lebih terhadap anak-anak kami. Apa yang tidak boleh dari kami seakan-akan dia perbolehkan. Ketika kami sedikit keras mendidik anak-anak, mertu selalu membela; bahkan mengajak anak-anak tidur di kamarnya.

“Saya sudah tidak tahan. Suami juga sudah tidak berpihak sama saya. Ia malah menekan saya untuk menghormati mamanya,” demikian keluh perempuan ini di ujung gagang telepon.

“Apa alasan dia begitu?”

“Ia anak anak laki-laki bungsu. Anak pertama di luar negeri. Yang satunya sudah meninggal. Ia melanjutkan toko mamanya. Semua keuangan di tangan mertua. Keuangan kami pun tergantung pada mamanya. Ia mengontrol dan mengatur hidup kami.

Tadi malam, kami berantem. Seperti biasa, saya masak. Nggak tahu masakannya kayak apa, mertua merasa keasinan dan marah-marah. Suami saya mendengar sepihak. Ia menegur saya dan marah. Saya menjelaskan tapi dia tidak menerima. Setiap masakan dicela. Tidak masak disindir. Mertua selalu mengancam, kalau tidak kerasan silakan pergi dari rumah.

Mertua selalu mencari masalah. Saya sudah mengalah. Mulai dari kebersihan rumah, kerapian dapur, rasa masakan, kerapian kamar anak, cucian dan setrikaan.

Saya semakin lama merasa dan dianggap sebagai pembantu. Kalau masakan saya dirasa tidak enak, langsung dibuang di depan saya, sambil ngomel.

Tadi malam, tanpa mengadu kepada suamikadang suami diam. Kadang malah ikut memarahi saya, walau bukan salah saya.

“Suamimu tahu, kalau kamu mau pergi tinggalkan rumah?”

“Ia diam saja di hadapan ibunya. Sikap ibunya juga terkesan membiarkan. Malah senang, jika kami berpisah”

“Ya udah, sebentar saya akan bicara dengan suamimu.”

Setiap orang perlu dihargai sebagai pribadi yang berbeda dengan yang lain.

Memaksakan kehendak sendiri kepada yang lain belum tentu yang terbaik dalam kebersamaan keluarga.

Terkadang perlu banyak kesepakatan bersama dan itulah yang menjadi kepala rumah tangga.

Semua yang berada di dalam rumah mesti taat dan mengembangkan “kesepakatan” sebagai sebuah kasih bagi yang lain.

Kitab Sirakh memuat, “Yang satu menguatkan kebaikan dari yang lain.” ay 25a.

Dan sama seperti Bartimeus yang buta dan dapat melihat karena Sabda Yesus, kita pun ditanya, “Apa yang kau kehendaki supaya Aku berbuat bagimu?” ay 51a.

Tuhan, ajari aku memandang-Mu, dalam segala peristiwa hidupku. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here