BEBERAPA hari lalu kebetulan saya sepintas nonton televisi swasta yang menyiarkan acara kuliner. Pembawa acara si mbak masuk ke suatu warung makan dan memesan beberapa jenis makanan, dan tak ketinggalan secangkir kopi tubruk. Dengan pedenya, meskipun tampak sekali unsur “nggaya”nya, si mbak menerangkan tentang makanan di situ.
Tak lama kemudian, pelayan menghantarkan makanan dan minuman yang dipesan. Begitu datang, si mbak bilang “pemirsa kita akan coba makanan spesial ini”. Sebelum mulai makan, diraihnya secangkir kopi yang telah tersedia di depannya. Dengan santai diaduknya kopi itu, dan segera diminumnya …. sekilas ada raut aneh di wajahnya …
Cut … Klip berganti ke acara berikutnya …
Tidak jelas apa yang terjadi, tapi peristiwa itu mampu membuat saya terbahak sendiri …geli. Lah kopi tubruk koq diaduk lalu diminum. Ampasnya kan ya malah nyampur lagi dan terminum. Hmmm… ya maklumlah, si mbak kelihatannya bukan penikmat kopi. Cuma “nggaya” di depan kamera doang.
Sejenak ngopi
Saya suka minum kopi tubruk. Setelah diseduh dan diberi gula, pastilah ada waktu sejenak untuk memberi kesempatan sang gravitasi untuk mengendapkan ampas kopi. Barulah setelah ampasnya mengendap, saya “seruput” dan saya nikmati kopi tersebut. Saya tidak sekedar minum kopi, tetapi juga menikmatinya. Karena itulah, saya lebih suka menyebutnya dengan “ngopi”.
Di zaman modern seperti sekarang ini kita bisa temui kopi instan yang tidak meninggalkan ampas. Ada banyak merek kopi instan. Namun saya pribadi sampai saat ini koq ndak bisa menikmatinya ya.
Di pesawat, ketika pramugari bertanya mau minum apa, seringnya saya minta kopi. Toh itu pun juga tidak bisa saya nikmati. Yang saya lakukan hanyalah sekedar minum kopi. Demikian pula acara coffee break di seminar-seminar di hotel yang adem. Tak bisa saya dapatkan kopi tubruk, yang tersedia hanyalah kopi instan. Pernah juga saya minum kopi di kedai kopi yang mentereng yang berasal dari Negeri Paman Sam. Harganya kopinya bisa dipakai untuk membeli tiket film Soegijo. Itu pun tak bisa saya nikmati. Ya mungkin lidah saya sudah lidah ndeso. Lebih bisa menikmati kopi tubruk di warung kaki lima atau warung tegal.
Tentu saja selera setiap orang tidaklah sama. Kalau disuruh milih, tentu saja saya lebih suka ngopi secangkir kopi tubruk. Namun kadang kala situasi membuat saya “terpaksa” minum kopi. Rasanya memang kopi, namun saya tidak bisa merasakan kenikmatan. Saya tidak tahu apakah rasa nikmat kopi tubruk itu karena penjualnya harus menyeduh dengan air panas, memberi gula, mengaduk, lalu menyajikan. Ada kerja dengan hati dan ada proses. Beda dengan kopi instan yang hanya perlu sedikit kerja dan segera siap diminum.
Itulah seninya ngopi tubruk. Ada proses persiapan, ada proses “tubrukan” antara kopi dan air mendidih, ada proses penyajian, ada proses pengendapan, ada proses meminum, dan ada proses menikmatinya. Kopi bisa diminum dan dinikmati setelah tenang.
Ekaristi dan ngopi?
Kalau kupikir-pikir, merayakan ekaristi itu serupa dengan proses ngopi? Memerlukan proses alias ritual. Liturgi Sabda bagaikan proses persiapan hingga pengendapan ampas kopi setelah ditubruk. Ketika peralihan ke Liturgi Ekaristi, ada persiapan persembahan. Inilah saatnya untuk mulai meminum kopi.
Nah apakah kita akan mengaduk-aduk lagi seperti si mbak pembawa acara tersebut? Di beberapa gereja yang pernah saya kunjungi, saat mau mulai Doa Syukur Agung, justru banyak sekali terjadi “keramaian”. Petugas kolekte justru sibuk dan ribut mengumpulkan uang kolekte. Belum lagi ditingkah suara-suara klak-klik atau klonthang-klonthang karena wadah kolekte yang jatuh atau dibuka/ditutup. Mungkinkah karena kebanyakan kolekte? Kalau mau tenang, ya udah tanpa kolekte aja ….hee…hee….
Ketika saat hening, saat yang serupa dengan menikmati kopi, kopi pun juga sering diaduk-aduk. Koor dan musik yang terlalu bersemangat seringkali justru mengaduk-aduk ketenangan hati. Saat sedang merasakan kehadiran dan menyatunya Yesus di dalam diri kita, menjadi terganggu karena tepuk tangan meriah karena konser musik begitu bagusnya.
Untunglah bukan Lady Gaga yang ikut koor. Bisa-bisa misanya yang dibubarkan.
Masih terngiang-ngiang cetusan Romo Wondo yang bilang bahwa di dalam kata pengantar misa, seharusnya kita mengatakan Merayakan Ekaristi, bukan Ikut Perayaan Ekaristi. Bagi orang yang tidak peduli bahasa, tentu tidak begitu paham bedanya.
Yah, begitulah realita saat ini. Banyak umat yang hanya ikut perayaan ekaristi, bukan merayakan ekaristi. Budaya instan, tanpa proses terlalu lama, sudah mulai masuk ke perayaan ekaristi.
Sama seperti kopi instan, seduh dan segera bisa diminum. Beres. Datang secara fisik di gereja “ikut perayaan ekaristi”. Sibuk ini itu, lalu begitu saja terima hosti …keluar ….pulang.