Rabu, 26 Mei 2021
“PADA bulan Mei tahun 1995, saya berziarah ke Gua Maria Sendangsono,” kata seorang romo memulai syeringnya.
“Waktu itu saya naik motor dari Yogya. Namun sebelum sampai kompleks Gua Maria, ban motor saya bocor,” katanya sambil mengenang pengalamannya.
“Saat saya masih bingung. Ada seorang pemuda yang menawarkan bantuan untuk menambalnya,” katanya
“Di sini tukang tambal ban jauh, harus turun ke bawah sana. Tetapi kalau mau, mari ke rumahku, saya bisa bantu,” kata pemuda itu.
“Baik Mas, iya saya mau,” kataku dengan senang hati.
Dalam perjalanan ke rumahnya yang tidak terlalu jauh, pemuda itu mendorong motorku.
Dia sebenarnya mau cari rumput untuk sapinya.
Dia sekolah hanya sampai kelas 2 SMP. Setelah itu tidak melanjutkan, karena harus membantu orangtuanya.
Sesampai di rumahnya, dia dengan cekatan membuka ban dan menambalnya dengan alat yang sangat sederhana.
“Berapa biayanya Mas,” kata romo itu setelah ban motornya selesai ditambal
“Tidak usah Pak,” saya hanya menolong saja.
“Terimakasih Mas, saya benar-benar berterimakasih atas pertolongannya,” kata romo itu.
“Iya, Pak sama-sama,” katanya
“Ini bukan untuk membayar pertolonganmu, tetapi sekedar tali asih, dan ucapan terimakasih saya,” kata romo itu sambil memberikan uang kepada pemuda itu.
“Iya, Pak terima kasih, namun biar uang ini kita persembahkan ke Bunda Maria. Bapak bisa masukkan ke kotak persembahan,” katanya dengan santun.
“Ya, kalau itu maumu, terimakasih ya Mas,” kata romo itu.
Melayani dengan tulus, tanpa pamrih dan selalu mengambil inisiatif itulah saya rasakan dari perjumpaan dengan pemuda itu.
Dia bahkan tidak tahu siapa yang ditolongnya.
Namun baginya orang yang kesulitan dan dalam keadaan yang mendesak itulah yang diutamakan bahkan jika harus mengalahkan kepentingannya sendiri.
Apakah aku bisa melayani dengan gembira hati dan tanpa pamrih?