Renungan – Menanti

0
158 views
Ilustrasi - Ibu tengah mengandung tua. (Ist)

Santa Perawan Maria Bunda Gereja

  • Kej 3: 9-15, 20.
  • Yoh. 19: 25-34.

OH ibuku, hatiku pilu seorang diri. Bila kuingat masa yang telah silam. Kudibesarkan oleh ibuku di kampung halamanku. Tapi kini hanya kenangan yang pernah kualami.

Cuplikan sebuah lagu Titiek Sandhora. Kendati terasa sendu, sedih, namun tersimpam sebuah kegembiraan dan syukur.

Sebuah kenangan indah, mengagumkan, penuh kehangatan kasih tak terlupakan…

Oh, ibuku.

Berdiri di bawah kaki salib Yesus Sang Putera, Tuhan, para murid lewat Bunda Maria mendapatkan kembali sukacita dan kelembutan hati Allah yang mengagumkan.

Kendati suasana pilu, pedih karena Yesus disalib.

Namun sejenak hadir di bawah salib suci, setiap pribadi yang hadir diteguhkan, dicintai tanpa batas.

Seperti Bunda Maria, ia membuka hati akan rancangan Allah yang tak dapat dipahami.  Maria berdiri dalam keheningan suci, hidupnya terbuka akan kebenaran Allah yang tak dapat dimengerti.

Siapa yang sanggup, seperti itu.

Di bawah salib suci, sebuah penyerahan hati ilahi untuk keberlangsungan abadi relasi ilahi antara Maria, pribadi pilihan Allah dan para murid, awal hidup Gereja-Nya berziarah.

Tak ada seorang pun yang mampu menyelami kedalaman dan kurban syukur hati Bunda Maria.

Betapa tidak.

Ia yang dipilih oleh Allah sendiri sebagai awal karya penebusan. Hidupnya sendiri pun disiapkan oleh kasih Allah yang tak terduga.

Dan dalam kesetiaan iman akan puteranya sekaligus Tuhannya, bunda menyimpan dalam hati penuh doa semua kehendak Bapa.

Menanti

“Romo, mohon doanya supaya sehat, kuat menemani anak-anak,” seorang ibu yang sedang mengandung.

Terlihat wajah yang capek, lelah dan sedikit pucat berkeringat. Wajah yang menyimpan kekesalan, gundah, marah, namun tidak tahu apa yang harus diperbuat.

Wajah yang tidak lagi menyiratkan kegembiraan; hati yang tidak lagi mampu terbuka dan bersuka.

Bukan karena salah, tetapi…

“Baiklah, apa yang bisa saya bantu?”

“Nggak apa-apa, Romo. Doakan saja, supaya saya dapat menanggung beban keluarga; menemani dan menjaga anak- anak suoaya tidak terluka. Sementara harus menjadi single parent. Doanya ya Mo, saya dapat melahirkan anak dengan baik normal.”

Terlihat sepasang mata yang mulai basah. Dan meneteslah air mata. 

Air mata yang mencoba mengerti tanpa henti sembari mengelus-elus perut di mana sang bayi pun mencoba memahami kesedihan dan pergumulan ibunya.

“Saya harus kuat, Romo. Demi anak-anak, demi keluarga dan iman kami. Sekarang, saya tidak tahu apa yang akan terjadi; apa yang harus saya lakukan untuk menyambung hidup; untuk makan anak-anak. Tapi biarlah Tuhan yang menuntun hidup kami.”

“Suamimu di mana?”

“Ia harus mendekam di suatu tempat. Belum tahu berapa lama masih dalam proses perkaranya. Saya tidak bisa apa-apa. Bahkan untuk menebus kesalahannya pun saya tidak sanggup. Anak-anak masih kecil, masih butuh susu. Dan ini anak saya yang ke-4, memasuki bulan yang ke-5.”

Ketangguhan.

Ya, ketangguhan, sikap seorang ibu yang luar biasa.

Seluruh hidupnya hanya untuk keluarga. Ibu membanting tulang merawat keluarga. Ia tidak sempat merawat badannya sendiri.

Dulu, ia cantik, molek, manis.

Kini, semua dipertaruhkan dengan melahirkan anak-anak karena cinta.

Tanpa batas dan tidak mengenal lelah, ibu “mengorbankan” nyawanya.

Hanya Tuhan yang tahu hati dan cintanya.

Bunda Maria diramalkan bahwa hatinya akan tertusuk pedang. Bdk Lk. 2: 35.

Namun tetap setia menghidupi Sabda Putranya; merawat putranya.

Bersyukur atas kelembutan keibuan; berterima kasih atas ke-hati-an merawat hidup-Nya, Yesus meng-hadiah-kan ibu-Nya untuk para murid, Gereja-Nya yang adalah kita, “Itu Ibumu.”, ay ay 26.

Bunda Maria, peluklah aku dalam kelembutan kasihmu. Bila perlu gendonglah.

Salam Maria, bundaku. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here