Renungan Harian
Sabtu, 22 Mei 2021
Bacaan I: Kis. 28: 16-20. 30-31.
Injil: Yoh. 21: 20-25.
SEWAKTU saya menjalani Tahun Orientasi Kerasulan dan sedang belajar bahasa daerah di sebuah desa, saya bertemu dengan seorang tokoh Fretelin.
Dalam perjumpaan itu tidak banyak pembicaraan yang saya ingat sampai sekarang. Tetapi satu hal yang saya ingat adalah berikut ini.
“Irmao, kalau Irmao berdiri di balkon (teras pastoran) melihat dalam kegelapan ada sinar-sinar yang berkilatan di hutan sana, maka itu artinya kami sedang berjuang dan berperang.
Mohon doakan kami. Irmao jangan terkejut, kalau tengah malam ada yang datang minta berkat.”
Saya waktu itu hanya mengiyakan, karena tidak tahu persis dengan apa yang terjadi dan yang akan terjadi.
Suatu hari, tengah malam ada yang mengetUk pintu kamar saya.
Saya agak terkejut dan sedikit takut, karena sudah larut malam.
Saya segera menyalakan lilin, karena di desa itu belum ada listrik dan malam hari penerangan adalah lilin, dan membuka pintu kamar.
Salah satu karyawan memberi tahu bahwa ada tamu. Saya menemui lima orang tamu, perawakannya besar, rambut ikal panjang dan berjenggot.
Mereka meminta saya ikut mereka, karena ada temannya yang sakit; minta untuk didoakan.
Saya berganti pakaian memakai jubah dan ikut mereka.
Saya bertanya kepada mereka di mana rumah temannya yang sakit.
Salah satu dari mereka menjawab: “Maaf Padre, Padre percaya saja pada kami, Padre diam dan ikut kami.”
Salah satu dari mereka memberi saya tutup kepala, karena udara amat dingin dan memberi saya ties (kain tenun Timor Leste) untuk menghangatkan badan.
Saya naik kuda bersama mereka. Saya tidak tahu dibawa kemana, karena saya orang baru dan waktu itu sungguh gelap gulita.
berjalan tanpa menggunakan penerang hanya mengandalkan ingatan mereka.
Setelah perjalan kira-kira dua jam (saya tidak tahu persis) kami sampai di tenda tempat teman mereka yang sakit.
Saya menyampaikan bahwa saya belum jadi pastor, maka saya tidak bisa
memberi Sakramen Pengurapan. Saya akan mendoakan dan memberik Sakramen Maha Kudus.
Setelah selesai berdoa, dan setelah minum kopi, saya dipersilakan pulang. Salah seorang dari mereka mengatakan: “Padre, maaf kami tidak bisa mengantar, karena segera terang. Padre pulang sendiri dan kuda ini akan mengantar Padre dengan selamat sampai gereja.”
Setelah berpelukan dengan mereka saya pulang.
Dalam gelam gulita, tidak tahu arah, saya pulang dan ikut kemana kuda itu membawa. Sepanjang jalan saya berdoa rosario, bukan karena saya pendoa tetapi lebih karena saya amat takut.
Perasaan tidak aman dan penuh pertanyaan menyelimuti diri saya.
Syukur pada Allah, kuda itu mengantar saya sampai pastoran.
Di depan pastoran, saya melihat pak Kepala Desa, Pak Guru dan beberapa orang menunggu saya di depan gereja.
Ketika saya turun dari kuda, mereka memeluk saya dan meminta saya istirahat. Tidak ada satu pun dari mereka yang bertanya saya dari mana dan bagaimana, sehingga saya pun tidak pernah bercerita pada siapa pun pada waktu itu.
Pengalaman yang sungguh-sungguh menakutkan dan menegangkan, tetapi saya belajar satu hal yaitu “ikut”.
Dalam situasi tertentu, jangan banyak bertanya, jangan banyak bicara, percaya dan ikut sehingga selamat.
Sebagaimana sabda Tuhan hari sejauh diwartakan dalam Injil Yohanes, mengikuti Yesus adalah percaya, diam dan ikut maka akan selamat.
“Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau, ikutlah aku.”
Bagaimana dengan aku? Apakah aku percaya dan ikut Tuhan tanpa syarat?