Renungan Harian: Selasa, 25 Mei 2021
Bacaan I: Sir. 35: 1-12
Injil: Mrk. 10: 28-31
BEBERAPA tahun yang lalu, saya mengadakan ibadat pemberkatan tempat usaha milik salah seorang umat. Tempat usaha baru ini merupakan pindahan dari tempat usaha lama yang sebelumnya ada tempat tinggalnya. Di akhir ibadat, saya mengucapkan selamat atas dibukanya tempat usaha yang baru dan semoga berkembang dengan baik.
Pada saat makan bersama, pemilik tempat usaha itu duduk di sebelah saya dan kami ngobrol-ngobrol.
Kemudian bapak itu berceritera tentang awal mula membuka tempat usaha.
“Romo, sebelum membuka usaha di tempat ini sebetulnya saya sudah bekerja di kota lain. Saya bekerja di sebuah perusahaan swasta dan saya mempunyai karir yang cukup baik. Jadi sebenarnya saya tidak pernah bermimpi untuk tinggal di kota ini dan membuka usaha di kota ini.
Awal mulanya, papa mulai sakit-sakitan, mama harus mengurus dan menemani papa, sehingga usaha papa tidak ada yang mengurus. Dua orang kakak saya yang tinggal di kota ini tidak mau mengurus usaha papa, karena mereka sudah mempunyai usaha masing-masing.
Papa minta saya pulang untuk mengurus usaha papa. Papa mengatakan pada saya, nanti usaha papa ini diwariskan ke saya, karena dua kakak saya sudah punya usaha masing-masing yang awalnya adalah usaha papa.
Romo, jujur saat itu saya mau pulang karena dijanjikan warisan usaha papa. Saya berpikir daripada saya kerja ikut orang lebih baik saya punya usaha sendiri. Maka saya pulang dan meneruskan usaha papa.
Puji Tuhan Romo, usaha berkembang dengan baik dan menjadi besar. Ketika usaha ini menjadi besar, kedua kakak saya mulai mengungkit bahwa usaha papa itu seharusnya diserahkan kepada mereka.
Pada saat itu,saya kaget dan marah Romo. Karena saat mereka ditawari untuk mengurus tidak ada yang mau sekarang sudah menjadi besar mereka mau mengambil.
Romo, kedua kakak saya bukan hanya meributkan usaha papa, tetapi juga rumah tempat tinggal papa.
Romo, saya kasihan dengan papa dan mama.
Hampir setiap hari, kedua kakak saya meributkan soal warisan, padahal papa dan mama masih hidup.
Puncak dari keributan itu, kedua kakak saya mengusir saya dari rumah papa dan mama serta tidak boleh lagi mengurus usaha papa.
Ketika saya mengatakan kasihan papa dan mama, mereka menganggap itu hanya alasan saya agar mendapatkan semua warisan papa.
Romo, meskipun awalnya saya mau pulang demi warisan, saat itu yang saya pikir hanya papa dan mama. Saya ingin merawat mereka.
Akhirnya saya kontrak rumah dan mengajak papa dan mama tinggal dengan saya. Di rumah kontrakan itu saya memulai usaha. Dan puji Tuhan, Romo, usaha saya maju sehingga bisa seperti ini.
Saya merasa semua ini berkat doa papa dan mama untuk saya.
Saya kalau ingat motivasi awal pulang ke rumah demi warisan jadi malu, tetapi sekarang yang penting bagi saya adalah menemani, merawat dan dekat dengan papa dan mama,” bapak itu mengakhiri kisahnya yang panjang.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Markus, Yesus menjanjikan anugerah 100 kali lipat dari apa yang ditinggalkan murid-Nya yang mengikuti Dia.
Janji Yesus itu seringkali menjadi motivasi utama untuk mengikuti Yesus, artinya berani melepaskan segalanya karena akan mendapatkan 100 kali lipat.
Pikiran dan mimpi yang berfokus pada anugerah 100 kali lipat menjebak seseorang; orang menjadi lupa bahwa tujuan utama meninggalkan segala sesuatu agar dapat dengan utuh mengikuti dan dekat dengannya.
“Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, barangsiapa meninggalkan rumah, saudara-saudari, ibu atau bapa, anak-anak atau ladangnya, pada masa ini juga ia akan menerima kembali 100 kali lipat.”
Bagaimana dengan aku?
Ikut Yesus demi anugerah 100 kali lipat atau karena ingin semakin dekat denganNya?