JATI diri setiap manusia, demikian Friedrich Nietsche dalam bukunya Also Sprach Zarathustra (1883), selalu ditandai dengan Wille sur Macht (kehendak untuk berkuasa). Inilah yang mendorong orang kemudian berambisi meraih kekuasaan politik di panggung sosial bernama masyarakat.
Kisah teater bertitel Republik Cangik di Graha Bhakti Budaya TIM hari Sabtu malam 10 September 2016 pada intinya juga bicara tentang nafsu alami manusia merebut kekuasaan. Hal itu terjadi, ketika kekosongan kekuasaan tengah melanda Negeri Suranesia pasca meninggalnya Prabu Surasena.
Skenario Cangik
Maka tampillah mBok Cangik sebagai aktor penting di balik gegap gempita persaingan merebut simpati rakyat melalui ‘perlombaan’ meraih kekuasaan politik di Suranesia itu. Di situ ada enam calon pemimpin rakyat yakni 1. Santanu Garu (Alexius Bambang Sungkowo); 2. Dundung Bikung (Fengly Anggrian); 3. Graito Bakari (Reza Achyadi); 4. Burama-Rama (Christian A. Pratama); 5. Binanti Yugama (Gabriella Sengkey); dan 6. Jaka Wisesa (Budi Ros).
Di hadapan rakyat semesta yang diwakili oleh keempat punakawan yakni Semar (YB Suhartoko), Gareng (Heru Prasadja), Petruk (Dana), dan Bagong (Rilo Pambudi) berikut dua orang emban perempuan bernama Bina dan Binu (Wynona dan Novi), Trio Kenyo (Albertus Prayogi, Justin, Gala Yudhatama), dan seorang pranata cara alias MC (Alyssa Abidin), maka pertandingan merebut kekuasaan itu pun dimulai.
Semua berjalan dalam kendali mBok Cangik (Asih Anggarini) dan anaknya Limbuk (Ni Luh Ratih), serta direstui oleh para penatua primus inter pares di komunitas peran wayang ini: 1. Batara Narada (Dick Pertino); 2. Semar (YB Suhartoko); 3. Riri Ratri dari Kerajaan Kediri (Bathari Pratiwi); 4. Permoni (Gabriella Gloria); 5. Gatotkaca ( Stefanus Chryza); 6. Lesmana Mondrokumoro (Sir Ilham Jambak). Di hadapan para juri inilah, masing-masing calon pemimpin rakyat menyampaikan materi presentasinya untuk merebut simpati massa guna melampiaskan jatidirinya sebagai makhluk yang punya selera dan ambisi berkuasa ini.
Gaya punya selera
Maka tampillah Santana Garu, sosok petinggi militer super arogan yang tampil berkuda layaknya figur Pangeran Diponegoro dengan menggembar-gemborkan ambisinya menjadikan Negeri Suranesia ini sebagai bangsa yang terhormat di hadapan bangsa-bangsa lain. Berikutnya, Dudung Bikung, sang mantan jenderal, yang suka menembak mati siapa pun yang dianggap perusuh dan teroris. Lalu, Graito Bakari yang namanya terperosok karena kasus ‘pulau lumpur’.
Binanti Yugama –satu-satunya calon pemimpin perempuan—yang terobsesi ingin menjadi maharatu. Berikutnya, Burama-rama yang merasa layak dipilih menjadi pemimpin rakyat karena sudah berhasil menjadikan musik dang dut sebagai musik andalan khas Indonesia. Akhirnya, Jaka Wisesa dengan ajarannya tentang Hasta Brata tentang Delapan Kebijaksanaan yang meniru kodrat alami matahari, bulan, bintang, angin, api, samudera, mendung, dan bumi.
Jaka Wisesa diam-diam telah “diselundupkan” oleh Cangik masuk dalam pertandingan berebut kekuasaan itu berkat skenario cantik yang dia desain dan didukung oleh anaknya bernama Limbuk.
Di garis akhir pertunjukan, barulah muncul Prabu Baladewa (Rangga Riantiarno). Ksatria jagoan yang menolak tahta sebagai Maharaja ini mempertanyakan ketulusan niat dari para pelamar dan para juri. Suatu sikap kritis yang perlu kita miliki, tidak terbuai oleh janji-janji manis maupun kata-kata indah para politikus. Namun, di mata saya kemunculan Mahaprabu ini malah terasa amat ngganjel, karena justru akhir ceritanya malah bergeser dari urusan pemenangan Jaka Wisesa di panggung politik ke topik kemarahannya sebagai petinggi kerajaan yang merasa ditelingkung oleh mBok Cangik.
Kondisi politik kontemporer
Republik Cangik masuk jadwal pentas Teater Koma sesi awal pada kurun waktu pertengahan November 2014. Ini terjadi, persis hanya sebulan setelah Presiden Joko Widodo alias Jokowi naik ke tampuk kekuasaan Indonesia usai meninggalkan pos-pos sebelumnya: dua kali masa jabatan sebagai Walikota Surakarta (Solo) dan separuh masa jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sesuai nafas Teater Koma besutan Nano Riantiarno yang selalu mengambil sumber inspirasi naskahnya dari situasi sosial politik pada zamannya, maka Republik Cangik produksi November 2014 lalu itu menjadi sangat jelas berkisah tentang kisah Jokowi merebut kunci masuk Istana Negara.
Jokowi berhasil menggungguli para pesaing dan penantangnya di Pemilu 2014: Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto, Jenderal TNI (Purn.) Wiranto, pengusaha sekaligus politisi Golkar Aburizal “Ical” Bakrie, penyanyi dangdut Rhoma Irama, dan lainnya. Kemenangan Jokowi di panggung politik nasional sudah barang tentu tidak bisa terlepas dari peran penting Megawati Soekarnoputri –sang mantan Presiden—yang merestui ‘petugas partai’ ini meninggalkan Solo menuju Jakarta dan kemudian meninggalkan Balai Kota melaju kencang menuju ke Istana Negara.
Republik Cangik produksi kolaborasi Teater Koma dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unika Atma Jaya di bulan September 2016 rasanya juga tidak jauh dari panggang api di atas. Skenario cerita sama sekali tidak diubah, dengan demikian atmosfir sindiran politik pun juga masih sangat kental terasa. Kita tidak perlu bertanya lebih jauh siapa tokoh-tokoh utama di Republik Cangik ini, toh semua orang pintar Indonesia dengan mudah bisa menebaknya.
Langkah maju
Yang perlu diungkap justru langkah maju segenap civitas academica FEB Unika Atma Jaya. Di sini kita melihat bagaimana para dosen, karyawan dan mahasiswa FEB bisa melakukan sebuah sinergi budaya yang bagus di lingkungan mereka untuk mereka boyong ke Teater Koma dan kemudian ‘dipresentasikan’ bersama untuk konsumsi publik sebagai sebuah pergelaran seni.
Dua bulan latihan setiap hari sebenarnya merupakan waktu yang teramat pendek untuk menggarap sebuah projek pergelaran seni skala besar seperti ini. Bukan dalam artian jumlah orang, melainkan lebih karena ini sebuah ‘projek’ melangkah maju ke depan untuk mengembangkan minat sekaligus bakat seni di kalangan para pengampu FEB Unika Atma Jaya dan para mahasiswanya. Karena itu, jangan heran kalau di latar belakang panggung yang menjadi latar belakang stage, ya hanya itu-itu saja alias layar belakang tidak pernah “berganti wajah”.
Yang harus diacungi jempol justru komitmen serius dari segenap anggota civitas academica FEB Unika Atma Jaya untuk mengolah seni di kalangan mereka sendiri plus tambahan beberapa pemain dari luar FEB. Di tangan Teater Koma, kesenian itu menjadi riil untuk kemudian layak dipertontonkan kepada publik. Karena itu, pujian besar pertama-tama saya berikan kepada sosok Limbuk yang pintar bermain kata-kata dengan ragam suaranya yang sangat khas. Begitu pula dengan Riri Ratri yang mengesankan diri sebagai perempuan ningrat nan super kenes plus dua embannya yang rampyak kompak.
Desain kostum yang menawan terjadi pada serombongan serdadu yang dimainkan oleh Arnold, Loren, Arvin, Iwan, Gabriel, Casey, dan Julio serta rombongan penari Tunjung oleh empat perempuan berbusana indah: Oktin, Sonia, Agatha, Stefi, dan Yola.
Sebuah pertunjukan teater tentu saja mengandalkan paduan tata suara yang harus andal. Di balik iringan musik yang apik di situ ada Idrus Madani dan Fero A. Stefanus, penata busana (Rima Ananda), penata tari (Ratna Ully), sutradara Nano Riantiarno dan asistennya Ohan Adiputra.
Republik Cangik adalah sebuah “operet” kehidupan politik situasional di Indonesia masa kini. Pertunjukan seni ini sengaja dikemas secara karikatural dengan meminjam para tokoh peran di dunia wayang. Menjadi menarik dan relevan, karena Republik Cangik menggambarkan bagaimana masing-masing peran wayang kontestan pada pesta demokrasi nasional di Pemilu 21 bermain sandiwara politik dengan menjual ide pepesan kosong alias janji-janji suci di atas awang-awang.
Ingat, bahwa pertunjukan perdana Republik Cangik itu terjadi hanya sebulan setelah pemerintahan Kabinet Kerja ini masuk Istana Negara.
Kredit foto: Marcelinus Sugiarto
teater koma yang sudah populer keandalannya, tentu tak diragukan lagi kala berkolaborasi dengan FEB Unika Atma Jaya. Semoga seni untuk pendidikan karakter bangsa lebih mengemuka dan disadari peranan pentingnya di samping olah raga. dengan demikian diharapkan perhatian pemerintah terhadap seni semakin besar. semoga!