Retret Panjang Bersama Coronavirus

2
260 views
Retret Panjang Bersama Coronavirus yang dialami para frater calon imam di Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII Malang. (Ist)

MENJALANI kehidupan sebagai seorang calon imam pasti banyak hal yang menjadi tantangan. Apalagi setelah Covid-19 berubah menjadi pandemi.

Perjalanan menjadi seorang imam menjadi semakin menantang.

Itulah yang saya rasakan selama berada di Seminari Tahun Orientasi Rohani selama setahun terakhir ini.

Tidak ada yang kami lakukan di masa pembinaan calon imam diosesan ini selain berdoa dan bekerja.

Kunjungan lingkungan ditiadakan. Peregrinasi dibatalkan. Rekreasi akhir tahun juga dihilangkan.

Memang tidak bisa dipunkiri bahwa masa formasi seorang calon imam banyak mengalami perubahan. Mulai dari kuliah hingga pastoral semuanya dilakukan secara daring.

Akan tetapi, di sisi lain formasi di masa pandemi ini justru menjadi kesempatan berefleksi dan merenungkan kembali perjalanan panggilan yang selama ini telah dilalui.

Pandemi ini juga seolah-olah menjadi cara Allah untuk memurnikan motivasi panggilan setiap orang yang ia panggil.

35 frater “lulus” Seminari Tahun Rohani

Setelah kurang lebih 10 bulan menjalani masa formasi di Tahun Rohani, maka tanggal 15 Juli 2021, saya dan teman-teman boleh meninggalkan Seminari TO di Lawang.

Untuk melanjutkan pembinaan ke rumah formasi selanjutnya yaitu Seminari Tinggi San Giovanni XXIII Malang.

Tidak biasa dipungkiri, saya dan teman-teman merasa sangat bahagia terlebih lagi kami menyelesaikan pendidikan Tahun Orientasi Rohani dengan perdikat sangat baik.

Yaitu dengan bukti lulusnya satu angkatan yang berjumlah 35 orang.

Setelah sampai di Seminari Tinggi, kami harus menjalani karantina mandiri selama kurang lebih selama lima hari.

Akan tetapi, setelah lima hari saya dan beberapa teman saya harus kembali menjalani karantina selama kurang lebih dua pekan. Hal ini dikarenakan salah satu teman kami positif Covid-19.

Menjalani karantina menjadi masa di mana saya merefleksikan kembali panggilan yang kini saya jalani.

Proses karantina yang mengharuskan setiap orang tinggal di kamar tanpa berinteraksi dengan orang lain menjadi kesempatan emas dan memiliki banyak waktu untuk berdoa dan refleksi.

Di dalam waktu pribadi itu hanya ada saya dan Allah atau biasa disebut sebagai retret pribadi di masa pandemi.

Dalam permenungan, saya menyadari bahwa pandemi yang sedang terjadi ini merupakan kenyataan riil. Terjadi pandemi ini bukan sebagai cobaan atau ujian seperti yang banyak orang katakan.

  • Kita harus memaknainya secara berbeda. Kita jadi  memiliki waktu lebih banyak untuk bersama Tuhan di dalam doa dan refleksi.
  • Kita sudah terlalu sibuk akan segala pekerjaan duniawi, kita juga terlalu sibuk mencari kesalahan orang lain, bahkan terlalu sibuk untuk mencintai diri sendiri dan keluarga kita.
  • Karena itu, kita kini punya waktu lebih agar semakin mencintai diri sendiri dan orang lain.
  • Kita ingin berhenti sejenak dari kesibukan dan menjadi lebih dekat dan memeluk-Nya lebih erat. Seperti anak yang telah lama mencari bapanya dan pada akhirnya menemukannya.

Itulah yang diinginkan oleh Allah. Ia ingin agar kita menemukan-Nya di dalam keheningan hidup dan permenungan di dalam kesendirian yang bermakna.

Selama saya menjalani masa karantina, saya juga menyadari bahwa manusia zaman sekarang sudah terlalu jauh dari Allah, Sang Sumber Keselamatan.

Sikap inilah yang membuat manusia jatuh semakin jauh dari pergaulannya dengan Allah.

Walaupun demikian, Ia tetap memanggil kita kepada cintaNya yang begitu besar. Lewat perantaraan Yesus Kristus, Puteranya.

Akan tetapi, haruskah selalu seperti itu? Dan haruskah Yesus disalibkan untuk kedua kalinya demi menyelamatkan kita?

Menjadi lebih baik

Itulah yang ingin kita refleksikan lewat pandemi ini.

Kita sebagai manusia harusnya menyadari hal ini.

Dari permenungan akan cinta Allah ini, sebagai seorang calon imam, kita mestinya semakin ingin memberi diri sepenuhnya kepada Allah.

Akan tetapi sebagai manusia, saya juga sering menjauh dari cinta yang telah Dia berikan dengan sepenuh hati.

  • Saya lebih sering mengikuti kehendak hati ketimbang kehendak Allah, sang empunya tuaian.
  • Saya lebih sering iri hati kepada sesama dari pada menolong sesama yang lebih membutuhkan.

Kegiatan berbagi

Hal ini saya rasakan lebih nyata lagi, ketika Hari Kemerdekaan Indonesia.

Saat itu, saya dan frater lainnya mengumpulkan uang Rp 15 ribu untuk membeli nasi kotak yang kemudian dibagikan kepada orang yang membutuhkan.

Pengalaman ini sangat berharga bagi saya, terlebih lagi lewat cara ini saya belajar untuk semakin murah hati terhadap sesama yang lebih memmbutuhkan.

Lewat cara ini pula, saya menyadari bahwa masih banyak orang-orang di luar sana yang lebih membutuhkan dan kurang mampu dari saya.

Mereka membutuhkan orang-orang yang mau memperdulikan mereka, dan mengangap mereka sebagai sesama manusia.

Oleh karena itu, saya menjadi semakin terpanggil untuk melayani sesama sebagai altar Kristus atau Kristus yang lain di dunia ini.

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here