ALMARUM Br. Hardjaatmadja SJ ketika itu menjadi minister di Kolese Hermanum Jakarta saat saya masuk STF tahun 2002. Pada kesempatan perkenalan, ia juga dikenal sebagai Hardja Angkasa, seorang anak polisi, untuk membedakan diri dari Bruder Hardja Listrik (kalau tidak keliru namanya Bruder PC. Hardja Wardaya, SJ–maaf saya tidak sempat mengecek di Katalog SJ) dan dari Bruder Hardjasoekarto, SJ yang lebih banyak dikenal sebagai Hardja Bagus.
Sebagai minister, beliau tinggal di Komunitas Johar Baru. Saya pun juga tinggal di situ.
Suatu hari, demi membantu program JRS menjual buku berjudul “Jembatan Air Mata” (buku tentang kisah-kisah pedih para pengungsi Timor Leste) di Paroki Theresia yang diiringi dengan misa penggalangan dana oleh Direktur JRS Indonesia saat itu Romo Edi Mulyono, SJ, saya meminjam mobil pada Bruder Hardja. Hal yang sebenarnya agak jarang dilakukan oleh frater-frater skolastik kala itu.
Saya ‘matur’ ke Bruder Harja soal keperluan itu. Dengan penuh semangat, beliau langsung mengatakan, “Tulis saja di buku, Frater. Tanggal berapa dan jamnya. Pakai Kijang Pater Franz saja.”
Waktu itu, di Wisma Johar Baru ada tiga mobil: Mobil Kijang Hijau (Mobil yang dibeli untuk memfasilitasi Romo Franz Magnis, menurut keterangan Bruder waktu itu), mobil rektor, dan mobil minister.
Saya mengikuti petunjuk Bruder. Jadilah, mobil kijang hijau itu saya booking. Karena belum bisa nyetir mobil, saya meminta tolong seorang skolastik lain.
“Frater, kalau lain waktu perlu mobil lagi, tinggal tulis saja,” kata Bruder Hardja, sembari tangannya yang ‘antep’ itu menepuk punggungku. Ini adalah gesture bruder untuk menunjukkan keakraban.
Di lain waktu, komunitas Wisma Johar Baru berpesiar makan malam di Muara Angke. Bruder Hardja, Pater Rektor, dan Pater Franz Magnis ikut bergabung dengan rombongan para frater.
Sementara beberapa orang duduk santai lesehan di salah satu tempat makan sekaligus tempat masak, Bruder Hardja mengajak seorang skolastik untuk menemani belanja hasil laut yang akan dimasak.
Menurut kisah frater itu, Bruder Hardja sedang memilih-milih ikan yang hendak dimasak.
Kemudian, Bruder Hardja bertanya harga.
“Tiga puluh, Pak,” kata pedagang itu.
Alih-alih mengajukan penawaran ke harga yang lebih rendah, Bruder Hardja malah mengatakan, “Alah.. wong saya biasanya beli itu 33 ribu.” Sontak pedagang itu pun kaget.
Frater itu “menjawil” Bruder untuk mengatakan ulang harga yang ditawarkan oleh pedagang. Baru saja keluar “Der” Bruder Hardja langsung menyela. “Husss.. saya itu sudah biasa belanja di sini.”
Frater itu pun langsung diam.
Sesudah duduk santai di tempat makan, sementara ikan itu dimasak, Frater itu menyampaikan ‘kekeliruan’ Bruder.
“Der, tadi itu ikan sekilo 30 ribu. Lha Bruder nawarnya malah 33 ribu. Pedagangnya bingung, Der.”
“Lha tadi kok Frater ga ngomong ke saya,” kata Bruder.
Itulah malam penuh gelak tawa di Muara Angke bersama Bruder Hardja.
Boleh jadi Romo Agustinus Suharyadi SJ, Romo Dwiko SJ, Rm. Dwi Kristanto turut merekam kejadian malam itu.
Rekan senior menambahi pengalamannya bergaul dengan alm. Br. Hardja.
Waktu itu sebagai toker yang sekolah di UI saya tinggal di Kolese Kanisius Menteng, tahun 1995-an. Karena tinggal nulis tesis, saya punya banyak waktu untuk bantu-bantu di Yayasan Abdi Siswa dan sekolahan, juga bantu-bantu belanja Bruder Hardja.
Suatu kali Bruder belanja sendiri, tapi kok lama sekali ga balik-balik.
Rupanya mobil Mitsubishi L300-nya sampai keabisan bensin di Jl. Thamrin. Sudah begitu bruder balik ke Kanisius hanya untuk ambil bensin. Entah naik apa. Ya mobil ditinggal begitu aja. Zaman itu belum lazim orang menggunakan HP.
Untung mobil mogoknya tidak sampai diderek orang. Boleh dibilang, waktu itu Jakarta masih rada lengang.
Photo credit: Kerkop Girisonta (Ilust/Mathias Hariyadi)