NAMANYA tidak sepanjang semangatnya. Sehari-hari hanya dipanggil dengan nama ‘Plon’ –tak jelas apakah itu kependekan dari ‘Cemplon’ atau ‘Klepon’. Namun dalam diri Plon –begitu pria berkulit hitam legam ini biasa dipanggil akrab di lingkungan kerjanya—ada deretan sangat panjang bila harus menyebut bagaimana Plon ini berkiprah.
Saya mengenal Plon di luar skenario. Tahun 1996 ketika ada perhelatan olah raga SEA Games, Plon datang memberi tawaran: menjadi partner untuk liputan olah raga. Lazimnya wartawan yang sudah malang melintang di dunia ‘persilatan liputan lapangan’, Plon bergerak amat cepat. Ia segera bisa mendapatkan id card khusus untuk liputan. Juga yang tak kalah menarik, kaos sponsor Nikon dua buah berikut topi keren yang menjadi idaman setiap fotografer saat itu.
Mengenakan kaos Nikon, topi Nikon, dan kemudian menenteng Nikon 90X jelas merupakan kebanggaan saya. Plon memberi semangat lebih, karena di pundaknya sudah tertenteng Nikon F-4 yang lebih canggih lengkap dengan lensa tele dan tentu saja rompi dengan banyak kantong agar bisa menyimpang rol-rol film hasil jepretan di lapangan.
Nah, ketika SEA Games akhirnya digelar di Jakarta, saya mendapat partner Plon ini.
Awalnya kikuk mendapat partner lebih tua dan lebih senior dalam pergaulan, namun toh rasa kikuk itu dalam sekejap lenyap karena gaya yang super rileks dan informal. Selama beberapa hari, kami berdua meliput panahan, renang, dan akhirnya senam.
Untuk itu, kami harus pergi ke stadion olah raga DKI Jakarta di kawasan Jl. Raden Inten, Buaran, Jakarta Timur. Pulang dari liputan, Plon naktrir makan saya di sebuah warung spesial konro di kawasan Gudang Peluru, di tepian Jl. Casablanca.
Morris Club
Namun kali ini, Plon mau tampil gaya. Tidak dengan Nikon F-4 atau T-shirt, melainkan membawa mobil Moris tua kesayangannya. Dengan warna merah mencolok disertai tampilan serba ‘open-air’, Plon membawa kami pergi meliput ke stadion olah raga Raden Inten meliput pertandingan senam.
Plon teramat bangga dengan Morris kesayangannya itu. Secara olok-olok dia selalu menyebut Morris itu bagaikan ‘istri keduanya’ setelah Mbak Sri Handayani –istrinya betulan yang telah memberinya dua anak.
“Apa tidak kehujanan?,” tanya saya waktu itu.
“Tentu saja tidak, karena Morris ini juga disertai terpal yang bisa diangkat-pasang,” jawabnya pasti.
Alhasil, pengalaman meliput pertandingan senam di Raden Inten sangat membekas di hati saya. Lantaran ke sana dengan mengendari Morris yang ternyata juga menjadi mobil favorit Mr. Bean.
Morris tak jadi kami bawa ketika kami berdua harus segera menuju ke Subang, Purwakarta, untuk liputan pertandingan sepeda gunung. Juga ke Waduk Jatiluhur untuk liputan olah raga dayung.
Kami berdua bertemu Laksamana Mada Widodo AS –kala itu masih Wakil Kepala Staf TNI AL—yang belakangan menjadi KSAL, lalu kemudian Panglima TNI dan bahkan Menko Polhukam.
Tapi bukan karena ketemu petinggi itu, kenangan saya akan Plon masih terngiang-ngiang di kepala.
Justru karena Plon, saya lalu menyukai fotografi dengan objek khusus: wanita cantik.
Nah, ‘korban’ pertama hunting kami berdua adalah penyanyi Mayangsari yang kala itu belum setenar sekarang yakni menjadi istri Bambang Trihatmodjo—putra almarhum Pak Harto.
Plon menantang saya: “Belum layak jadi fotografer, kalau belum berani foto perempuan cantik,” katanya memberi semangat sekaligus menantang.
Saya pun lalu tertantang dan akhirnya setelah mendapatkan nomor kontak, kami berdua pun lalu meluncur ke kawasan Bintaro di Jl. Manyar untuk menemui sang ‘bintang’.
Butuh 4 jam hanya untuk menunggui ‘sang bintang’ keluar dari kamarnya. Karena katanya masih ngantuk dan baru saja tidur pulas.
Di kemudian hari, kami berdua hunting foto dengan memotret Sarah Azhari di kawasan Pejaten. Karena kelincahan bergaul Plon lah, kami berdua akhirnya bisa mendapatkan lokasi dimana rumah Sarah itu berada.
Tidur panjang
Entah mengapa tiba-tiba awal pekan lalu, saya bermimpi bertemu Plon dalam sebuah pengalaman liputan. Namun sehari kemudian, ternyata Plon lalu jatuh di kantor dan kepalanya membentur lingir (sudut lincip) sebuah meja dan kemudian beberapa jam kemudian dia langsung tak sadarkan diri.
Lima hari kemudian, muncul berita mengagetkan: Plon baru saja meninggal dunia.
Saya kaget sekaligus merasa kehilangan. Sejarah kebaikan manusia berjuluk Plon –seperti awal tulisan ini— sungguh lebih panjang daripada hanya sekedar nama panggilannya.
Seperti kata Nugroho F. Yudho –wartawan dan direktur Humas Kelompok Kompas Gramedia—dimana pun ada acara, di situ pula Plon selalu berada. “Almarhum selalu muncul dimana-mana dan itulah kekhasan dia yakni berada dimana-mana mewakili korporasi, selain tentu saja kemana-mana membawa kamera, rompi, dan celana jins berkantong banyak,” kata wartawan perintis TV7 dalam sambutannya mengiringi kepergian Plon dari Ruang Duka RSAD Gatot Subroto menuju tempat peristirahatannya terkahir di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Plon –sekali lagi—memang tidak sependek namanya. Selamat jalan kawanku Ignatius Haryanto –nama asli Plon—selama meniti jalan menuju Tuhan.
Sahabatku Plon, beristirahatlah dalam damai.
Photo credit: Plon tahun 1996 (Mathias Hariyadi)