SATU kata sudah cukup mewakili hal ini: panggilan hidup religius itu sungguh “misteri”. Dalam artian, hanya Tuhan yang punya “mau-Nya” dan kita manusia yang bersedia dan mau menjalani panggilan-Nya apa tidak.
Kisah hidup perjalanan panggilan Romo FX Benny Margono Pr (62) kiranya sangat mewakili pernyataan awal tersebut.
Usai meninggalkan Novisiat SJ tanpa sempat “pamit” dengan teman-teman angkatan Novis SJ (1982-1984), keberadaan Benny Margono baru bisa terlacak penulis sejak dua tahun terakhir.
Saat itu, Benny sudah lama bekerja sebagai seorang profesional dengan jabatan manajer HRD di sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang produksi obat-obatan dan usaha bisnis lainnya.
Untuk posisi penting ini, Benny malah dikasih “hadiah” boleh tinggal di sebuah rumah elit di bilangan Santa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Bahkan untuk urusan donasi amal kasih pun, Benny Margono sangat cepat “ringan tangan” membantu untuk misi belas kasih kepada sesama.
Kurang lebih setahun lalu, Benny baru saja pensiun dari jabatannya itu dan untuk seterusnya hanya berfokus diri pada upaya “meneruskan” sejarah panggilan hidup religiusnya yang sudah sangat tertunda selama lebih 22 tahun – kurun waktu mulai tanggal 2 Juli 2000 sampai 16 Februari 2023.
Menjadi selama 42 tahun, kalau dihitung dari tahun masuk KPA Seminari Mertoyudan tahun 1981.
Maju terus pantang mundur
Dan itulah ciri khas Romo Benny Margono Pr.
Kalau sudah punya “mau”, maka tujuan hidup itu akan dia kejar sampai dapat. Maka ketika Uskup Keuskupan Padang Mgr. Vitus Rubianto Solichin SX mendapati data, di keuskupannya ada seorang “diakon” calon imam “hilang” tak berjejak, maka lalu dicarilah upaya untuk menemukan keberadaannya.
Singkat kata, terjadilah pertemuan sangat konstruktif antara Diakon Benny Margono Pr dengan Uskup Mgr. Vitus Rubianto Solichin SX untuk bicara “masa depan”.
Kepada Benny Margono, Uskup kurang lebih bertanya, “Mengapa sudah sekian lama mundur dari Keuskupan Padang dan malah kemudian sempat bergabung di tempat lain tapi juga tidak lanjut, ini kok tidak mau mengajukan proses laisasi menjadi awam saja?”
Sejauh saya mendengar kisah ini, Benny Margono lalu mengatakan, “Itu karena saya tetap ingin bisa menjadi imam.”
Lalu dicarilah formula agar niat luhurnya seorang “pekerja keras” Benny Margono bisa menemui jalan lapang menuju panggilan religius menjadi imam.
Tidak penting bagi Benny Margono apakah menjadi imam itu harus berindentitas sebagai Jesuit, Trappist, atau seorang imam lokal diosesan. Yang penting, bisa menjadi imam.
Maka, ketika “status” resmi diakonatnya masih terinkardinasi (tercatat resmi) sebagai anggota Keuskupan Padang, maka jalan lapang menuju ke sana itulah yang mesti dia raih.
Dan syukurlah, Uskup Mgr. Vitus memberi arah dan jalan lapang itu menuju ke sana.
42 tahun mencari “identitas” panggilan menjadi imam
Kiranya nukilan artikel yang pernah ditulis Wiryawan -alumnus Seminari Mertoyudan tahun 1979 dan mantan frater novis Karmelit- ini sedikit memberi gambaran jelas. Betapa Benny Margono, kata Wiryawan, telah menghabiskan waktu selama 42 tahun untuk bisa menemukan “pelabuhan” tepat bisa menjadi seorang imam diosesan Keuskupan Padang.
Begini tulisan Wiryawan yang mengenal dekat Benny Margono, karena keduanya sama-sama berasal dari sebuah paroki di Jakarta. Bahkan, kemudian sama-sama ingin menjadi calon imam di Seminari Mertoyudan dan lalu bersama lagi berkuliah di Unika Atma Jaya Jakarta.
“Kami bersama-sama ada di satu fakultas yaitu FIA dan sama sama aktif di Pastoran Atma Jaya. Saya sering mengatakan, Benny ini kok lebih Karmelit dibanding saya – seorang mantan Karmelit. Itu karena Benny sangat aktif di Pastoran Atma Jaya, terutama berkaitan dengan kegiatan rohani dan liturgi.
Sedangkan, saya ini dikesankan lebih seperti Jesuit daripada Benny (mantan frater novis Jesuit) hanya karena saya senang berorganisasi, kaderisasi, dan pembinaan mahasiswa dengan semangat kebangsaan,” tulis Wiryawan di WAG alumni Seminari Mertoyudan beberapa bulan silam.
Kepada Wiryawan, Benny pun berkisah bahwa keinginannya menjadi imam sudah ada di dalam dirinya sejak kecil.
Untuk mewujudkan panggilannya, Benny lalu masuk Seminari Mertoyudan selesai SMA. Masuk sebagai murid KPA tahun 1981-1982 dan dilanjutkan masuk Novisiat Serikat Jesus Girisonta tahun 1982-1984.
“Mulai Agustus 1984, Benny berkuliah di Unika Atma Jaya, memilih FIPK yang nantinya berubah menjadi FIA,” tulis Wiryawan.
“Lulus dari Atma Jaya tahun 1989, Benny lalu bekerja di Matahari Deparment Store sampai Juli 1992,” kenang Wiryawan.
Belakangan, Benny Margono lalu melamar menjadi calon imam diosesan Keuskupan Padang. Barangkali karena latar belakang keluarganya dari Padang, maka secara emosional terikat pula dengan ikatan budaya leluhurnya di Padang.
Sebelum berjubah lagi sebagai calon frater Keuskupan Padang, kenang Wiryawan, Benny sempat “berpastoral” di sebuah paroki di Kota Padang; sembari sehari-hari bekerja sebagai Sekretaris Direksi RS Katolik Yos Sudarso di Padang milik padang milik keuskupan.
Tahbisan diakonat di Medan tahun 2000
Ini catatan lanjutan yang ditulis Wiryawan.
Setahun kemudian, Benny diizinkan masuk Seminari Tahun Rohani Praja di Seminari Tinggi Santo Petrus Pematang Siantar; kemudian melanjutkan studi S1 Filsafat dan pasca S1 selama dua tahun sampai tahun 2000.
Setelah selesai studi filsafat dan teologi di Pematang Siantar, Benny Margono menerima tahbisan diakonatnya dari tangan Mgr. Pius Datubara OFMCaP di Medan tanggal 2 Juli 2000.
Benny menjalani masa diakonatnya selama tiga bulan di Muara Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumbar.
Masuk Trappist di Pertapaan Santa Maria Rawaseneng
Suasana hening di Mentawai ternyata malah mendorong Benny ingin menjajal hidup monastik dengan menjadi seorang rahib.
Benny mohon kepada Uskup agar diperbolehkan mulai hidup sebagai rahib di Pertapaan Trappist Santa Maria Rawaseneng, Temanggung, Jateng. Ia menjalani pola hidup monastik ini sampai tahun 2005.
Karena Rawaseneng tidak “butuh” imam lagi karena di antara mereka sudah ada yang tertahbiskan menjadi imam, maka Benny Margono memutuskan ingin kembali ke Keuskupan Padang.
“Mohon kepada Uskup Mgr. Situmorang OFMCap supaya boleh ditahbiskan menjadi imam diosesan untuk Keuskupan Padang. Namun, almarhum Mgr. Martinus Dogma Situmorang OFMCap menolak permohonannya dan malah menyarankan agar Benny sebaiknya ‘copot jubah’ saja dan mengajukan proses laisasi untuk menjadi awam,” tulis Wiryawan.
Lagi-lagi ini ciri khas Benny Margono. Kalau sudah punya “mau”, maka usulan “copot jubah” sebagai diakon itu pun ditolaknya.
Ia tetap mau menjadi imam.
Kalau pun hingga saat itu Uskup Mgr. Situmorang masih menolaknya menahbiskannya menjadi imam, maka akhirnya Benny memilih “undur diri” sejenak dari lingkungan kaum berjubah dan berkarier sebagai awam.
Dari sinilah, Benny lantas berkarier sebagai manajer HRD di sebuah perusahaan swasta.
“Kembali Benny menjalani hidup sebagai awam. Ia bekerja di perusahaan produksi obat Betadine sebagai HRD manajer sampai pensiun November 2021. Selama 16 tahun bekerja di perusahaan swasta itu, Benny tetap memilih hidup selibat,” tulis Wiryawan.
Baca juga: Romo Benny Margono Pr, Jadi Pastor untuk Keuskupan Padang di Usianya ke-62
Status diakonat “tergantung” tak jelas
“Keinginanku ingin menjadi imam tetap tinggi dan aku sering berdoa begini. Jika Tuhan mau, maka aku juga menjadi semakin diyakinkan bahwa Dia sendiri akan membuka jalan bagiku,” tulis Wiryawan “membahasakan” curhatan Benny Margono beberapa bulan sebelum tahbisan imamat.
Benny Margono akhirnya menghadap Mgr. Vitus dan menceritakan status diakonatnya yang “tergantung”.
Akhirnya Uskup Keuskupan Padang Mgr. Vitus Rubianto Solichin SX bersedia menerimanya kembali sebagai anggota klerikal Keuskupan Padang.
Benny kemudian diminta berpastoral melayani umat sebagai Diakon di Paroki Dumai mulai April-Desember 2022.
Setelah evaluasi dan rekomendasi dari pastor Paroki Dumai dan kesaksian umat yang dilayani, Uskup Vitus mengabulkan permohonan untuk ditahbiskan menjadi imam tanggal 16 Februari 2023 kemarin.
“Saya tanya bagaimana perasaan Benny? Ia mengatakan dirinya melihat semua ini sebagai jalan Tuhan baginya. Benny mengatakan dia sering tidak setia. Jatuh bangun, tapi Tuhan tetap setia. Tuhan membuka jalan bagiku, asal aku mau menyerahkan diri padaNya,” tulis Wiryawan.
“Semoga di usia 62 tahun ini -dalam sisa hidupku- aku masih boleh melayani Umat Allah dalam pelayanan sebagai imam sampai akhir hayatku. Mohon doakan diriku,” demikian pinta Benny Margono kepada Wiryawan.
Catatan refleksi
Melihat perjalanan hidup Benny semakin menyadarkan kita bahwa kita selalu diberi kesempatan baru untuk melakukan sesuatu yang benar; yang juga kita rindukan untuk mengisi hidup kita
Kita selalu bisa memperbaiki kekurangaan yang ada dan yang pernah ada dan melanjutkan alur cerita ke depannya sampai saat usia yang sudah ditetapkan oleh-NYA.
- Mereka yang gagal dan penuh perjuangan dalam mengejar panggilan hidup akan lebih menghargai kehidupan.
- Mereka yang pernah jatuh akan sangat menghargai arti kejatuhan.
- Mereka yang telah terkuras air matanya akan semakin mengerti betapa mahal arti setetes air mata.
Semua perasaan, pengalaman, setiap kondisi apa pun adalah pupuk untuk pohon kehidupan yang tumbuh dalam jiwa kita.
“Saya mendoakan Benny bahwa Tuhan selalu menyertai setiap langkah Benny. Karena Dia tidak pernah menjanjikan bahwa langit itu selalu biru, bunga selalu mekar, dan mentari selalu bersinar.
Dia selalu memberi pelangi di setiap badai, senyum di setiap airmata, berkah di setiap cobaan, dan jawaban di setiap doa Benny,” demikian Wiryawan menulis catatan reflektif yang bagus ini tentang “perjalananan” hidup Romo Benny Margono Pr yang penuh “haru-biru” itu.
“Berkat Tuhan selalu untuk sahabat saya: Benny Margono,” tulis Wiryawan menyudahi catatannya tentang kisah hidup Benny. (Berlanjut)
PS: Terimakasih atas catatan berharga tulisan Wiryawan di jalur WAG IASM.