Romo Benny Margono Pr, Jadi Pastor untuk Keuskupan Padang di Usianya ke-62 (1)

0
678 views
Romo FX Benny Margono Pr, Jadi Pastor untuk Keuskupan Padang di Usianya ke-62. (Paroki Perawang Riau)

NAMANYA FX Benny Margono. Kini, umurnya sudah 62 tahun. Sungguh, sudah tidak muda lagi untuk mulai mengampu sebuah jabatan dan fungsi pelayanan pastoral sebagai pastor anyar.

Romo FX Benny Margono Pr telah menerima Sakramen Imamat dan ditahbiskan menjadi imam diosesan untuk Keuskupan Padang. Sudah berlangsung di Gereja Santo Yohanes Pembaptis Paroki Perawang Riau, Kamis tanggal 16 Februari 2023 kemarin.

Ikut menerima Sakramen Imamat dari Uskup Keuskupan Padang Mgr. Vitus Rubianto Solichin SX bersama Benny Margono adalah Diakon Marudut Nainggolan dan Jhon Mejer Manullang  – keduanya juga imam diosesan Keuskupan Padang.

22 tahun perjalanan berliku bagi Benny Margono menjadi imam

Saya mengenal Benny Margono mulai pertengahan Juni 1981. Terjadi, ketika ia datang dari Paroki Grogol di Jakarta Barat dan mau masuk Kelas Persiapan Atas (KPA) Seminari Menengah Mertoyudan.

Setahun kemudian, Benny Margono memutuskan lanjut bergabung masuk dengan Ordo Serikat Jesus (SJ) dan mulai menjalani  tahapan formasi awal sebagai calon Jesuit di Novisiat Girisonta (1982-1984).

Benny melamar masuk ke SJ bersama teman-teman sekelasnya di KPA: Tony Santoso (Semarang), F. Budi Hardiman (Jakarta), Hartono Budi (Pekalongan), Budi Subanar (Kidul Loji, Yogyakarta), Aloysius Sugianto (Pati), dan Hidayat Tjahja (Pangkalpinang, Bangka).

Dari kelas KPP Seminari Mertoyudan tahun 1978 hanya dua orang ikut masuk ke Novisiat SJ: PD Prasetyohadi (Ambarawa) dan penulis.

Angkatan Novis SJ (1982-1984) masih bertambah lagi dengan dua orang dari “luar” Seminari Mertoyudan yakni St. Sunardi (Girisonta) dari Seminari Menengah Stella Maris Bogor dan Simao Jacob Abel (Dili, Timor Leste) yang sudah selesai pendidikan calon imam diosesannya di Seminari Tinggi Ritapiret di Flores.

Dari 12 Novis calon Jesuit di Novisiat Girisonta ini hanya tinggal tiga orang yang masih berstatus imam Jesuit, yakni: Romo Budi Subanar SJ (Universitas Sanata Dharma), Romo Hartono Budi SJ (EAPI, Manila), dan Romo Simao Jacob Abel SJ (Dili, Timor Leste).

Yang menarik, ketiga imam Jesuit ini semuanya sudah bergelar doktor dan semuanya lulusan luar negeri: Roma, Amerika, dan Inggris.

Sementara yang sudah cucul (copot) jubah juga tidak kalah pamornya karena berhasil menyandang titel doktor: F. Budi Hardiman yang sudah bergelar profesor, St. Sunardi.

Kolese St. Stanislaus Girisonta dan Novisiat SJ. (Ist)

Benny, si pekerja keras di ruang cuci piring

Masa studi di Seminari Mertoyudan kurun waktu tahun 1981-1982, tak banyak kenangan tertinggal di benak saya akan sosok Romo Benny Margono ini.

Kenangan akan pemuda berperawakan sedikit “gembul” dengan tekstur warna kulit putih ini baru tergores kuat dalam memori penulis, saat kami bersama-sama menjalani tahapan formasi awal sebagai Jesuit di Novisiat SJ Girisonta (1982-1984).

Benny sangat menonjol -benar-benar luar biasa kalau mau dikatakan demikian- dalam soal semangat pelayanan. Dan itu dia buktikan di tempat cuci piring.

Usai makan siang atau malam, saat para novis bertugas menjalani lavare (cuci gelas, piring, dan lainnya usai makan bersama), maka Benny selalu menjadi leading figure di sini. Ia sungguh mrantasi dan sangat cekatan menangani lavare ini.

Praktis di tangan Benny Margono, tugas lavare selalu berlangsung sangat cepat dan tentu saja juga hasilnya ciamik: semua piring, gelas, dan lainnya menjadi bersih, tak ada lagi sisa-sisa lengketan minyak, lemak, dan lainnya.

Pokoknya, semua alat-alat dapur dan perangkat makan-minum jadi langsung cling di tangan Benny Margono.

Kerja rodi meratakan permukaan tanah lapangan bola Girisonta

Pendidikan calon Jesuit di Novisiat SJ Girisonta tahun-tahun itu diwarnai dengan kerja keras dan olah fisik secara spartan. Lapangan sepak bola di dalam kompleks Kolese St. Stanislaus Girisonta yang memiliki kemiringan hampir 1,5 meter diperintahkan oleh Romo Ignatius Haryoto SJ -magister novis saat itu- agar bisa segera “diratakan” tekstur penampakan atasnya.

Yang menarik, tugas meratakan tanah untuk lapangan sepak bola ini harus dikerjakan secara manual. Alias dengan tenaga kerja manusia.

Maka, jadilah kami para novis calon Jesuit angkatan tahun 1982-84 dan angkatan di atasnya tahun 1981-83 lalu “dipekerjakan” secara “rodi” untuk tugas mulia: meratakan tanah lapangan bola.

Hal sama juga masih berlaku untuk novis angkatan di bawah tahun 1983-85.

Untuk karya besar ini, tentu saja saya harus menunjuk St. Sunardi, Simao Jacob Abel, dan Benny Margono sebagai tokoh-tokoh hebat di balik “kerja rodi” meratakan lapangan bola ini. Lebih-lebih karena kekuatan fisiknya yang melebihi kekuatan sesama novis lainnya.

Kerjaan besar ini makan korban juga.

Jari Prasetyohadi jadi “gepeng” karena tertimpa batu besar saat benda berat ini mau diangkut dari sawah menuju lapangan.

Kaki kanan saya sobek 15 cm karena “menghantam” mata cangkul yang sisi tajamnya “mencuat” ke atas. Karena tertimbun tanah dan asyik “bercanda” sama Romo Danang Sigit Kuswawa Pr, maka salah saya sendiri -ketika loncat ke tanah- maka telapak kaki kanan saya langsung “tertancap” di mata cangkul tajam itu.

Kehilangan Benny Margono saat probasi di Jebres, Solo

Awal tahun 1984, bersama Hartono Budi, St. Sunardi dan Benny Margono, penulis mengikuti program formasi dalam wujud probasi. Menyamar sebagai buruh harian di beberapa pabrik dan rumah sakit.

Saya tak ingat Benny Margono “ditempatkan” di mana, namun penulis ingat benar kami berempat tinggal di sebuah rumah warga lokal penduduk di Kampung Kandang Sapi, tidak jauh dari Jebres.

Penulis sendiri “menyamar” kerja sebagai buruh harian sebuah pabrik rokok di kawasan Mojosongo. Hartono Budi mungkin kerja untuk sebuah RS tidak jauh dari Kandang Sapi dan dua teman lainnya entah menyamar kerja di mana.

Dari empat orang Novis calon Jesuit ini yang harus menjalani probasi kedua di Solo, maka hanya Benny Margono yang “sangunya” paling minim.

Ia hanya menggamit sebuah kain kantong bekas gandum dan sejumlah buku, sementara lainnya membawa ransel punggung dengan beban muatan penuh.

Maklumlah, kami harus tinggal di “rumah kos” milik warga lokal ini kurang lebih 1,5 bulan lamanya.

Untuk urusan kedaruratan, misalnya, hidup dan nyawa kami “dipasrahkan” kepada Pastoran Gereja St. Antonius Padua Paroki Purbayan di mana saat itu ada Romo Madyasusanto SJ (mantan direktur Seminari Mertoyudan), Romo Willenborg Widodo SJ (Pastoran Mahasiswa Jl. Kestalan), dan dua imam lainnya yang saya tidak ingat lagi namanya.

Usai “visitasi” Minister Romo Warnabinarja SJ ke “rumah kos” kami di Kandang Sapi itu, Benny Margono tiba-tiba saja langsung “menghilang”.

Kalau tak salah ingat, hanya Hartono Budi saja yang sempat “dipamiti” Benny, ketika dia memutuskan mundur sebagai novis calon Jesuit. Sementara saya waktu itu masih kerja di pabrik rokok dan dua teman lainnya di tempat kerjanya masing-masing.

Saat itu tidak ada HP. Juga tidak ada “jalur komunikasi” akrab dan terbuka antara novis dengan imam-imam pembimbing.

Jadilah, kepergian Benny Margono itu tetaplah menjadi “misteri” bagi kami.

Beberapa tahun kemudian, kami mendapat kabar bahwa Benny Margono sudah “pindah haluan” karena sudah melanjutkan studi calon imam diosesan untuk Keuskupan Padang.

Praktis, sejak tahun 1983 sampai saat ini, penulis juga belum pernah berjumpa dengan Benny Margono – “orang hebat” di ruang cuci piring Kolese St. Stanislaus Novisiat Girisonta kurun waktu tahun 1982-1984. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here