PADA hari Sabtu tanggal 1 April 2017 di sebuah tempat di Jakarta, keluarga besar Soegiono asal Pati, Jawa Tengah, memulé (memperingati) 100 hari meninggalnya Ny. Theresia Sri Jahjoe Soegijono. Almarhumah meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2016 dalam usia sangat sepuh: 92 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pati, Jawa Tengah.
Program acara memulé itu sendiri dirangkai menjadi tiga bagian: doa rosario bersama, perayaan ekaristi, dan baru kemudian acara ramah tamah.
Si Mbarep dan Si Ragil
Bagi saya, yang paling mengesankan dan mungkin juga menarik bagi segenap anak-cucu-cicit almarhumah adalah paparan kesaksian iman tentang sosok pribadi alm. Bu Theresia Sri Jahjoe Soegijono itu sendiri. Hidup almarhumah sebagai ibu dari 12 orang anak dan isteri dari alm. Pak Mathias Soegijono –mantan seorang bruder— itu lebih dari sekedar kisah rumah tangga biasa.
Sebagai orangtua dari 12 anak –empat anak perempuan dan selebihnya lelaki- sudah pastilah almarhumah Ibu Theresia Sri Jahjoe dan suaminya almarhum Pak Soegijono boleh dibilang sukses mengantar anak-anak ke jenjang sukses hidup yang sangat mapan. Putera mbarepnya (Si Sulung) yakni Ir. Michael “Mike” Sumarijanto adalah seorang arsitek terkenal. Ia pernah menjadi Ketua Dewan Komisaris Ikatan Arsitek Indonesia(IAI) dan kemudian membukukan prestasinya sebagai eksekutif papan atas di berbagai sektor bisnis energi dan perminyakan.
Di awal acara, Pak Mike atau Mas Yanto –panggilan akrab di lingkungan keluarga—berdiri mewakili pihak keluarga menyambut senang hati para anggota keluarga besar dan segenap umat katolik di Jakarta yang mengikuti acara memulé peringatan 100 hari meninggalnya Ny. Theresia Sri Jahjoe Soegijono ini.
Si bungsu –Matheus Agung “Ciput” Christiputro O.Carm—adalah seorang imam biarawan karmelit. Selama delapan tahun, ia pernah dipercaya Keuskupan Malang menjadi Rektor Unika Widya Karya Malang. Sebagai teolog lulusan London di Inggris, Romo Ciput –demikian panggilan akrabnya di lingkaran keluarga dan kawan-kawan di Seminari Mertoyudan– ia juga didapuk menjadi dosen teologi sosial di STFT Widya Sasana Malang.
Kini, alumnus Seminari Mertoyudan tahun masuk 1978 ini menjadi pastor kepala di Gereja Katolik Gembala Baik Paroki Batu, sedikit di luar kota Malang. “Berkarya pastoral di paroki itu menyenangkan, setelah sekian lamanya harus duduk di bangku kuliah sebagai dosen dan sebelumnya di dunia pendidikan tinggi sebagai rektor,” kata Romo Ciput sekali waktu.
Di antara kedua anak di barisan ujung pertama dan terakhir itu sudah barang tentu juga ada kisah-kisah sukses lainnya. Termasuk di antaranya salah satu puteri alm. Bu Soegijono yakni Bu Sri Ratna Sumariyati. Ia menikah dengan seorang diplomat karir bernama Pitono Purnomo yang kini didapuk menjadi Dubes RI untuk Kamboja di Phnom Penh dan tahun-tahun sebelumnya juga menempati pos jabatan sama sebagai Dubes RI untuk Vietnam berkedudukan di Hanoi.
Sosok ibu ideal
Kembali soal sosok almarhum Ny. Theresia Sri Jahjoe Soegijono yang menjadi sorotan utama. Menurut Romo Ciput O.Carm saat mengisi ruang waktu homili dengan sejumput kisah keluarga, ada beberapa hal pokok penting yang layak diteladani oleh segenap anak-cucu-cicit almarhumah. Dari ibundanya itu, demikian kata Romo Ciput, ia belajar banyak hal tentang ‘rahasia iman’ dalam hidup sebagai orang katolik.
Pertama-tama, kata dia, almarhumah ibundanya itu sangat menaruh hormat pada Bunda Maria.
Devosi yang begitu besar kepada Bunda Maria itu telah menjadi pijakan iman yang kokoh dalam mengarungi hidup berrumahtangga bersama suaminya –almarhum Pak Soegijono—dan mengasuh ke-12 putera-puteri mereka. “Karena itu, sebelum perayaan ekaristi dimulai, saya mengajak semua berdoa Rosario bersama-sama,” kata Romo Ciput.
Kedua, hal paling menonjol dalam diri almarhumah Bu Theresia Sri Jahjoe Soegijono adalah ‘komitmen’ pribadinya dalam hidup untuk selalu tampil riang hati.
Menurut Romo Ciput, sejak ia kecil hingga kemudian masuk Novisiat Karmelit di Batu tahun 1982 dan kemudian tahun-tahun berikutnya pasca tahbisan imamat, ia tidak pernah sekalipun melihat ibunya merundung duka. Sebaliknya, kata imam karmelit yang dua tahun lalu telah merayakan pesta perak imamatnya ini, almarhum ibunya selalu tampil hepi kapan pun itu waktunya.
“Roman muka ibu yang selalu tampi riang dan hepi itu sungguh menyejukan hati. Melalui roman muka yang ramah dan murah senyum itu, ibu telah memberi atmosfir positif di keluarga dan di lingkungan sekitarnya,” begitu kurang lebih isi homili berisi kesaksian iman tersebut.
Ketiga, yang tidak kalah penting dan itu sangat membekas dalam-dalam di hatinya sebagai seorang karmelit adalah nasehat spiritual seorang ibu kepada anak kandungnya yang kebetulan menjadi putera ragil (si bungsu) di keluarga. Yakni, petuah kasih seorang ibu kepada si ragil ketika hendak memutuskan mau terus jadi pastor atau tidak.
“Saat-saat penting ketika saya hendak mengucapkan kaul kekal sebagai karmelit, nasehat spiritual ibu itu membekas di hati. Kata ibu saat itu, ‘Kalau memang sudah mantep karep (kukuh dalam kehendak) ingin menjadi seorang biarawan karmelit, ya teguhkanlah niat dan kehendakmu itu dengan mantap dan serius. Jangan menoleh ke belakang lagi’,” demikian isi ‘kesaksian iman’ Romo Ciput O.Carm.
Hal sama juga terjadi lagi, ketika ia harus memutuskan mau jadi imam atau tidak.
Lagi-lagi, nasehat spiritual Sang Ibu itu kembali bergema. Apalagi nasehat itu dikatakan langsung kepada Romo Ciput, ketika almarhumah ibundanya berkesempatan mengunjungi dia di biara karmelit di Malang. “Setialah dengan niat mantapmu dan jangan lagi menoleh ke belakang atau mencari-cari yang lain,” begitu kurang lebih isi curhatan sang romo karmelit ini.
Sosok pribadi Ny. Theresia Sri Jahjoe Soegijono asal Pati, Jateng, yang pada hari Sabtu pagi tadi diperingati hari ke-100 pasca meninggalnya itu memang membekas di hati banyak orang. Utamanya, bagi segenap anak-cucu-cicit anggota keluarga besar Bpk-Ibu Mathias Soegijono dan Ny. Theresia Sri Jahjoe Soegijono.
Namun, kisah paparan kesaksian Romo Ciput O.Carm tentang sosok pribadi ibu kandungnya itu juga menjadi mutiara berharga untuk segenap umat katolik yang datang ikut mengenangkan almarhumah dalam doa rosario dan kemudian perayaan ekaristi kudus. Yakni, tentang irama perjalanan hidup perkawinan katolik yang sangat indah sebagaimana telah diteladankan oleh kedua pasang orangtua Romo Ciput O.Carm tersebut.
Itu adalah kesetiaan, komitmen menjaga keutuhan keluarga dan harmoni di dalamnya, keteguhan dalam mendidik anak-anak; utamanya pendidikan moralitas dan juga pengetahuan dan tentu saja nasehat spiritual sebagai sangu rohani bagi anak-anaknya.
Maka tak heran ketika Romo Ciput sejenak menyinggung keputusan ibunya saat remaja di kota kelahirannya di Desa Bakaran di Juwana –sedikit di luar kota Pati yang kemudian menjadi tempat tinggalnya bersama suami dan ke-12 anaknya di Jl. Diponegoro 108. Sadar bahwa pendidikan itu penting dan krusial karena bisa mengubah ‘masa depan’ orang, demikian kesaksian Romo Ciput, maka ibunya lalu meninggalkan Desa Bakaran untuk sekolah di luar kota.
“Kata ibu kepada anak-anaknya, jangan abaikan pentingnya sekolah untuk meraih pendidikan yang baik demi merenda masa depanmu sendiri,” begitu isi omongan Romo Ciput tentang komitmen orangtuanya soal mendidik anak dan menyekolahkan mereka ke jenjang pendidikan yang berkualitas.
Dengan demikian, maka lengkap sudahlah nasehat-nasehat penting dari almarhum Ny.Theresia Sri Jahjoe Soegijono kepada ke-12 anaknya waktu dulu. Di hari Sabtu pagi tadi, hal itu kembali disuarakan oleh Romo Ciput kepada segenap umat katolik yang hadir ikut memulé Sang Bunda dengan acara doa rosario bersama dan perayaan ekaristi.
Requiescat in pace.