TANPA terasa sudah 12 tahun lamanya, Romo Gregorius Priyadi SJ sudah berpastoral sebagai pastur misionaris asing di Kamboja. Negeri subur penghasil beras unggul dengan hamparan sawah berpanorama padi menguning dimana-mana ini pernah hancur berantakan, ketika pemerintahan otoriter komunis di bawah rejim Pol Pot mulai memberlakukan program “Year Zero” kurun waktu tahun 1975-1979.
Inilah tragedi umat manusia yang sering disebut dengan genosida dimana hampir 2 juta orang Kamboja mati dibantai oleh Pol Pot dengan cara yang sangat brutal dan kejam. Untuk memulai program “Tahun Nol” itu, semua kota harus ‘dikosongkan’ dari semua penduduknya. Semua penduduk kota kemudian digiring paksa dengan todongan senapan dan banyonet untuk dikirim paksa tinggal di pedalaman atau desa untuk memulai sesuatu yang baru: hidup bertani.
Semua bangunan dan sistem kehidupan yang berbau kapitalis dan Barat langsung diberangus. Bank, sekolah, rumah sakit, gereja, dan tentu saja kompleks pertokoan harus dimusnahkan di pusat-pusat kota. Maka yang terjadi kemudian: ribuan manusia mati kelaparan, karena kerja rodi yang harus mereka jalani di bawah todongan senjata dan banyonet.
Bisa terbayang dengan mudah: apa jadinya kalau insinyur, guru, dosen, akademisi, dokter, dosen, guru, bankir, pengusaha, dan para professional lain yang tidak biasa pegang sabit atau cangkul lalu harus kerja fisik mencangkul? “Dua uskup katolik juga mengalami masa-masa krisis dan kritis akibat penyiksaan bertubi-tubi karena kerja rodi tanpa asupan makanan mencukupi. Hingga kini kini jenazahnya tidak pernah bisa ditemuka. Bahkan kuburannya pun semua orang mengatakan tidak tahu. Jangan-jangan sudah dimakan anjing, karena tahun 1975-1979, anjing-anjing pun juga kelaparan karena kejamnya rezim Pol Pot,” kata Romo G. Priyadi dalam homilinya pada sebuah misa khusus di kawasan SerpongBSD, Minggu (26/8) lalu.
Monumen sejarah kekejaman
Museum The Killing Fields dan Tuol Sleng yang lazim disebut “Markas 21” di tengah kota Phnom Penh sungguh menjadi monumen bisu yang bisa merekam sejarah kekejaman rezim Khmer Rouge. Inilah barisan pasukan mesin perang dan kaum ideologis bernama Khmer Merah –disebut begini karena selalu mengalungkan syal lurik warna merah di leher mereka– yang digelorakan Pol Pot untuk membantai sesama warga Kamboja sendiri.
“Sebenarnya, Museum Killing Fields tidak hanya ada di Phnom Penh saja, melainkan masih banyak ratusan ‘monumen’ sejarah kekejaman rezim Khmer Merah besutan Pol Pot di seluruh wilayah Kamboja. Hanya saja, lokasi-lokasi di pedalaman itu tidak pernah dibuka untuk konsumsi turisme,” kata Romo Gregorius Priyadi SJ kepada Sesawi.Net saat bertemu di Phnom Penh, September 2011 lalu.
Setelah rejim Pol Pot tumbang dan muncul kemudian pemerintahan non komunis pimpinan PM Hun Sen, Kamboja perlahan bangkit dari “kubur” bernama sejarah kekelaman dan kekejaman. Namun, yang baik-baik –kata Romo Priyadi SJ—sudah telanjur habis dan hancur terbengkalai.
Sekarang ini, kondisi Kamboja relatif menjadi lebih baik, meski panorama kemiskinan masih terpampang di mana-mana. Namun, hamparan sawah dengan padi menguning sudah bisa kita saksikan sepanjang perjalanan panjang dari Ibukota Pnom Penh menuju Siem Reap sejauh 6 jam perjalanan naik bus. (Bersambung)