Pengantar Redaksi:
Berikut ini paparan Romo Murti Hadi Wijayanto SJ dari Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta tentang sejumlah episod penting kiprah berpolitik Mgr. Albertus Soegijpranata SJ dalam perjalanan sejarah politik nasional sebagaimana muncul di sebuah blog www.romokanjengthemovie.com.
1 Agustus 1940: Pasturan Gereja Bintaran Santo Yusuf, Yogyakarta
Romo Soegija SJ menerima telegram dari Vatikan diangkat jadi uskup. Siaran dari MAVRO (Studio Radio di Yogyakarta) juga mengumumkan berita telegram yang sama.
6 November 1940: Gereja Randusari Semarang (sekarang Katedral Semarang)
Romo A. Soegija SJ ditahbiskan menjadi Uskup. “Umatku semua, Inilah gembalamu,” tutur Uskup Vikariat Apostolik Batavia Mgr. Willekens SJ sebagai uskup penahbis di ujung acara tahbisan uskup.
1942: Jepang masuk Indonesia
Armada tentara Jepang mendarat di Indonesia melalui jalur Sandakan dan Tarakan di Kalimantan Timur. Begitu mereka merapat ke Jawa, semua pastur, suster dan bruder keturunan Belanda harus masuk penjara (diinternir) dan semua aset Gereja disita Jepang.
6 dan 9 Agustus 1945: Hiroshima dan Nagasaki dibom AU Amerika Serikat
Di tengah vacum of power, Dwitunggal Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Inggris mengambil alih tata kelola pemerintahan Jepang di Indonesia di tengah masa kritis Indonesia yang masih “balita”. Masa peralihan di tengah kekawatiran penyusupan tentara Belanda melalui NICA inilah, peran penting Mgr. A. Soegijapranata sebagai anak bangsa menjadi penting.
15-20 Oktober 1945: Pertempuran Lima Hari di Semarang
Ketika tentara Sekutu memasuki Semarang, kota ini nyaris mati karena sebelumnya terjadi kontak senjata antara pemuda nasionalis melawan tentara Jepang. Semarang diblokade Jepang, termasuk Gereja Katolik Santo Yusuf Gedangan. Kedatangan rombongan tentara Sekutu menjadi “momentum” bagi Mgr. Soegijapranata untuk melakukan perundingan antara pasukan Sekutu dan tentara Jepang. Apalagi beredar kabar, tanggal 20 itu pula militer Jepang akan menjebak para pemuda nasionalis dan menghabisi mereka di Karang Tempel. Mgr. Soegijapranata berhasil meredam emosi Jepang dan menggagalkan aksi penyergapan itu dan berhasil “menyelamatkan” jiwa para pemuda pejuang. Blokade juga berhasil dibuka kembali.
Pertempuran Lima Hari di Semarang membawa kota ini serba kekurangan. Ketika kerusuhan akibat minimnya sandang pangan melanda Semarang, bersama para tokoh lokal seperti RS Dwidjosoewojo dan RM Sadat Kadarisman, Mgr. Albertus Soegijapranata ikut membidani lahirnya Komite Penolong Rakyat. Hasil diplomasinya ke Jakarta dengan menemui PM Sutan Sjahrir membawa hasil: Semarang mendapat kucuran bantuan sandang pangan. Untuk menata kembali Semarang maka diangkatlah Mr. Ikhsan menjadi Wali Kota Semarang.
21 Juli 1947: Agresi Belanda I
Sejak tahun 1946, pusat pemerintahan Indonesia berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dwitunggal Proklamator Soekarno-Hatta memutuskan berkantor di Yogyakarta, sementara PM Sutan Syahrir tetap berkantor di Jakarta. Didorong oleh keprihatinan terhadap nasib bangsanya, Mgr. Soegijapranata juga memindahkan Vikariatnya ke Yogyakarta dan tinggal di Pasturan Gereja Katolik Santo Yusuf Bintaran, Yogyakarta.
Ketika pasukan Belanda melancarkan serangan militer yang disebutnya sebagai Aksi Polisionil, Mgr. Albertus Soegijapranata tengah retret pribadi di Gereja Katolik Santo Antonius Purbayan, Surakarta (Solo). Ketika situasi genting membahana, Romo Kanjeng tampil ke depan mimbar dan mulai berpidato di RRI Solo.
Tanggal 1 Agustus 1947, pidato itu dibacakan di RRI Surakarta pada pukul 20.00 malam. Isi pidato itu berujung pada desakan untuk gencatan senjata demi kehormatan kedua belah pihak. Romo Kanjeng membacakan pidatonya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Pidato itu juga merupakan pernyataan sikap umat katolik di Indonesia yang akan berpihak dan berjuang bersama seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan dan kesejahteraan masyarakat.
19 Desember 1948: Agresi Militer II
Pada pagi hari pukul 05.30 tertanggal 19 Desember 1948 Belanda menyerang Yogyakarta, kala itu Ibukota Republik. Soekarno dan Hatta akhirnya ditangkap tentara Belanda. Dalam kondisi sulit ini, Romo Kanjeng ikut merawat anggota keluarga Soekarno. Kontak intensif dengan Raja dan Penguasa Yogyakarta yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX lalu dilakukan. Sekali waktu ketika didatangi para pemuda katolik, Mgr. Soegijapranata murka atas pertanyaan apakah perlu panggul senjata atau tidak melawan Belanda. “Pergilah berjuang dan baru kembali kalau sudah mati,” kata Romo Kanjeng,
Melalui tulisan-tulisannya di majalah Commonwealth untuk khalayak pembaca di Amerika Serikat, Romo Kanjeng berusaha membuka blokade Belanda. Tulisan ini membuka mata dunia tentang perlakuan tak beradab tentara Belanda yang tetap ingin menguasai Indonesia. Tekanan dunia internasional inilah yang akhirnya membawa Belanda bersedia berunding di Den Haag untuk Konferensi Meja Bundar (KMB) hingga akhirnya kedaulatan Indonesia resmi diserahterimakan tanggal 27 Desember 1949.
Ketika mulai pindah ke Semarang, kembali Romo Kanjeng berhadapan dengan meluasnya ideologi komunisme. Bersama Romo Dijkstra SJ, Romo Kanjeng membidani lahirnya lahirnya serikat-serikat buruh, nelayan dan petani dengan labeling “Pancasila”.
1963: Konsili Vatikan II
Sebagai uskup, Mgr. Albertus Soegijapranata hadir di Roma mengikuti Konsili Vatikan II. Sekalian waktunya dia pakai berobat dan mengunjungi keluarga-keluarga para misionaris di Nederland. Beliau ingin mengucapkan terima kasih. Namun karena kelelahan, akhirnya pada tanggal 22 Juli 1963 pukul 22.20 setempat beliau meninggal dunia. Berita ini sampai ke telinga Presiden Soekarno dan tiga hari kemudian lalu menerbitkan surat pengangkatan almarhum Romo Kanjeng sebagai pahlawan nasional. (Bersambung)
Photo credit:
- Romo Kanjeng Mgr. Albertus Soegijapranata SJ bersama Presiden pertama RI Ir. Soekarno (Missienieuws)
- Ilustrasi film tahbisan Uskup Romo Kanjeng, cuplikan film Soegija (SAV Puskat Yogyakarta)
Artikel terkait: