GEMBALA yang baik adalah kiasan untuk seorang pemimpin yang mampu menjadi panutan bagi domba-dombanya. Karl Edmund Prier atau yang kerap disapa sebagai Romo Prier adalah seorang pastor Katolik asal Jerman yang telah sekian lamanya berkarya di Indonesia melalui karya pastoral menggarap musik liturgi.
Ia lahir di Weinhem, Jerman, 18 September 1937 dari pasangan Georg Prier dengan Else Prier. Tumbuh dewasa bersama dua adiknya, Werner Prier dan Rudolf Prier.
Belajar piano
Sampai suatu ketika di tengah kondisi Perang Dunia II (1939-1945), datanglah keluarga yang tak dikenal ke rumah Prier. Keluarga itu menemui ibunya untuk bisa menitipkan sebuah piano di rumahnya sampai perang berakhir.
Namun, sangat disayangkan, piano tersebut tidak bisa diambil kembali dalam waktu dekat karena situasi yang bertambah parah.
Dari situ, munculah inisiatif Else Prier supaya anak-anaknya mempelajari piano. Hal tersebut juga didukung karena kecintaan Else Prier terhadap keindahan alunan musik.
Else Prier meminta tolong kepada Ema Müller, adik dari penitip piano yang juga seorang guru piano untuk mengajari Edmund Prier dan adiknya.
Edmund Prier sangat menikmati masa-masa pembelajaran itu, melalui berbagai musik Sonata dan Beethoven.
Pada saat itu, Edmund Prier berumur 8 tahun dan selang 3 tahun setelahnya, setelah perang berakhir, sang pemilik piano tersebut kembali ke rumah Prier untuk mengambil kembali piano miliknya.
Perjalanan Edmund Prier mempelajari piano tidak berhenti sampai di sana. Ibunya berinisiatif menyewa piano di Heidelberg dan guru piano yang masih sama, Ema Müller sembari Prier tetap bersekolah formal di Gymnasium Albertus Magnus Schule Viernheim.
Sampai pada saat berusia 15 tahun, Edmund Prier semakin tertarik dengan dunia musikal dan memutuskan untuk belajar organ pipa dan berbagai teori music di sebuah gereja Katolik terbesar di dekat rumahnya.
Selang 5 tahun setelahnya, Edmund Prier memutuskan untuk menjadi seorang imam Katolik.
Kisah sang misionaris
Selama bersekolah di Gymnasium, Prier senang membaca berbagai buku rohani. Salah satu buku yang berdampak terhadap perubahan hidupnya adalah buku yang menceritakan perjalanan seorang misionari menuju Alaska.
Di sana, sang misionaris memberitakan Injil kepada orang-orang Eskimo.
Hal itulah yang menjadi alasan bagi Prier memutuskan bahwa dirinya ingin menjadi seperti seorang misionari seperti misionari tersebut.
Setelah lulus dari Gymnasium, Prier melanjutkan studi di Novisiat Serikat Jesus (SJ) yang memberikan jaminan untuk bisa menjadi misionaris di luar negeri seperti impiannya.
Selepas dua tahun menempuh pendidikan di Novisiat, Karl Edmund Prier melanjutkan studi filsafat di Hochschule für Philosophie. Di tempat itu terdapat organ pipa yang bisa menjadi pelepas rindunya bermain organ pipa yang tidak bisa Prier lakukan semasa menempuh studi di Novisiat.
Panggilan pertama yang diterimanya
Pada tahun 1960, saat Prier masih menempuh studi filsafatnya, Prier mendapatkan tawaran dari sesseorang bernama Pater Karl Frank SJ untuk menjadi misionaris di Indonesia.
Sebelum menerima tawaran tersebut, Edmund Prier benar-benar dilanda kebimbangan. Walau pada akhirnya, Prier menyanggupinya setalah menyelesaikan studi filsafatnya pada tahun 1962.
Sembari menunggu persetujuan visa, Prier mangajar musik di sebuah Gymnasium, yaitu Gymnasium Stella Matutina, bertepatan di Austria yang ditugaskan oleh Provinsial SJ.
Pada awal tahun 1964, Prier mendapat kabar bahwa visanya telah disetujui setelah menerima penolakan yang pertama.
Lantas, Prier segera berangkat menuju Indonesia dan tinggal di sebuah tempat Pastoran Wonosari, Gunung Kidul sebelum resmi menjadi seorang imam.
Belajar teologi
Kurang lebih setelah setengah tahun, Prier berangkat menuju Yogyakarta, yang sering disebut sebagai “Kota Istimewa”. Ini dengan maksud melanjutkan studi pendidikan teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Kentungan sebagai syarat jenjang bila ingin menjadi seorang imam.
Namun, di luar dugaan, kondisi sosial politik Indonesia sedang tidak mendukung membuat rencana studi Prier harus tertuda. Selama masa penantian itu, Prier manjadi guru drumband di SMA Kolese de Britto dan belajar bersama dengan tokoh-tokoh pemusik hebat di Yogyakarta.
Taruhlah seperti Bapak Siswanto, Bapak Sukodi, dan Bapak Hardosubroto yang membuat wawasan dan pengalaman Prier mengenai permusikan semakin bertambah.
Pada tahun 1967, kondisi sosial politik di Indonesia sudah dinyatakan kembali kondusif dan aman. Tidak seperti pada rencana awal, Prier bersama dengan frater seangkatannya melanjutkan studi Teologi baru dari Konsili Vatikan II.
Di sana, Prier dan teman-temannya diajarkan mengenai inkulturasi musik liturgi oleh Romo yang akhirnya menjadi tonggak penting dalam kehidupan pelayanan Prier di kemudian hari.
Tonggak pertama musik liturgi
Romo Prier ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Keuskupan Agung Semarang Kardinal Darmojuwono pada tanggal 1969 di Gereja Santo Antonius Kotabaru, Yogyakarta. Segera setelah itu, beliau mengusulkan pembentukan pusat musik liturgi untuk menindaklanjuti cita-cita Konsili Vatikan II kepada Provinsial Serikat Jesus.
Oleh karena idenya itu, berdirilah Pusat Musik Liturgi Yogyakarta pada tanggal 11 Juli 1971 dan menjadi asal-usul namanya tercantum dalam berbagai buku lagu gereja, seperti Hendaklah Langit Bersukacita yang sampai saat ini sering kita dengar.
Setelah berkarya begitu lama sebagai seorang romo Kategorial, tanggal 11 Februari 2018, Romo Prier menjadi korban pembacokan oleh seorang pria tak dikenal pada saat sedang memimpin misa pagi hingga harus menjalani serangkaian operasi.
Puji Tuhan, meski mendapat luka yang cukup parah, Romo Prier dapat terselamatkan dan tetap mau memaafkan sang pelaku.
Implementasi pemikiran
Memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada
Kisah Karl Edmund Prier secara tidak langsung mengajarkan kepada kita untuk mau memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada, mulai dari mengembangkan diri sendiri sampai dapat menghasilkan karya dan mampu memberi manfaat bagi orang lain.
Siapa sangka jika dulu beliau menyerah saat kesusahan mempelajari piano, mungkin sampai hari ini, kita tidak akan pernah mengenal musik liturgi dalam dunia Gereja Katolik.
Hal ini bisa kita terapkan dalam kehidupan New Normal yang sedang kita jalani. New Normal tidak kita jadikan sebagai alasan bahwa kita tidak bisa berkarya, melainkan melalui masa inilah kita bisa menggali dan menumbuhkan berbagai ide dan inovasi baru yang dapat membawa berbagai perubahan dan pengaruh positif bagi lingkungan sekitar kita.
Selalu bersyukur dan mengandalkan Tuhan dalam tiap situasi.
“Selalu bersyukur dan mengandalkan Tuhan dalam setiap langkah perjalanan kehidupan kita.”
Sikap inilah yang mendorong Karl Edmund Prier SJ dalam masa-masa sulitnya berproses menjadi seorang Romo. Tarik-ulur yang terjadi saat pengajuan visa, penolakan yang dihadapinya hingga saat hari penahbisannya.
Namun, di saat seperti itu, bukan menyerah yang ia pilih, namun berserah dan tetap mau menjadi tangan kanan Tuhan dalam berkarya di dunia melalui alunan dan pengajaran musiknya.
Demikian pula dengan kita, di tengah pandemi seperti ini, marilah kita menyerahkan semua keresahan dan meletakkan segala ketakutan kita dibawa kaki Tuhan yang berkuasa atas segalanya. Jangan lupa untuk selalu bersyukur atas napas kehidupan
yang masih boleh kita hirup sampai saat ini di tengah masa kritis “hidup dan mati”.
Perlu diingat bahwa banyak di luar sana yang kini terbaring lemah dengan infus di tangan sebelah kirinya menginginkan anugerah yang dilimpahkan ke kita, yaitu kesehatan dan dapat berkumpul dengan keluarga.
Menyadari dipanggil untuk mengembangkan talenta
Sepeti yang tertulis dalam Injil Matius 25:14, “Sebab hal Kerajaan Surga sama seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka.”
Demikian kita juga dipanggil untuk mau mengembangkan talenta sebagai “harta” yang dipercayakan Tuhan kepada kita untuk dikembangkan.
Seperti Karl Edmund Prier yang mengembangkan talenta bermusiknya untuk memuji dan memuliakan Tuhan.
Hidup dengan penuh cinta kasih
Sadar atau tidak, lewat pandemi ini, Tuhan seperti ingin mengingatkan kepada kita bahwa kita terlalu sibuk dengan keduniawian. Sibuk bekerja hingga lupa terhadap anak, sibuk belajar hingga lupa membantu orang tua.
Pandemi Covid-19 yang terjadi memicu adanya lockdown di mana-mana sehingga mengharuskan kita berada di rumah.
Inilah menjadi tiitk balik untuk kembali mendekatkan yang jauh. Bahkan, yang tadinya merantau, kembali ke rumah kediamannya untuk bertemu sanak keluarganya.
Bumbu cinta kasih pun dapat kita tanamkan pada kesempatan berharga ini.
Seperti Karl Edmund Prier, meskipun sudah mendapatkan bekas luka pembacokan, beliau masih mau memaafkan sang pelaku.
So inspiring! Be blessed 🙂
Tuhan kita memampukan kita melewati masa pandemi ini. AMEN.