Romo P Yan Olla MSF di SAGKI 2015: Mencari Wajah Gereja Rumah Tangga di Indonesia

0
1,160 views

GEREJA Perdana mulai terbentuk sejak Pentakosta. Berawal dari kumpul-kumpul di keluarga hingga kemudian terstruktur punya ‘organisasi’, namun pertama-tama Gereja tetaplah hadir di lingkup keluarga-keluarga. Jadi, ada di keluarga-keluarga (ecclesia domestica).

Mereka yang percaya berkumpul di rumah-rumah, bertekun dalam persekutuan, berdoa. Santo Paulus melihat Gereja terutama bukan sebagai bangunan fisik, tetapi tempat orang kristiani berkumpul dalam persekutuan dan dihayati dalam kegembiraan.
Rumah-rumah itu tidak besar, hanya menampung 20 orang.

Mereka selalu berdoa, membaca surat-surat Paulus, berkumpul untuk melanjutkan ekaristi: pemecahan roti, pengumpulan dana untuk orang miskin. Daftar kewajiban/nasihat yang dilakukan atas dasar iman kristiani.

Rangkaian rumah-rumah itu membentuk apa yang disebut Gereja Rumah Allah.

Akar-akar ecclesia domestica berakar pada Gereja Purba.
Semakin lama, maka terjadilah ‘pemisahan’ antara yang profan dan sakral sehingga terjadilah sekularisasi keluarga. Keluarga menjadi tempat yang profan. Raja-raja kristiani, setelah memerintah kemudian mereka masuk biara dan meninggal sebagai biarawan. Desakralisasi Gereja sampai Konsili Vatikan II.

Abad IV dan seterusnya semakin terjadi sakralisasi jabatan uskup dan imam dan secara relatif imamat umum/baptisan makin pudar. Puncaknya, pemisahan tegas: klerus-awam; sakral-profan di Abad Pertengahan.

Hal-hal sebagaimana diceritakan dalam Kisah Para Rasul tidak berkembang lagi. St. Yohanes Krisostomus dan St. Agustinus dari Hippo mencoba membantu untuk menemukan kembali.
Pasca Konsili Vatikan II: Paulus VI dan Johannes Paulus II (FC 1981)

Communita salvata dan commune salvante – bukan hanya yang diselamatkan, tetapi juga yang menyelamatkan. Dari sisi pemerintah, perhatian masih sangat kurang terhadap keluarga.
Perceraian sangat tinggi. Sekitar 350.000 kasus per tahun (2013, 2014).

Itu berarti, satu hari terjadi 959 kasus, 40 kasus per jam. Sebanyak 70% adalah kasus gugat cerai dari pihak istri.

Ariel Heryanto, dosen Universitas Satya Wacana yang kemudian mengajar di Melbourne, sudah sejak tahun 1994 berani meramalkan akan terjadinya keruntuhan keluarga. Konteks sosial budaya di Indonesia sangat mempengaruhi hal itu.

Mozaik Gereja Katolik ditanggapi di tingkat internasional atau pun tingkat lokal secara berbeda. Seperti mozaik Gereja setelah Konsili Vatikan II.

Sejarah tidak bergerak linear, tetapi evolusioner, demikian pandangan alm. Romo YB Mangunwijaya Pr.

Romo Mangun berusaha menunjukkan fakta: orang bisa merantau kemana-man, tetapi akan kembali ke tempatnya. Wajah kasih Allah ditampakkan. Alm. Romo Mangun juga bercerita tentang keluarga pasca Indonesia sebagai mana muncul dalam novelnya Burung-burung Manyar.

Gereja Indonesia dipengaruhi unsur dari luar.

Pastoral Gereja
• Bukankah perlu pertobatan pastoral para pengambil keputusan, berkaitan dengan pelayanan keluarga-keluarga? (EG 25) Apa yang dibicarakan dalam SAGKI, tidak ada gunannya kalau pastor paroki tidak mendukung Komisi Keluarga.
• Apakah pastoral gereja telah menampakkan wajah Allah yang berbelaskasih dan membawa kegembiraan kepada mereka yang berada di pinggiran kemanusiaan (MV 15), berbau domba (EG 24) atau telah menjadi “pabean” yang mengontrol rahmat Allah? (EG 47).
• Menentukan prioritas tindakan, tanpa kehilangan visi pastoral keluarga yang integral.
• Menentukan prioritas tindakan, tanpa kehilangan visi pastoral keluarga yang integral.

Kredit foto: Romo FX Adisusanto/Dokpen KWI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here