MENGEMBARA dalam keterikatan
Kerap saya bertanya pada diri sendiri, meski ada inspirasi awal yang begitu jelas untuk menjadi pertapa. Bahkan sampai mendorong saya berani mengikrarkan kaul privat sebagai pertapa dengan disaksikan oleh Romo Magister dan teman-teman novis, mengapa saya toh masih saja membutuhkan 40 tahun untuk sampai pada kaul kekal sebagai eremit diosesan hari ini? (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Dari Kaul Privat ke Kaul Publik Menjadi Eremit Diosan KAS (1)
Kerap saya merenungkan kembali saat-saat saya hidup di kesunyian tahun 1977, sambil berjalan kaki sepanjang Jakarta-Pujon, di Pertapaan Karmel Ngroto, di biara Trappist Rawaseneng, di kesendirian perkampungan miskin saat mendaftar masuk STFT Jalan Nias Bandung sambil bekerja sebagai penjaga koperasi SMA Angela dan perpustakaan SMA Trinitas (terima kasih kepada para Suster Ursuline, Suster PI dan pegawai mereka) dan juga di Pertapaan Karthusian di Inggris.
Apa sih yang membuat saya selalu kembali ke SJ?
Belakangan saya menyadari bahwa setiap kali dalam kesunyian dan kesepian itu, saya kangen Serikat Yesus.
Saya kangen rumah-rumah SJ yang pernah saya tinggali. Saya kangen komunitas-komunitas SJ yang pernah menerima saya hidup bersama. Saya kangen para Yesuit dengan siapa saya pernah hidup dan bergaul akrab. Saya kangen tugas-tugas sebagai Yesuit yang pernah saya laksanakan.
Bara api panggilan Tuhan ke pertapaan tak pernah mati di batin saya, tapi rasa cinta dan kangen pada SJ juga selalu hidup dalam hati saya. Itulah sebabnya, setiap kali pula saya menekan suara kecil dalam hati yang mengajak ke padang gurun, dan malahan memperbesar serta mengikuti rasa kangen saya akan SJ. Keterpecahan batin itu yang membawa saya jatuh dalam depresi sesudah saya meninggalkan para rahib Karthusian untuk hidup bersama para Yesuit kembali.
Saya berterima kasih kepada Superior SJ Thailand, Pater Paul Pollock, yang mengundang saya kembali ke Thailand untuk menjalani perawatan oleh seorang psikoterapis Yahudi-Amerika. Dulu ketika saya tergerak untuk mencoba jalan pertapaan lagi setelah selesai tugas di Thailand, Father Paul menjadi semacam Devil’s Advocate (pengacara di pihak setan) yang mempertahankan sisi-sisi argumentasi bahwa dorongan ke pertapaan itu berasal dari setan.
Entah sesuai atau di luar harapan Father Paul, sesi-sesi psikoterapi justru menjadi bagaikan amplifier dan loud-speaker yang memperjelas lagi bisikan lembut angin sepoi basah dalam hati saya yang memanggil ke Gunung Horeb dan memunculkan keberanian untuk mengalahkan rasa kangen dan kelekatan saya (mungkin “tak teratur” seturut bahasa Ignatian) pada SJ.
Father Paul hadir pula di Sendangsono sekarang ini, katanya untuk “to make sure that Martin takes the vows properly!”
Mengembara dalam kesendirian
Setiap kali Serikat Yesus mengizinkan mencoba hidup sebagai pertapa selalu diajukan syarat: harus ada komunitas tarekat kontemplatif yang menerima saya. Saya tak dizinkan mencoba sendirian. Nah, setelah dua kali kesempatan di tahun 1977 dan 2006-2008 itu, untuk terakhir kalinya saya diberi kesempatan lagi untuk hidup sebagai pertapa, kali ini secara sendirian selama 5 tahun terakhir ini.
Rm Sindhunata SJ mendorong saya untuk nekad. “Yang berani saja, Martin, sudah seumur kita-kita ini, mau nyepi kemana pun, ga akan ada yang meributkan!”
Mantan Provinsial SJ Rm Danuwinata SJ juga menyemangati, “Ya sudah Martin bikin pertapaan sendiri saja. Nanti saya ikut sebagai tukang kebunnya.”
Rm Hardaputranta SJ ikut ngompori: “Ora popo, Tin, aku mengko melu kowe sisan!”
Terima kasih kepada para senior saya ini. Beliau-beliau mungkin tidak pernah membayangkan bahwa langkah seperti itu suatu hari akan membuat saya meninggalkan persaudaraan SJ.
Awalnya, saya memilih menyepi di lereng Gunung Merapi, mengapa? Ya, karena berarti dekat Kolsani dengan perpustakaannya yang serba lengkap dan staf yang ramah melayani dan dekat pula dengan Kentungan. Selain dekat dengan sahabat-sahabat SJ dan banyak saudara dan sahabat di Yogya, saya pun berpikir untuk tetap memberi kuliah KS di Kentungan seminggu sekali, sekedar untuk menyambung hidup.
Saya tinggal di Dusun Keten, Desa Argomulyo, Cangkringan, di pondok pinjaman milik seorang saudara sejak 15 Agustus 2010 tepat pada peringatan 25 tahun imamat saya. Saya berterima kasih kepada saudara yang bukan hanya meminjamkan tapi juga merenovasi pondok di Keten supaya nyaman ditinggali. Terima kasih juga kepada saudara dan sahabat semua di Yogyakarta yang mengirimkan segala peralatan rumah dan kebutuhan hidup sehari- hari.
Namun, rupanya Gunung Merapi tidak menghendaki kehadiran saya di situ. Erupsi besar di tahun 2010 membuat saya mengungsi ke kaki Gunung Lawu. Terima kasih saya kepada mereka yang menyelamatkan saya dari amukan Merapi dengan mendesak saya untuk segera meninggalkan pondok dan juga mengirimkan tim penyelamat untuk menjemput saya yang turun pukul 01 dini hari di tengah erupsi terhebat Merapi dalam seabad. Terima kasih pula kepada saudara semua yang menampung saya di Solo dan kemudian di kaki Gunung Lawu dalam pengungsian saya.
Pada Hari Raya Kabar Sukacita, 25 Maret 2011, mulai dibangun pondok kecil untuk saya di kaki Gunung Lawu. Dan saya mulai tinggal di situ sejak 11 November 2011, pada pesta santo pelindung saya, St. Martinus dari Tours, yang semasa hidupnya juga kerap hidup sebagai pertapa.
Terima kasih saya yang tak berhingga kepada mereka semua yang telah memungkinkan saya menghuni pondok hening dari awal peletakan batu pertama sampai sekarang ini. Nama-nama mereka tak tertulis di sini tetapi terpateri di dalam hati saya: mulai dari yang menyerahkan tanah dengan harga murah, yang membeli dan meminjamkan tanah itu, arsitek dan pemborong, yang mengurus pembangunan sehari-hari, tukang dari Gombong dan empat pembantu tukang yang direkrut dari para tetangga terdekat, yang mengirimkan bahan-bahan bangunan, yang mentransfer dana bantuan, mengirimkan macam-macam tanaman, serta yang menyediakan kebutuhan sehari-hari dari awal sampai sekarang. Sungguh Tuhan menyelenggarakan semuanya lewat kebaikan hati para saudara semua.
Terima kasih kepada (mantan) Rm Provinsial Riyo Mursanto SJ yang memberi saya pengutusan khusus dalam kesunyian di Merapi dan Lawu untuk mencoba hidup sekaligus sebagai eremit dan Yesuit. Terima kasih karena telah memberikan nama “Triniji Suci” (Tritunggal Maha Kudus) bagi tempat saya hidup sebagai pertapa ini.
Terima kasih kepada Father Paul dan Rm A. Gianto SJ yang bersama Rm Riyo telah memberkati Triniji Suci pada tanggal 4 November 2011, persis setahun sejak saya kabur dari Merapi karena wedhus gembel yang melanda Dusun Bronggang, hanya 2 km dari pondok yang saya huni.
Terima kasih juga kepada Mgr. Pujasumarta yang telah memberkati kapel kecil pondok pada tanggal 5 Februari 2012. Terima kasih kepada penduduk dukuh, sekitar 77 keluarga Muslim, yang hadir memeriahkan syukuran selesainya pembangunan pondok pada hari Minggu Paska, 8 April 2012.
Mengembara dalam keterpojokan
Banyak orang mulai bertanya-tanya mengenai kesendirian saya di kaki Gunung Lawu ini. Para saudara dan sahabat pun mulai bertanya-tanya, apakah saya masih Yesuit, apakah saya masih imam? Pemimpin tertinggi SJ di Roma, Pater Jenderal berpendapat bahwa cara hidup yang saya tempuh di Merapi dan Lawu itu tidak sesuai dengan semangat SJ.
Hidup sebagai eremit dan Yesuit dipandang sebagai tidak compatible; sama saja seperti hidup punya pacar (entah wanita, entah sesama pria) tidak compatible dengan hidup imamat atau pun Yesuit. Hidup eremit yang terpaku pada satu tempat sunyi tidak compatible dengan hidup Yesuit yang musti available ke mana pun juga.
Saya musti memilih di akhir tahun 2014.
Di akhir tahun kelima eksperimen sebagai eremit dan Yesuit, saya masih mencoba tawar-menawar dengan Pater Jenderal: bisakah pola hidup saya dalam kesunyian di kaki Lawu ini diterima sebagai cara hidup Yesuit yang sah juga? Kalau seorang Yesuit bisa menjadi Uskup, bahkan Sri Paus, dengan demikian terikat pada suatu tempat dan tidak available lagi bagi pengutusan SJ; kalau Uskup Purwokerto Mgr. Julianus Sunarka SJ bisa mendirikan pertapaan yang berdasarkan semangat Ignatian, mengapa seorang Yesuit tidak bisa juga menjadi eremit?
Tentu saja saya tidak berani sekurang-ajar ini berargumentasi dengan Pater Jenderal, saya hanya memberi hint sana sini secara halus.
Saya menulis demikian kepada Pater Jendral, “Therefore, I am sending you here also my Program of Living for your kind perusal. If what you find in it is not compatible with the Jesuit vocation, then humbly I beg you to grant me an indult of passage from the religious state as such to the eremitic state, or de facto, an indult of departure, which will take effect at the moment when I make the perpetual profession of eremitic life in the hands of the Archbishop of Semarang.”
Saya lanjutkan, “If, however, you find in it that the kind of life I am now leading is essentially no different from the Jesuit charism that can be actualized in myriad of forms, then humbly I beg you to allow me to continue living in solitude and silence as a Jesuit in good standing, insignificantly occupying one of the so many frontiers of Jesuit mission with a special emphasis in interiority.”
Rupanya Pater Jenderal, yang pernah menjadi Superior langsung saya di Manila, mengenal saya lebih baik daripada saya sendiri. Dulu pun di Manila ketika saya tergerak oleh dorongan ke padang gurun lagi yang menuntun saya masuk Pertapaan Karthusian, beliau pernah mengatakan bahwa sebagai Yesuit pada umumnya beliau pun cinta akan saat-saat hening, tapi bukan sesuatu yang dihayati sebagai panggilan hidup. Namun apa yang beliau lihat dalam diri saya itu lain sama sekali. Beliau melihat suatu gerakan batin yang lain, yang menuntun saya ke arah kesunyian total dalam hidup.
Kali ini pun beliau tetap menegaskan, “Either you are a real, fully dedicated hermit or not!” Tak ada jalan lain, kalau mau terus hidup dalam keheningan kesunyian, ya musti ikhlas meninggalkan SJ.
Kata-kata Pater Jenderal itulah yang pada akhirnya bagaikan pukulan rahmat (istilah Italinya, colpo di grazia) merontokkan setiap kerinduan saya akan para Yesuit dan hidup sebagai SJ. Keharusan memilih antara keduanya itulah yang telah membawa saya pada ikrar kaul kekal sebagai eremit diosesan di KAS di Sendangsono ini, 8 September 2015, dan dengan demikian secara otomatis irrevocably meninggalkan SJ.
Mengembara dalam penyerahan diri
Menyadari rasa kangen dan kelekatan (tak teratur?) saya pada SJ, saya memutuskan bahwa selama tiga tahun terakhir ini saya tidak akan menginap di rumah SJ dimana pun, dan sebisa mungkin memotong kontak dengan para SJ, karena saya kuatir hati saya menjadi lemah lagi dan tak berani meneruskan jadi pertapa.
Hanya saja pada tanggal 7 September 2015, semalam sebelum kaul eremit ini saya memberanikan diri menginap di Kolsani karena ingin menghabiskan malam terakhir sebagai Yesuit bersama para Yesuit di tempat saya pernah tinggal terlama sebagai Yesuit, 1995-2002. Terima kasih kepada para Yesuit di Kolsani yang dengan hangat menyambut saya, “a departing brother” ini (meminjam istilah Rm Danuwinata yang meminjam lagi dari George Wilson SJ bagi sahabatnya yang meninggalkan SJ).
Saya merasa mantap pergi ke Sendangsono kali ini karena ditemani oleh para Yesuit: terima kasih kepada Rektor Kolsani Rm Andre Sugiyopranoto, Rm Bernhard Teddy Kieser SJ, dan Father Paul dari Thailand yang membiarkan saya menumpang mobil Kolsani ke Sendangsono bersama mereka.
Sedikit orang yang tahu bahwa selagi masih menjadi rahib Karthusian, selagi masih dalam tahap percobaan hidup eremit di Merapi maupun di Lawu, dan selagi tuguran di Kapel St. Maria Kolsani pada malam terakhir sebagai Yesuit, bahkan dalam perjalanan dari Kolsani ke Sendangsono, saya berharap mendapat serangan jantung, sehingga meninggal dalam ketersediaan batin untuk menjadi pertapa namun masih sebagai Yesuit! Tapi rupanya jalan Tuhan bukanlah jalan saya, rencana Tuhan bukanlah rencana saya.
Saya berterima kasih kepada Alm Rm Haryoto SJ, Alm Rm Sunarja SJ, Rm Riyo Mursanto SJ, Pater Paul Pollock SJ, dan Pater Jendral Adolfo Nicolás SJ, yang membuat saya akhirnya berani mengenali apa yang sebenarnya bergerak paling dalam di hati saya dan mengikutinya; bila kita tak mengikuti suara terdalam di lubuk hati kita, suara apa lagi yang bisa kita ikuti?
Terima kasih kepada para Yesuit yang tak terhitung banyaknya di Indonesia dan luar negeri dalam komunitas yang pernah menerima saya: mulai dari Girisonta, Kolman (Kolese Hermanum) dan Kanisius Jakarta, Gesù dan Biblicum Roma, Farmstreet London dan Cambridge, Loyola Semarang, Kolsani dan Kentungan Yogyakarta, Thailand dan Myanmar, sesama Major Superiors di JCEAO (sekarang JCAP) dan khususnya para skolastik dan staf Arrupe Manila, dan juga Kotabaru dilanjutkan dengan Paingan dan Mrican Yogyakarta, Purbayan dan ATMI serta Wisma Mahasiswa di Solo.
Secara khusus Pater Jendral terdahulu (Pater Kolvenbach), Pater Jendral Adolfo Nicolás, Pater Joe Doan, Pater Ignacio Echarte dan Pater Danny Huang di Kuria Roma, para Provinsial SJ selama ini beserta staff, dan khususnya akhir-akhir ini Rm Provinsial Sunu Hardiyanta SJ dan Rm Socius Suharjanto SJ telah mengikuti lika- liku pengembaraan saya ini dengan penuh kasih dan kesabaran.
Hutang budi saya juga kepada para Romo di Paroki domisili saya sekarang ini, umat Katolik beserta para suster di dekat Triniji Suci, dan tak terhitung banyaknya Yesuit, sanak saudara, sahabat dan handai taulan, tamu-tamu dari macam-macam golongan/agama/suku, yang selama tahun-tahun ini mengunjungi saya dan mencukupi segala macam kebutuhan di kaki Lawu ini sehingga bukan hanya cukup bagi saya saja, melainkan juga melimpah ruah bagi para tetangga di dukuh. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Mengembara dalam Hati Maria dan demi Masa Muda (4)
Kredit foto: Misa syukur atas Tahun Hidup Bakti sekaligus menandai peristiwa pengucapan ikrar publik Romo Pertapa Martin Suhartono Sanjoyo menjadi eremit diosesan KAS. (Romo Antonius Dadang Hermawan/KAS)