NAH, padahal pola kehidupan rahib Karthusian jauh amat berbeda dari gambaran saya itu. Kehidupan rahib Karthusian sama sekali terputus dari dunia luar. Kontak dengan orang lain hanya dibatasi pada saudara dekat, itu pun dalam bentuk surat tiga bulan sekali. Tamu yang boleh berkunjung ke Pertapaan Karthusian hanyalah saudara-saudara kandung para rahib; tiga hari dalam setahun. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Memutuskan Tinggalkan Biara Khartusian di Parkminster Inggris (1)
Para rahib Karthusian tidak melayani konsultasi rohani apa pun; yang bisa diharapkan adalah doa-doa mereka. Bahkan orang luar yang mau ikut serta dalam liturgi ibadat harian Karthusian pun tak diperkenankan kecuali mereka saudara para rahib.
Rahib Karthusian memang terfokus pada doa kontemplasi semata-mata; lain-lain hal dianggap sebagai halangan atau distraksi. Itulah memang panggilan khas mereka.
Berulang kali dalam sejarah, Sri Paus meminta para Karthusian untuk menerima bentuk kerasulan tertentu, seperti para rahib Benediktin yang menerima karya paroki dan sekolah, tapi sampai saat ini para rahib Karthusian berhasil menolak permintaan Sri Paus dan mempertahankan kemurnian panggilan mereka berdasarkan Statuta Ordo Karthusian.
Pernah ada seorang rahib Karthusian yang terkenal suci dan ketika meninggal dunia banyak orang berziarah ke makam beliau karena banyak mukjizat terjadi dengan perantaraan doanya ; akibatnya keheningan biara terganggu oleh para pengunjung makam.
Maka Romo Prior pun datang ke makam rahib tersebut dan memerintahkan demi ketaatan suci agar rahib tersebut menghentikan segala mukjizatnya; rahib almarhum itu pun taat, tak ada mukjizat lagi, dan aliran para peziarah pun berhenti sehingga ketenangan biara Karthusian pulih kembali dan para rahib bisa berdoa lagi dengan tenang dalam keheningan tanpa gangguan orang banyak!
Tadinya sempat terpikir oleh saya untuk mencoba hidup sebagai pertapa mandiri di bawah ketaatan kepada seorang Uskup berdasarkan Hukum Gereja Kanon 603 atau mencoba menjadi rahib pertapa Kamaldoli, dari rumpun keluarga rahib/rubiah Benediktin, yang memberi kemungkinan juga untuk menjadi pertapa pengembara seperti St. Romualdus pendiri Ordo Kamaldoli. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Dari Kaul Privat ke Kaul Publik Menjadi Eremit Diosesan KAS (1)
Tapi berdasarkan perenungan pribadi dan konsultasi dengan para pembimbing niat tersebut saya batalkan. Jelas dari kehidupan di sini bahwa supaya kehidupan religius dan keheningan doa terjaga memang butuh struktur pelindung tertentu. Pertapa mandiri atau pun pengembara akhirnya menjadi terlalu sibuk karena kunjungan banyak orang dan tak luput dari godaan macam-macam karena hidup sendirian tanpa perlindungan biara mana pun.
Akhirnya dalam keheningan doa saya pun melihat bahwa jalan yang terbaik adalah tetap tinggal sebagai Yesuit: di situ kedua rahmat Tuhan bagi saya, yaitu karunia untuk berkontak dan
menolong orang lain maupun karunia kontemplatif dapat terjaga dan tersalurkan dengan baik. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Lie Cha Lie Chu Lie Chung Yen (1)
Semakin jelas pula saya alami bahwa dorongan ke keheningan yang selalu saya tafsirkan sebagai panggilan untuk hidup bertapa ini ternyata perlu ditafsirkan ulang sebagai undangan Tuhan untuk masuk dalam keakraban yang lebih mendalam dengan Tuhan dalam status saya sekarang ini sebagai imam Yesuit dan tak perlu ditafsirkan sebagai panggilan Tuhan untuk mengubah bentuk hidup atau pun pindah tarekat religius. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Memutuskan Tinggalkan Biara Khartusian di Parkminster Inggris (3)
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)