SEWAKTU kesadaran ini saya utarakan pada Romo Prior Karthusian, beliau pun langsung membenarkan dan bercerita bagaimana seorang pemuda suatu hari datang ke pastor paroki di desa Ars, yaitu St. Yohanes Maria Vianney, dan bertanya, “Bapa, apakah saya punya panggilan menjadi rahib?” (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Memutuskan Tinggalkan Biara Khartusian di Parkminster Inggris (1)
Pastor Vianney pun menjawab setelah merenung beberapa saat, “Oh ya, anda punya panggilan jadi rahib!”
Pemuda itu pun bertanya lagi, “Kalau begitu, paling baik, saya ini masuk biara mana ya, Bapa?”
Pastor dari Ars pun menjawab singkat, “Oh, nanti, nanti, bukan di dunia sini, tapi kelak di sorga!”
Romo Prior pun menyimpulkan bahwa dorongan batin ke keheningan dan doa, betapa pun kuatnya, bukan berarti lalu orang harus masuk biara tertentu. Beliau menambahkan bahwa senang karena saya menemukan kembali panggilan saya sebagai Yesuit, tapi sedih karena kehilangan “gentleman” seperti saya (ciela. gentleman lho saya ini! Lha ya iya lah, mosok gentlewoman. Nanti malah nggilani).
Sebetulnya Romo Prior, Romo Magister, dan Bapa Pengakuan saya di sini tetap melihat bahwa saya punya kualitas, kemampuan dan cukup fleksibilitas (kendati usia saya yang nyaris uzur ini!) untuk dibina sebagai rahib Karthusian dan menganjurkan saya meneruskan tinggal di sini, tapi ya setelah lama saya bawa dalam renungan dan doa, saya toh merasa bahwa Tuhan memanggil
saya kembali ke dunia sebagai imam Yesuit.
Maka sama seperti Tuhan Yesus, yang didorong Roh untuk ke padang gurun setelah baptisan Yohanes, tinggal sementara di padang gurun dan dicobai, lalu didorong lagi oleh Roh untuk
kembali ke dunia, begitu pulalah kiranya riwayat singkat saya sebagai Dom Ambrose-Mary di Pertapaan Karthusian!
Nah, maka setelah enam bulan sebagai postulan Karthusian, dan tepat sembilan bulan sebagai novis Karthusian, saya melepaskan jubah Karthusian pada Minggu Paska 23 Maret 2008 ini.
Dulu saya diterima sebagai postulan pada hari Natal 2006 sekarang saya cari hari baik keluar pertapaan pada hari Paska 2008; kedua peristiwa ini merupakan rahmat kelahiran kembali bagi kita umat Kristiani.
Putuskan tinggalkan Parkminster Inggris
Setelah bergulat sejak awal Februari 2008 baru pada tanggal 7 Maret 2008 saya sampai pada keputusan untuk meninggalkan Parkminster. Saya sengaja tak segera pergi melainkan menunggu dua mingguan sekedar untuk menguji keputusan ini; siapa tahu saja ada kejutan lain yang membuat saya membatalkan keputusan; bila keputusan ini hanyalah karena saya tak tahan godaan padang gurun (demikianlah pendapat para teman-teman rahib novis saya!) tentunya akan sirna di hari-hari Pekan Suci.
Eh ternyata kok malah semakin mantap saja dalam keputusan ini. Semoga dengan demikian setelah sembilan bulan dalam kandungan jubah rahib Karthusian saya lahir baru kembali sebagai imam Yesuit. Amin.
Hari Sabtu Suci, 22 Maret 2008, Rm. Michael Holman, SJ, Provinsial SJ Inggris datang untuk menjemput saya dan turut menikmati pertapaan di ruang tamu; karena takut ketiduran tak bisa bangun untuk Misa Malam Paska tengah malam, beliau terpaksa tidur-tidur ayam di atas kursi.
Seminggu terakhir di pertapaan ini secara kebetulan malah saya mendapat segala macam tugas: mulai dari tugas membaca di ruang makan, lektor ibadat bacaan tengah malam, perawat rahib lansia, dan puncaknya diakon di malam Paska yang membawa lilin Paska dan menyanyikan Exultet.
Minggu Paska saya sibuk membersihkan sel, mengembalikan buku-buku perpustakaan, mengepak koper dan ransel, dan sekaligus pamitan pada rahib-rahib bruder yang bertugas memelihara para rahib frater/imam dengan memasak, cuci-cuci, mengurus keperluan rumah tangga dll. Bila para rahib Karthusian masuk sorga, kiranya mereka inilah yang akan jauh mendahului para rahib frater/imam Karthusian.
Segala macam perasaan campur aduk jadi satu, ya bahagia ya sedih, terutama ketika melihat genangan air mata para rahib bruder ketika menyalami dan memeluk saya. Tepat pukul 13.30 saya meninggalkan Parkminster.
Rm. Prior tergopoh-gopoh keluar dari sel untuk memeluk saya erat-erat; saya pun berlutut mohon berkat beliau. Dom Cyril, pembimbing novis, mengantar kami ke depan pertapaan sekaligus untuk membukakan dan menutupkan pintu gerbang bagi kami.
Tak pernah saya bayangkan bahwa suatu hari saya akan meninggalkan pertapaan; ketika dua tahun y.l. saya tiba di Parkminster, saya mengira itulah tempat persinggahan terakhir saya di dunia ini (seperti juga ketika saya tiba di Kolsani Juni 1995)!
Ternyata dugaan saya keliru. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Dari Kaul Privat ke Kaul Publik Menjadi Eremit Diosesan KAS (1)
Ketika dulu saya meninggalkan SJ untuk mencoba panggilan Karthusian (OCart), orang berkomentar bahwa bersedih untuk SJ dan bersukaria untuk OCart dan saya jawab “Bukannya terbalik?”; sekarang orang bilang bersedih untuk OCart dan bersukaria untuk SJ saya pun bilang, “Nggak kebalik?”
Manakah yang tepat, hanya Tuhan yang tahu!
Rm. Kevin Fox, mantan Ekonom Provinsi SJ Inggris, yang mengenal saya ketika saya di Cambridge dulu, ketika bertemu saya di London berkomentar khas seorang ekonom, “A great loss for the Carthusians and a great gain for us!”
Saya cuma bisa bilang, “I don’t know whose loss and whose gains actually!”
Yang jelas, saya sekaligus bersuka-ria dan bersedih, sekaligus kehilangan dan sekaligus diuntungkan, baik ketika pergi maupun ketika kembali.
Akhirnya, terima kasih banyak atas segala doa-doa para keluarga dan saudaraku sekalian, entah yang mendoakan saya bertahan sebagai rahib maupun yang mendoakan saya kembali menjadi Yesuit, saya mohon dengan rendah hati, tetaplah berdoa untuk saya karena sebagai imam Yesuit yang berkarya di tengah dunia, ada tantangan dan godaan yang berbeda daripada yang saya hadapi ketika di kelilingi tembok pertapaan Karthusian.
Semoga kita dapat berjumpa lagi di waktu dekat.
Salam dan doa selalu,
Dom Ambrose-Mary
balik menjadi Martin Suhartono, S.J.,
Bukan lagi rahib tapi sohib (sahabat) Yesus, socius Iesu (sahabat Yesus)
Selesai.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)