MENGEMBARA dalam Hati Maria. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Dari Kaul Privat ke Kaul Publik Menjadi Eremit Diosesan KAS (1)
Bunda Maria amat bermurah hati dalam jalan panggilan saya sebagai pertapa. Ada yang pernah mengatakan bahwa sel pertapa atau gua pertapa yang sebenarnya bukanlah terletak dalam suatu lokasi fisik-geografis tertentu, melainkan dalam hati Bunda Maria.
Triniji Suci mulai dibangun pada Hari Raya Kabar Sukacita, 25 Maret 2011. Tepat dua tahun kemudian, di pagi hari Senin dalam Pekan Suci, 25 Maret 2013, ibu saya yang dikenal dengan nama Ibu Tjandra (Tante Corry/Tjandra; d/h Tjan Kwie Nio) dari Komplek AURI Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, meninggal dunia.
Saya teringat bahwa Ayah saya, F.A. Gito Sanjoyo (d/h Lie Kong Bing), meninggal dunia pada tanggal 22 November 1990, pada Pesta St. Caecilia; ditunggui sendirian oleh adik perempuan saya. Pada bulan Januari tahun itu, adik saya ini baru saja mengikrarkan kaul kekal sebagai rubiah Klaris yang bernama Sr. Caecilia, OSC. Berbeda dari kakaknya yang pengembara, Sr. Caecilia sejak masih di SMA sudah terpesona oleh cara hidup para rubiah Klaris dan tak pernah tergoyahkan sampek tuek.
Kebetulan-kebetulan yang indah ini menyapa iman saya bahwa hari kematian orangtua kami ini masing-masing menguatkan panggilan kontemplatif kami berdua: adik saya sebagai rubiah di Biara St. Klara, Pacet Sindanglaya, dan saya sebagai eremit di Trinji Suci.
Saya tadinya ingin mengikrarkan kaul sebagai eremit pada tanggal 15 Agustus 2015, Hari Raya Bunda Maria Diangkat ke Surga, karena bertepatan dengan 30 tahun imamat saya dan 5 tahun sejak hidup menyepi, namun izin Tahta Suci untuk lepas dari SJ dan menerima inkardinasi di KAS baru turun tanggal 4 Agustus 2015, pada Pesta St. Yohanes Maria Vianney (Pastor dari Ars). Apalagi, pemberkatan patung Bunda Maria tertinggi sedunia di Kereb, Ambarawa, dengan 20.000 pengunjung, bukanlah saat yang tepat untuk kaul eremit, demikian menurut Mgr. Pujasumarta.
Pesta Kelahiran Bunda Maria, 8 September ini, amat tepat karena merupakan Ekaristi Syukur Tahun Hidup Bakti. Indahnya lagi, tepat 18 tahun y.l. SJ mengizinkan saya mengucapkan kaul terakhir di Kapel STKat Yogyakarta.
Dengan begitu tak ada periode kosong dimana saya seakan hidup tanpa kaul-kaul religius. Karena itulah tidak ada jeda, tak ada pause, hari ini seakan saya sekedar memperbaharui kaul saya. Hanya saja dulu ada kaul ketaatan khusus kepada Sri Paus, sekarang ketaatan kepada Uskup.
Dulu disertai juga dengan janji-janji untuk tak mengupayakan atau tak mengambisikan derajat/pangkat/jabatan tinggi tertentu dalam Gereja, seperti Uskup; tidak juga dalam Serikat Yesus, seperti menjadi petinggi-petinggi Yesuit. Andai kata dulu disertai janji untuk tidak mengupayakan menjadi eremit diosesan, mungkin saja saya tak akan sampai pada tahap ini.
Program of Living saya selain mengutip Ratapan 3:28 di halaman muka, juga memuat doa tradisional kepada Bunda Maria yang setiap tengah malam saya jeritkan di depan patung Maria menggendong Yesus yang menandai Pondok Triniji: “Sub tuum praesidium confugimus, Sancta Dei Genetrix, nostras deprecationes ne despicias in necessitatibus nostris, sed a periculis cunctis libera nos semper, Virgo gloriosa et benedicta.”
Mengembara demi cinta masa muda
Sebenarnya, sebelum hari kaul kekal sebagai eremit diosesan ini, masih mengganjal suatu perasaan dalam hati saya, bahwa saya seakan tidak setia kepada Tuhan dan Serikat Yesus karena mengingkari kaul-kaul saya sebagai Yesuit.
Baru sesudah kaul di Sendangsono ini batin saya menjadi tenang.
Ketika mengajukan permohonan kepada Uskup Agung Semarang untuk kaul kekal sebagai eremit diosesan, saya melampirkan juga fotokopi kaul privat saya tahun 1976 yang ditandatangani oleh saya dan almarhum Rm Haryoto SJ (magister novis di Girisonta saat itu).
Saya baca lagi rumusan kaul privat yang sudah saya lupakan selama ini, rupanya di situ jelas tertulis: “Aku berkaul kepada keagungan Ilahi-Mu, di hadapan Bunda Tersuci Maria, dan segenap penghuni surga, akan hidup sebagai perawan dan dalam kemiskinan demi Kerajaan-Mu, sebagai langkah permulaan untuk selama satu tahun. Dan aku berjanji untuk tetap setia kepada Gereja Katolik yang Kudus, tetap menjadi salah satu anggota dari Tubuh Mistik Kristus itu dengan mencoba dan mempersiapkan diri untuk hidup sebagai pertapa.”
Rupanya yang dibatasi oleh periode satu tahun hanyalah kaul keperawanan (atau seharusnya “keperjakaan”?) dan kemiskinan, sedangkan janji yang saya ikrarkan untuk mencoba dan mempersiapkan diri untuk hidup sebagai pertapa itu berlaku “tetap”!
“Langkah permulaan” untuk hidup dalam keperawanan dan kemiskinan selama setahun diteguhkan dalam kaul pertama sebagai Yesuit dengan kaul kemiskinan, kemurnian (bukan keperjakaan, sehingga bagi yang bukan perjaka pun masih boleh jadi Yesuit!) dan ketaatan; yang ditegaskan lagi pada kaul akhir sebagai Yesuit.
Tepat seperti bunyi kaul privat itu, ternyata keseluruhan hidup saya sebagai Yesuit selama 40 tahun ini memang menjadi masa percobaan dan persiapan diri untuk hidup sebagai pertapa! Sungguh lama sekali persiapan itu!
Memang saya orang ber“kecil iman”, ber“hati batu”, ber”tegar tengkuk”, seperti umat Israel yang harus mengembara selama 40 tahun di padang gurun sebelum akhirnya diizinkan memasuki Tanah Terjanji, negeri yang “berlimpah susu dan madu”. Bedanya dengan saya, selama 40 tahun saya ini hidup bagaikan dalam Tanah Terjanji, dan baru sekarang diizinkan memasuki padang gurun, entah untuk berapa lama lagi.
Hidup Yesuit sebetulnya, dari aspek luar dan lahiriah saja, dekat sekali dengan hidup sebagai eremit. Yesuit umumnya hanya akan diizinkan pindah lembaga/tarekat religus kalau berniat hidup sebagai anggota tarekat rahib/kontemplatif/pertapa, seperti Trappist, Karthusian, Kamadolit, dll. Tapi Yesuit tidak akan diizinkan untuk pindah menjadi SCY, MSF, OFM dll, karena dianggap masih se-hakekat, yaitu tarekat aktif/kerasulan.
Dulu pernah ada Yesuit Indonesia yang menjadi Trappist sampai wafatnya, yaitu Romo Poespasoeparta (yang menikahkan kedua orangtua saya). Atau kalau mau pindah ke tarekat aktif/kerasulan lain itu ya musti melewati tarekat kontemplatif dulu, misalnya ada juga Yesuit Indonesia yang pindah menjadi Trappist dan kemudian masuk OCarm, saya lupa nama lengkapnya, tapi berakhiran ….Prasetya (sehingga kerap diplesetkan ….Ora setya).
Ordo Karthusian dengan senang hati menerima pindahan dari SJ karena pada umumnya para Yesuit dapat bertahan hidup sendirian di dalam sel Karthusian. Cukup banyak Yesuit mencoba menjadi Karthusian, mungkin tergerak seperti St. Ignatius Loyola yang pernah juga ingin menjadi Karthusian; orang kudus Yesuit, St. Petrus Faber, semasa hidupnya dijuluki Karthusian yang mengembara.
Sebagian besar kembali lagi menjadi Yesuit, bukan karena tidak tahan hidup sendirian, tapi karena meski hidup Karthusian sudah cukup menyendiri (dibandingkan Benediktin dan Trappist), bagi Yesuit itu masih kurang menyendiri lagi!
Saya pun mengalami demikian. Hidup Karthusian 24 jam sehari, 5 jam dilewatkan dalam kebersamaan (Misa konselebrasi, Ibadat Sore, Ibadat Bacaan Tengah Malam).
Sedangkan para mantan rahib Benediktin dan rahib Trappist yang hidup bersama saya di Parkminster bercerita bahwa mereka bahagia sekali hidup sebagai Karthusian. Selagi masih Benediktin atau Trappist, mereka bagaikan diburu-buru oleh acara doa bersama sebagai komunitas, belum lagi oleh kegiatan mengurus pertanian, pertukangan, membuat bir atau anggur, atau memerah ASI sapi.
Sebaliknya pimpinan SJ pun dengan mudah mengizinkan Yesuit mencoba pindah ke tarekat kontemplatif/pertapa. Sekretaris Jendral SJ, Pater Ignacio Echarte, yang mengunjungi saya di Triniji awal tahun ini, bercerita bahwa Pater Jenderal Kolvenbach selalu mengizinkan, karena pada umumnya mereka lalu kembali lagi.
Pater Kolvenbach berkata, “Mereka rindu untuk berdoa lebih lama, karena itu mereka mau pindah ke tarekat kontemplatif. Tapi begitu pindah, ternyata mereka mengalami bahwa di sana mereka tak punya kesempatan untuk berdoa selama seperti mereka rindukan karena banyaknya kesibukan sebagai komunitas rahib. Ternyata sebagai Yesuit mereka bisa berdoa lebih lama lagi dalam kesendirian.”
Pater Echarte juga bercerita bahwa Pater Kolvenbach, sejak mengundurkan diri dari jabatan Pater Jenderal, hidup di komunitas SJ di Lebanon. Setiap ada tamu berkunjung, superior rumah selalu memperkenalkan Pater Kolvenbach sebagai “This is the hermit of the community”.
Jadi pada praktiknya, Yesuit itu sudah terbiasa hidup sebagai eremit bila diartikan hidup dalam kesunyian dan kesendirian, meski dalam Gereja tak berstatus sebagai eremit.
Maka memang hidup selama 40 tahun sebagai Yesuit sungguh merupakan masa persiapan yang tepat untuk menjadi eremit resmi dalam Gereja. Baru sekarang saya menyadari bahwa Kaul Publik sebagai eremit diosesan ini ternyata merupakan jalan Tuhan bagi saya untuk dapat setia menepati Kaul Privat saya 40 tahun y.l.!
Tuhan seakan berfirman di Sendangsono, “Aku teringat kepada kasihmu pada masa mudamu, kepada cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku di padang gurun, di negeri yang tiada tetaburannya.” (Yer 2:2) (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Mengembara Maneges Kersaning Allah (5).