MENGEMBARA dalam ketegangan
Sepertinya alm. Rm Haryata SJ (mantan magister novis SJ di Girisonta –Red.) dan alm. Rm Sunarja SJ (mantan Provinsial SJ pertama asli Indonesia– Red.) kecewa bahwa saya tidak berani melangkah maju lagi setelah setahun. Namun dengan tangan terbuka mereka menerima saya kembali di akhir 1977. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Dari Kaul Privat ke Kaul Publik Menjadi Eremit Diosan KAS (1)
Melulu oleh kemurahan hati Serikat Yesus, saya diizinkan segera mengikrarkan kaul pertama sebagai SJ, meski saya penuh keraguan tentang arah mana yang harus ditempuh, meneruskan kaul privat sebagai pertapa, atau berkaul sebagai SJ. Mungkin para pembimbing berpikir, kalau saya dibiarkan lontang-lantung kebingungan sendirian di luaran sana, bukan hanya patut dikasihani, tapi malah akan mengganggu masyarakat.
Untung sekali saya boleh langsung kaul sebagai SJ, karena, entah bagaimana, ternyata kepergian saya dari Novisiat itu tidak tercatat di Markas Besar SJ di Roma dan saya masih dianggap Novis. Hanya saja ayah saya, maklum pensiunan AURI, kecewa bahwa dengan pengecut saya mundur dari jalan yang pada mulanya dilangkahi dengan gagah berani.
Semata-mata berkat kemurahan hati Serikat Yesus, saya dibina dengan baik sebagai anggota dan bahkan, setelah studi filsafat di Jakarta, dikirim studi teologi dan tafsir KS di Roma, meski selalu saja dalam retret tahunan muncul konflik antara tarikan hidup aktif dan hidup kontemplatif. Itu dianggap ketegangan yang wajar bagi para Yesuit yang kontemplatif dalam aksi.
Meskipun di awal studi lanjut tafsir KS di Inggris saya pernah menulis surat kepada Provinsial (Rm Putranta SJ) untuk menempuh lagi jalan pertapaan, Provinsial tetap menyuruh saya menyelesaikan studi. Beliau bahkan menjanjikan bila kelak setelah selesai studi pun saya masih ingin menjadi pertapa, Serikat Yesus akan merelakan saya pergi.
Setelah saya kembali ke tanah air dari studi di Eropa, keakraban siswa/i dan para guru SMU Kolese Loyola, aktivitas sebagai dosen KS di Kentungan dan antusiasme para mahasiswa/i maupun dosen tidak juga menghapus bara api yang ditimbulkan oleh ayat Ratapan 3:28, meski dulu didapatkan secara bodon. Pelayanan di RS Panti Rapih sedikit mengalihkan minat ke pertapaan, namun penugasan di Thailand, setiap hari melihat biksu gundul berkeliaran di Bangkok, malah membuat dorongan ke pertapaan semakin menguat.
Mengembara dalam ketersembunyian
Serikat Yesus bermurah hati pula dengan memberi kesempatan mencoba lagi jalan pertapaan, yaitu menjadi rahib Karthusian dengan status sebagai Yesuit di tahun 2006-2008. Hal ini memang dimungkinkan oleh Kanon 684-685 Kitab Hukum Kanonik (disingkat KHK, yaitu Kitab Hukum Gereja, lihat: www.imankatolik.or.id/khk.php), yang mengizinkan seseorang anggota berkaul kekal pindah dari tarekatnya ke tarekat lain dengan izin Pemimpin tertinggi kedua tarekat itu beserta dewannya masing-masing.
Selama percobaan minimal tiga tahun dalam tarekat baru, ia tetap berstatus sebagai anggota tarekat terdahulu, namun kaul, hak dan kewajiban dari tarekat terdahulu ditangguhkan, dan ia diwajibkan menaati hukum tarekat yang baru. Sesudah tiga tahun percobaan itu anggota tersebut dapat dizinkan mengucapkan kaul kekal di tarekat yang baru. Dalam Ordo Karthusian berlaku percobaan lima tahun.
Saat ia mengikrarkan kaul kekal di tarekat yang baru itu otomatis berhentilah kaul, hak dan kewajiban dalam tarekat sebelumnya dan digantikan dengan kaul, hak dan kewajiban dalam tarekat yang baru. Bila percobaan tak berhasil, atau ia menolak kaul setelah percobaan selesai, ia musti kembali ke tarekat semula; kecuali bila ia mengajukan permohonan sekularisasi (dilepaskan dari kaul dan dikembalikan ke dalam dunia).
Saya berterima kasih pula kepada para Karthusian di Parkminster, Inggris. Mereka masih bersedia menerima saya pada usia 50 tahun padahal batas resmi penerimaan anggota adalah usia 45 tahun. Bahkan saya pun diterima sebagai novis Karthusian. Sekarang pun, setelah saya pergi dari mereka, tetap saja mereka mendoakan saya setiap malam sebagai salah satu “absent brother” mereka.
Pemimpin (Prior) Karthusian di Parkminster, Father John Babeau, mendukung sepenuhnya kaul kekal saya sebagai eremit ini, “Externally your consecration may seem insignificant, and somehow on the margins of the big and festive celebration of consecrated life. Yes, a small and simple event, but nevertheless at the heart of this celebration. An act of total surrender, of trust, of gift of yourself to God, because you love Him and you cannot but live for Him alone. This is very precious in God’s eyes and dear to Him. May He guide you along the way that you will have to walk till you see him face to face.”
Dari Father John saya mendengar bahwa saat ini ada dua orang Indonesia yang sedang mencoba panggilan mereka di sana; yang dari Sulawesi sebagai postulan, dan yang dari Jawa sebagai aspiran. Syukurlah ada juga yang dari Indonesia di sana sesudah saya. Jangan-jangan mereka pernah membaca di internet surat pribadi saya kepada para saudara/sahabat yang entah bagaimana tersebar di dunia maya, “Raib jadi Rahib” dan satu lagi, “Rahib Balik Jadi Sohib”. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Mengembara dalam Keterikatan dan Kesendirian (3)
Kredit foto: Romo Antonius Dadang Hermawan Pr (Keuskupan Agung Semarang)
[…] Kebetulan-kebetulan yang indah ini menyapa iman saya bahwa hari kematian orangtua kami ini masing-masing menguatkan panggilan kontemplatif kami berdua: adik saya sebagai rubiah di Biara St. Klara, Pacet Sindanglaya, dan saya sebagai eremit di Trinji Suci. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Mengembara dalam Ketegangan dan Ketersembunyian (2) […]