Romo Pertapa Martin Suhartono: Mengembara di Bawah Payung Kanonik (6)

0
2,724 views

MENGEMBARA di bawah Payung Kanonik (Baca:  Romo Pertapa Martin Suhartono: Mengembara Maneges Kersaning Allah (5)

Di tahun 1977 itu belum ada kanon yang mengatur hidup pertapa yang hidup di luar tarekat, karena kanon 603 itu baru disisipkan dalam revisi KHK tahun 1983. Dan terus terang saja, meski sudah ada di tahun 1983 itu, saya baru pertama kalinya mendengar tentang kanon yang menjadi dasar hidup eremit diosesan itu di tahun 2007 ketika saya masih bersama para Karthusian di Parkminster.

Para dosen Hukum Gereja saya, baik di Jakarta maupun di Roma, tak pernah membahas Kanon 603 itu. Atau bisa juga saya sedang membolos kuliah, ketika hal itu dibahas.

Dan selagi bersama para Karthusian itu, tak pernah saya berniat serius menjadi eremit diosesan, karena para pembimbing selalu mengatakan betapa sulitnya hidup sebagai pertapa sendirian di luar suatu komunitas. Ia menjadi tidak terlindung terhadap apa pun juga. Tak ada struktur apa pun yang melindungi dia. Tak ada tembok biara, tak ada resepsionis, tak ada kontrol sosial dalam diri komunitas, yang memisahkan dia dari dunia luar, dari siapa pun yang bisa mendatangi dia sewaktu-waktu. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Dari Kaul Privat ke Kaul Publik Menjadi Eremit Diosan KAS (1)

Hal itu membuat saya teringat akan kisah seorang pertapa Rusia, istilahnya poustinik, seseorang yang tinggal di poustinia (pondok kecil di padang gurun), yang dalam ketersembunyiannya kadang didatangi perempuan-perempuan yang minta tolong; ada yang serius, ada juga yang cuma mau menggoda.

Bila sang poustinik terjatuh dalam godaan, ia pun memotong satu jari tangannya sendiri sebagai tanda tobat. Di film itu, digambarkan sang poustinik baru kehilangan dua jari. Saya pun membayangkan, lha kalo gitu caranya, di akhir hidup saya kelak, bisa-bisa saya dikubur orang tanpa jari satu pun; selain tanpa jari tangan, jari kaki pun prothol semua!

Istilah “eremit diosesan” ini memang membingungkan. Untuk ritus kaul kekal pertapa hari ini dan Program of Living, saya mengacu pada Guidebook to Eremitic Life, yang diterbitkan oleh Kantor Hidup Bakti, Keuskupan La Crosse, di Amerika Serikat pada tahun 1997.

Eremit berasal dari kata “eremos”, padang gurun, artinya orang yang menyepi di padang gurun; pertapa, begitulah istilah kita. Dulu di awal kekristenan abad keempat Masehi, Agama Kristiani mulai diterima oleh pemerintahan Romawi. Tak ada lagi tantangan kemartiran akibat penganiayaan, tak ada “kemartiran merah” (kemartiran darah, dibunuh karena iman Kristiani). Hidup masyarakat Romawi pun semakin dikuasai oleh materialism, pemenuhan tak terkendali dari kenikmatan seksual, struktur-struktur kekuasaan yang menindas.

Maka banyak orang Kristiani di abad-abad awal Kekristenan itu mulai menyepi sendirian di padang gurun Arab, Mesir, Palestina, dan Siria untuk mencari “kemartiran putih” sebagai jalan baru mempersembahkan hidup mereka kepada Tuhan. Dari hidup sendirian sebagai eremit, muncul pula pola hidup menyepi secara berkelompok sebagai cenobit (caenob, hidup bersama). Dan akhirnya dalam perkembangan selanjutnya lahirlah berbagai lembaga/tarekat hidup bakti seperti yang ada sekarang ini.

Di abad-abad kita terakhir ini muncul kembali gerakan untuk hidup sebagai eremit dalam Gereja. Namun, sekarang ini padang gurun diartikan secara lebih luas lagi. Beberapa eremit diosesan di Eropa dan Amerika Serikat tidak tinggal di padang gurun, bukan juga di tempat sepi, tapi malah di tengah keramaian kota.

Ada eremit di suatu kota di Inggris yang rutin datang ke biara Karthusian untuk bimbingan rohani. Ia tinggal di tengah kompleks lokalisasi pelacuran (red light district), sebagai ungkapan simbolik mendoakan dunia yang hidup dalam gelimang dosa (seksual). Saya tak punya tujuan seluhur itu. Saya artikan eremit sebagai “komat-kamit ngusir dhemit”, komat- kamit artinya berdoa, berjapa mantra; dhemitnya ya tidak jauh-jauh kok, cuma di dalam diri saya sendiri, ya dhemit gundhul ingah-ingih ini.

Konsili Vatikan II dalam dekrit mengenai pembaharuan hidup bakti, Perfectae Caritatis, belum berbicara mengenai hidup eremit, tetapi secara umum mengenai tarekat kontemplatif dikatakan demikian:

“Tarekat-tarekat yang seutuhnya terarah kepada kontemplasi, sehingga para anggotanya, betapa pun mendesaknya kebutuhan akan kerasulan yang aktif, dalam kesunyian dan dengan berdiam diri, dalam doa yang tekun dan ulah tapa penuh semangat mempersembahkan segenap waktu mereka kepada Allah, selalu memainkan peran yang mulia dalam Tubuh Mistik Kristus, yang ‘anggotanya tidak semua mempunyai tugas yang sama’ (Rom 12:4).

Sebab mereka mempersembahkan korban pujian yang istimewa kepada Allah, menerangi Umat Allah dengan buah-buah kesucian yang melimpah serta menggerakkannya dengan teladan mereka, lagi pula mengembangkannya dengan kesuburan kerasulan yang rahasia. Begitulah mereka menjadi seri-semarak Gereja dan pancaran rahmat sorgawi.” (No. 7)

Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI mengumpamakan hidup para rahib dan rubiah kontemplatif sebagai paru-paru Gereja; memang tidak kelihatan dari luar, tetapi mutlak diperlukan bagi kehidupan seluruh Tubuh Mistik Kristus, yaitu Gereja.

Kanon 603 dalam KHK, yang dikutip juga pada belakang teks selipan pada teks Misa Syukur di Sendangsono ini, mengenai eremit berbunyi demikian:

“603 §1. Di samping tarekat-tarekat hidup bakti, Gereja mengakui hidup eremit atau anakoret, dengannya kaum beriman kristiani dengan menarik diri lebih ketat dari dunia, dalam keheningan kesunyian, dalam doa dan tobat terus-menerus, mempersembahkan hidupnya demi pujian kepada Allah serta keselamatan dunia.”

“603 §2. Seorang eremit, sebagai orang yang dipersembahkan kepada Allah dalam hidup bakti, diakui hukum jika mengikrarkan secara publik tiga nasihat injili, yang dikuatkan dengan kaul atau ikatan suci lainnya di tangan Uskup diosesan dan memelihara cara hidupnya yang khas itu di bawah pimpinannya.”

Katekismus Gereja Katolik www.imankatolik.or.id/katekismus.php mengatakan pada No. 920 bahwa “Juga apabila mereka tidak selalu mengikrarkan ketiga nasihat injili secara publik”, para pertapa tetap melakukan hal-hal yang disebutkan dalam Kanon 603 §1 itu.

Lebih lanjut dikatakan pada No 921: “Mereka menunjukkan kepada setiap orang inti dari misteri Gereja: keakraban pribadi dengan Kristus. Tersembunyi bagi mata manusia, kehidupan para pertapa merupakan khotbah Kristus secara diam-diam. Seorang pertapa menyerahkan kehidupannya secara penuh kepada Kristus, karena Ia adalah segala-galanya untuk dia. Menemukan kemuliaan Yang Tersalib di padang gurun, dalam perjuangan rohani itu adalah suatu panggilan khusus.”

Istilah “lebih ketat” dalam ungkapan “menarik diri lebih ketat dari dunia” pada Kanon 603 §1 diartikan dalam perbandingan dengan “pingitan” (closura; closure) dalam tarekat kerahiban/monastik pada umumnya.

Setelah diproses sejak Konsili Vatikan II, kanon 603 ini akhirnya pada tahun 1983 diintegrasikan dalam KHK untuk menampung banyak biarawan/wati (saat itu terutama di USA dan Kanada) yang terpaksa hidup sebagai pertapa di luar tarekat/ordo mereka karena konstitusi tarekat/ordo mereka tak menampung hidup eremit.

Di Eropa sendiri saat ini ada cukup banyak orang yang hidup sebagai eremit, entah dengan kaul publik atau pun tanpa. Maklum, cukup banyak biara dan gedung gereja menjadi kosong. Para Uskup di sana dengan senang hati mengizinkan para pertapa itu tinggal di situ dan merawat, baik bangunan maupun kehidupan umat setempat.

Ada seorang suster yang tertarik juga untuk hidup dalam keheningan sebagai eremit dan minta nasehat saya. Saya mengusulkan demikian, “Sebisa mungkin lakukanlah di dalam tarekat anda, karena setelah hidup sekian lama dalam suatu tarekat, dan kemudian harus pergi, itu amat menyedihkan hati.”

Beberapa waktu yang lalu, suster itu menulis lagi bahwa ia sudah mengutarakan hasrat hatinya pada Pemimpin tertinggi tarekatnya, dan beliau menjawab: “Suatu karisma itu berkembang dalam waktu, menjadi matang, dan kadang kala berkembang memuat suatu nuansa baru.

Aspek kontempatif merupakan jantung hati cinta kasih, maka sama sekali tak bertentangan dengan pelayanan kita kepada orang miskin.” Ada kemungkinan ia boleh menjadi eremit dengan tetap menjadi anggota tarekatnya sendiri. Syukur kepada Allah.

Memang ada beberapa tarekat, seperti Fransiskan, Gembala Baik, Maryknoll, Missionaries of Charity (tarekat yang didirikan oleh Mother Theresa of Calcutta) yang memiliki dua cabang: cabang aktif dan cabang kontemplatif/pertapa.

Namun kebanyakan tarekat aktif kerasulan, termasuk Serikat Yesus, tak dapat menampung anggota yang terpanggil ke arah keheningan yang lebih dalam lagi. Ironisnya, mereka musti menjalani proses sekularisasi (dilepaskan dari kaul-kaul religius dan dikembalikan ke tengah dunia) sebelum mereka dapat hidup sebagai eremit.

Proses inilah yang musti saya alami sebelum bisa berkaul publik sebagai eremit. Hanya saja karena bagi saya, hari sekularisasi (dilepas dari kaul SJ dan dikembalikan ke dalam dunia) dan inkardinasi (diterima sebagai imam dalam keuskupan), dibarengkan dengan hari kaul publik sebagai eremit diosesan, tak ada waktu kosong tanpa kaul saat saya dimuntahkan kembali ke dalam dunia. Begitu saya menjadi eremit diosesan, saat itu pula saya berhenti sebagai Yesuit, atau sebaliknya, begitu saya berhenti sebagai Yesuit, seketika itu juga saya menjadi eremit diosesan. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Mengembara tanpa Bentuk, Wajah, dan tanpa Nama (7)

Kredit foto: Perayaan ekaristi dalam rangka merayakan tahun hidup bakti sekaligus menandai ikrar kaul publik Romo Pertapa Martin Suhartono sebagai eremit diosesan KAS di Sendangsono, 8 September 2015. (Courtesy of Romo Antonius Dadang Hermawan/Keuskupan Agung Semarang)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here