Kejutan tertunda-tunda
SEBAGAI Yesuit muda saya bergulat terus dengan panggilan ke pertapaan. Para pembimbing rohani saya di masa belajar filsafat di Jakarta (1978-1982) menafsirkan pergulatan ini sebagai hal normal dalam kehidupan Yesuit, yaitu ketegangan antara kegiatan kerasulan dan doa, antara aksi dan kontemplasi. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Lie Cha Lie Chu Lie Chung Yen (1)
Sempat saya mengusulkan diri untuk dikirim ke Jepang setelah studi filsafat (1978-82), antara lain karena keinginan memperdalam meditasi Zen, namun Provinsial (Rm. Julius Darmaatmaja SJ) mengutus saya belajar teologi di Universitas Gregoriana, Roma (1982-84) dan setelah itu studi tafsir Kitab Suci di Biblicum, Roma (1984-1989). Pada tanggal 16 April 1984 saya ditahbiskan Diakon di Roma oleh Kardinal Pironio dan ditahbiskan Imam oleh Mgr. Leo Soekoto SJ di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1985 di Gereja St. Stephanus Cilandak.
Sepanjang masa studi di Roma, bentuk doa yang menemani saya dengan setia adalah Doa Yesus yang saya pelajari di Pertapaan Karmel. Setelah studi di Roma, saya mengajar tafsir Perjanjian Baru di Jakarta (1989), dan kemudian mampir Roma lagi untuk mempersiapkan program doktoral (1990) sebelum ke Inggris. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Dari Kaul Privat ke Kaul Publik Menjadi Eremit Diosesan KAS (1)
Baru dua bulan saya di Cambridge, datang berita mengejutkan: Papi meninggal dunia (22 November 1990; usia 75). Saya jatuh dalam depresi karena merasa kehilangan orang yang paling berarti dalam hidup saya. Namun ada pula pikiran bahwa kini tidak ada lagi penghalang bila saya ingin menjadi pertapa. Saya sadari bahwa keputusan saya meninggalkan panggilan pertapa dan kembali ke SY sedikit banyak dipengaruhi juga oleh perlawanan Papi terhadap hidup pertapa.
Ternyata ada hal lain yang selama ini tidak saya ketahui karena tidak pernah diungkapkan oleh Papi dan baru terkuak setelah Papi meninggal. Ketika membersihkan lemari Papi setelah upacara kremasi, saya menemukan surat Papi kepada saya yang ditulis pada akhir Juli 1977 tapi tidak pernah dikirimkan. Di surat itu Papi menerima kenyataan bahwa saya menjadi pertapa. Papi mengatakan, “Dalam senja hidupku ini, maka lebih yakinlah aku, bahwa apa yang kita temukan dalam dunia ini hanya semu, hanya palsu. Maka apa yang Martin kini lakukan memang kiranya tepat sekali untuk menemukan dunia yang sejati.”
Papi menggambarkan pula bagaimana seorang pertapa mengosongkan diri dari segala sesuatu, menjadi Tiada, agar dapat dipenuhi semata-mata oleh Yang Ada.
Kepergian Papi yang membuat saya merenungkan makna hidup dan kematian, surat Papi, disertasi yang mengolah waktu dan keabadian, minat saya akan aliran New Age dan keparanormalan, kontak saya dengan para penyembuh alternatif di Inggris, membuat dorongan ke pertapaan berulang kali muncul selama saya di Inggris (1990-1994).
Sempat saya menulis ke Provinsial (Rm. Putranta) bahwa saya tergerak meninggalkan SY dan kembali menekuni hidup pertapaan; saya ungkapkan kekuatiran bahwa bila saya meraih gelar doktor, Serikat Yesus tentu akan berkeberatan bila saya pergi.
Beliau menyuruh saya menyelesaikan studi yang sudah saya mulai dan menjamin bahwa, seandainya pun setelah selesai studi, saya tetap berniat menjadi pertapa, SY tidak akan menghalangi melainkan mendukung. Saya pun menyelesaikan studi dan segera kembali ke Indonesia (September 1994). Kecenderungan batin saya saat kembali ke Indonesia itu adalah hampir pasti saya akan menempuh jalan panggilan sebagai pertapa.
Sebagai break sebelum mulai mengajar di Yogya, saya ditugaskan di SMA Loyola Semarang. Gairah dan keterlibatan penuh dalam mendampingi para remaja di Loyola ternyata justru merenggut saya dari ketertarikan akan hidup pertapaan. Sayang, tugas di kolese ini hanya berlangsung setengah tahun (Okt 1994 – Juni 1995) dan saya pun musti mengajar di Yogyakarta sambil memulai tahap akhir pembinaan sebagai Yesuit dalam program Tersiat di Girisonta di bawah bimbingan Rm. Darminta SJ (1995-1996).
Selama menjalani Tersiat saya pikir saya sudah mengucapkan good-bye pada panggilan pertapa, terutama ketika saya menjalani retret sebulan; saya menerima kenyataan hidup sebagai imam Yesuit. Itulah yang membuat saya setahun kemudian tanpa keraguan mengikrarkan kaul terakhir dalam SY (8 September 1997).
Selama bertugas di Yogyakarta sebagai dosen tafsir Perjanjian Baru (1995-2002) beberapa kali saya menawarkan diri untuk dikirim ke China atau Myanmar, tapi Provinsial (Rm. Wiryono SJ) hanya menanggapi dengan senyuman. Karena itulah kebutuhan misi SY di Thailand seperti diutarakan Provinsial berikutnya (Rm. Priyono Marwan SJ), diteguhkan dalam surat tugas bagi saya dari Pemimpin Umum SY (Pater Jenderal), datang pada saat yang tepat (November 2002). Saya bayangkan, setelah selesai jabatan Superior Regional, saya bisa menyepi sebagai pertapa di suatu hutan di Thailand, seperti dilakukan banyak biksu Buddhis. Saya mulai bertugas pada Pesta St. Yosef, 19 Maret 2003.
Belum lagi genap tiga tahun bertugas di Thailand (kemudian juga untuk Myanmar sejak 1 September 2005), ada kebutuhan untuk mendampingi kaum muda Yesuit se Asia Tenggara di Manila sebagai Rektor Residensi Internasional Arrupe. Saya mengakhiri tugas di Thailand & Myanmar pada tanggal 25 Januari 2006 (Pertobatan St. Paulus) dan sampai di Manila pada hari Sabtu Suci, 15 April 2006, untuk mulai tugas pada 31 Mei 2006 (Pesta Maria mengunjungi Elizabeth). Hanya saja, sebelum sampai di Filipina sudah ada pergulatan batin tertentu sejak Desember 2005. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Kejutan di Awal Tugas (4)
Kredit foto: Ilustrasi
[…] Dari Roma, lampu hijau diberikan asalkan ada pertapaan yang menampung. Sayang, pertapaan Karthusian di Korea (sejak 2004) hanya menerima calon Korea. Pertapaan Karthusian di Italia, yang saya hubungi pertama kali, tidak segera memberikan balasan; inilah pilihan pertama saya karena banyak teman di Italia dan membayangkan makan spaghetti atau macaroni tiap hari! Setelah berhari-hari tanpa jawaban dari Italia, saya pun menulis ke Inggris; dalam sehari datang jawaban positif. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Kejutan Tertunda-tunda (3) […]