DEMIKIANLAH saya hidup hari demi hari dalam hadirat Tuhan sebagai rahib yang dilatih untuk berpikir dan bersikap bahwa hari ini adalah hari kematian saya. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Lie Cha Lie Chu Lie Chung Yen (1)
Dalam tradisi Gereja dikenal dua jenis kemartiran: “kemartiran darah”, dialami oleh para martir yang dibunuh demi iman, dan “kemartiran kasih”, dialami oleh para rahib/rubiah yang menyerahkan diri sebagai tumbal cinta Ilahi dalam persatuan erat dengan Yesus, yang “menanggung kelemahan kita dan mengambil alih dalam diri-Nya segala penyakit kita” (Matius 8:17), yang “oleh bilur-bilur-Nya kita semua diselamatkan ” (1 Petrus 2:24).
Itulah sebabnya dalam setiap ibadat pagi kami berdoa bersama seturut ajaran St. Paulus, “Ya Allah, buatlah kami berdiri di hadirat-Mu, sebagai kurban yang kudus dan berkenan di hati-Mu!” (bdk. Roma 12: 1).
Tak terikat ruang dan waktu
Di bulan-bulan awal saya di Parkminster, pikiran akan China masih menyertai saya. Ketika Romo Prior bicara tentang kemungkinan di masa depan membuka pertapaan Karthusian di China, saya pun spontan menawarkan diri. Sekali lagi, sama seperti jawaban para Superior Yesuit pada saya, Romo Prior pun cuma tersenyum lebar.
Jawaban Pater Jenderal SY di Spanyol tahun lalu “Your blood is calling you!” membuat saya bertanya-tanya, jangan-jangan keinginan saya untuk menjadi misionaris di Cina hanyalah obsesi belaka gara-gara saya keturunan China!
Saya kini sadar, pertapa tak terikat lagi oleh ruang dan waktu; tak penting lagi di manakah ia tinggal; berkat Roh Kudus, doa-doanya menjangkau langit dan segala sudut bumi. Saya tak perlu ke mana-mana lagi!
Selain kaul ketaatan dan kaul pertobatan hidup (mencakup kemiskinan dan kemurnian), rahib Karthusian mengikrarkan juga kaul stabilitas, yaitu tinggal sampai akhir hayat di biara tempat ia mengikrarkan kaul, kecuali mendapat tugas khusus dari Kapitel Jendral untuk pindah biara. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Dari Kaul Privat ke Kaul Publik Menjadi Eremit Diosesan KAS (1)
Saya teringat seorang pencari Tuhan dari Inggris, John Bradburne (1921-1971), pengembara juga seperti saya, yang selalu berpindah-pindah tempat, terpukau oleh kesunyian dan kesendirian dalam Tuhan, pernah tinggal di India, pernah mencoba beberapa biara kontemplatif di Inggris (di Parkminster selama enam bulan sebagai aspiran), di Belgia, di Palestina, dan akhirnya terdampar di Afrika, tepatnya di Zimbabwe.
Di sana ia hidup belasan tahun sebagai pertapa yang melayani penderita kusta dan akhirnya wafat sebagai martir dan dikuburkan dalam jubah anggota ordo ketiga Fransiskan. Ia seorang penyair dan salah satu sajaknya mengungkapkan perjalanan hidupnya.
Perkenankan saya menutup kisah ini dengan beberapa bait puisinya yang amat menggugah hati saya, a.l.: “Pengembara aneh yang tak tahu apa yang dicari, istirahat yang kau butuhkan tak terletak di bagian dunia sini, …. jauh kau telah mengembara untuk menemukan jiwa terdalammu, namun jiwa-jiwa menemukan kelimpahan kata justru dalam keheningan: Maka dari itu berdiam dirilah! Biarkan keheningan Tuhan mengutuhkanmu, karena hanya Dia yang dapat menenangkan pikiranmu yang kacau. … Cinta Tuhan dalam hatimu adalah tanah-airmu.
Maka dari itu jangan cari yang lain, jangan pergi ke mana-mana lagi, karena engkau akan tetap gelandangan, kecuali Tuhan menawan hatimu” (dalam biografi John Bradburne yang ditulis oleh sahabatnya, John Dove, S.J., Strange Vagabond of God).
Akhirulkata, terima kasih banyak atas segala kasih persahabatan dan persaudaraan Anda kepada saya pribadi maupun keluarga saya; terutama Anda sekalian yang selama ini selalu membantu kami dalam perawatan Mami sehingga saya dapat masuk ke pertapaan ini dengan hati tenang.
Maafkanlah segala kesalahan kata maupun perbuatan saya, atau apa pun dari pihak saya yang tak berkenan di hati Anda, sesuatu yang amat mudah terjadi dalam perjumpaan kita bersama selama ini.
Kita senantiasa dipersatukan oleh Kasih Allah dalam doa-doa kita bersama. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Mengembara Nglurug tanpa Bala (11)
Sampai jumpa lagi di mana pun Tuhan berkenan mempertemukan kita kembali, entah masih di dunia sini atau pun di dunia seberang, Shalom!
Salam dalam Kasih Tuhan,
Berkat-Nya senantiasa melimpah ruah atas Anda sekalian,
Dom Ambrose-Mary,
Parkminster, 7-7-’07 (
St. Hugh’s Charterhouse,
Henfield Road, Partridge Green, Horsham,
West Sussex RH13 – 8EB
GREAT BRITAIN – (Website: www.parkminster.org.uk)
Day after day, O Lord of my life,
shall I stand before Thee, face-to-face.
With folded hands, O Lord of all worlds,
shall I stand before Thee, face-to-face.
Under the great sky, in solitude
and silence, with humble heart,
shall I stand before Thee, face-to-face.
(Rabindranath Tagore)
Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Kejutan Setiap Hari (6)