ROMO praja (diosesan) tidak mengucapkan kaul. Ini berbeda dengan para room kaum religius lainnya seperti Yesuit, Fransiskan, Dominikan yang mengucapkan tiga kaul gerejani yakni berjanji di hadapan Tuhan untuk menjaga keperawanan, hidup miskin, dan bertabiat loyal (taat) kepada tarekat dan Gereja melalui sikap sedia diutus oleh provincial maupun pemimpin tarekat religiusnya.
Berikut ini ingatan saya tentang sebuah percakapan antara almarhum Romo Wignyamarta Pr, saat beliau masuk tugas pastoral di Paroki Mlati, Sleman, DIY sebagai imam projo pertama kali di paroki yang selama puluhan tahun dikelola oleh para romo Yesuit.
Percakapan itu terjadi tahun 1970-an, saat Serikat Yesus Provinsi Indonesia melepas tugas pastoralnya di Paroki Mlati untuk kemudian diserahkan kepada para imam diosesan (projo) Keuskupan Agung Semarang.
Umat: Romo tidak berkaul kemiskinan, ya?
Romo Wignyamartaya Pr: Tidak. Saya bukan biarawan. Saya imam saja.
Umat: Kalau begitu Romo kaya ya?
Romo: Kamu berkaul kemiskinan atau tidak?
Umat: Tidak, saya bukan biarawan.
Romo: Kalau begitu, kamu kaya ya?
Umat: hmmm, tidak.
Romo: Loh, tidak kaul kemiskinan kok tidak kaya?
Umat: ???!!???!!!
Intinya adalah bahwa “harta” Romo projo itu tergantung rahmat Allah melalui kebaikan umat sekitar dan mutlak tidak bebas dari kritik karena memang hidupnya bersama umat. Hidup para romo projo –tak terkecuali—harus rela menjadi transparan, akuntabel kalau ditanya soal ini.
Tak punya HP
Ada beberapa imam diosesan di Indonesia ini yang mengambil sikap hidup sedikit “ekstrim”: tidak mau mau punya HP, BB, iPad, dst. Mereka hanya mencukupkan diri dengan pakaian, buku, dan buku tulis serta balpoint, mesin ketik/komputer PC dan printer, makanan 3 kali sehari, uang saku dua ratus ribu sebulan dari pastoran/ paroki, dan tak mau diberi HP oleh umat.
Transportasi modelnya mau nunut atau sekedar memakai sarana yg ada.
Jika ada pemberian berlebih, mereka lalu menyerahkan harta pemberian itu kepada lembaga sosial milik Gereja agar disalurkan ke orang yg lebih membutuhkan. Tak jarang orang-orang sekitar menerima baju dan barang-barang dari romo-romo ini.
Bagaimana mungkin bisa melayani secara lebih optimal selain yang standar saja dengan alat yang juga minimal?
Salah satu imam yg nekad tak ingin punya HP itu menjadi ketua panitia lokal Musyawarah Nasional ke X Unio Indonesia . Dan ternyata musyawarah nasional itu berjalan sukses.
Bagaimana caranya mengelola kepanitiaan di zaman digital tanpa alat komunikasi digital?
“Sudah banyak panitia yang punya HP. Ya biar merekalah yang telpon-telpon. Kan sudah banyak yg punya komputer dan bisa alses internet. Komunikasi jarak jauh terjadi melalui panitia yang punya alat-alat itu. Saya lakukan tugas saya dengan memimpin rapat-rapat yang sudah dijadwalkan,” begitu yang saya dengar dari romo ini.
Ternyata, romo itu juga dikritik teman-temannya sesama imam, karena tidak bisa praktis menghubunginya. Tapi dia dengan enteng bilang, kalau ada keperluan, tolong lewat teman serumah saya atau menelpon rumah residensi (pasturan).
Nyatanya, semua komunikasi dan pelayanan berjalan dengan baik. Maka, kritik saja, agar bisa melayani dengan lebih baik.
Mendiang almarhum Romo Mangun Pr
Almarhum Romo Mangunwijaya Pr tidak berkaul kemiskinan. Namun hidup dan hartanya diabdikan untuk kaum miskin.
Romo projo tidak mengucaplan kaul kemiskinan, ketaatan dan kemurnian. Romo projo mengucapkan janji taat setia pada uskup dan janji untuk selibat demi Kerajaan Allah. Hanya itu. Ingat dialog Romo Wignya dan seorang umat Mlati di atas membuat saya gembira menghayati imamat sederhana dan semoga tuntas.
Paling tidak, penampilan tidak “nyranthil”, tidak memalukan jika dipajang untuk berfoto bersama para tokoh… Atau tidak memalukan ikut rapat di gedung bagus, tapi juga tidak glamor. Pas-pas saja sebagai imam.
Catatan redaksi: “Pr” adalah singkatan dari kata “presbyter” yang artinya imam.
Ketika Romo Wignyamarta, Pr bertugas di paroki Mlati th 1964 saya baru kelas 1 SD. Kalau saya pergi ke gereja harus berjalan kaki sekitar 20 km. Melewati sawah, menyeberangi sungai dan menapaki bantalan rel kereta api. Sebenarnya ada kereta api dari rumah saya ke gereja hanya satu setasiun, tetapi karena tidak punya uang ya terpaksa jalan kaki.
Sementara Romo Wignya, kalau memimpin misa di stasi saya naik motor BMW. Kesimpulan saya waktu itu, ooo jadi Romo itu bisa kaya.
Romo Praja tak Selalu Kaya, Banyak yang Hidup Sederhana | SESAWI.NET
Romo, boleh saya tahu apa perbedaan Romo Praja (Pr) dengan Romo dr ordo/tarekat lain (ex: SJ,SY)? Terima Kasih
Romo praja (diosesan) adalah imam/pastor ‘milik’ diosis/keuskupan setempat; jadi, pemimpin mereka adalah Uskup diosis dimana pastor praja tersebut ‘terdaftarkan’ (istilahnya inkardinasi). Mereka menerima tahbisan imamat.
Imam religius adalah mereka yang menjalani hidup bhakti kepada Tuhan dengan menjiwai spiritualitas tertentu sesuai ordo atau kongregasi religius yang mereka “inkardinasi” (bergabung). Maka dari itu, sebelum resmi menjadi anggota, mereka harus menjalani masa pendidikan rohani/spiritualitas di novisiat (ada yang setahun ada yang 2 tahun). Baru kemudian, mereka mengucapkan “kaul” (janji) untuk hidup sesuai nafas spiritualitas ordo/kongregasi religius yang mereka ikuti yakni taat, mskin, dan murni.
Jenjang studi baik untuk imam religius dan imam praja nyaris sama: filsafat dan teologi dan setelah itu mereka mendapatkan tahbisan diakonat dan baru kemudian tahbisan imamat.
Pemimpin romo religius adalah Provinsial (diambil dari kata ‘provinsi’ karena mengikuti wilayah administratif ordo religius tsb).
Jadi, baik romo diosesan maupun religius sama-sama pastor; namun ‘bos’ besar mereka berbeda. Romo praja wilayah kerjanya hanya di keuskupan, sementara imam religius bisa dimana-mana seluruh provinsi bahkan di luar provinsi (LN); kalau berkarya di salah satu keuskupan, tentu saja Provinsial “minta izin” penempatan kepada Bapak Uskup, terutama bila berkarya pastoral parokial atau karya keuskupan semisal seminari.
Semoga membantu.