Home BERITA Romo Vitalis Frumau CP (88), Imam Misionaris Kongregasi Passionis Belanda Terakhir di...

Romo Vitalis Frumau CP (88), Imam Misionaris Kongregasi Passionis Belanda Terakhir di Indonesia (1)

0
335 views
Romo Vitalis Frumau CP, imam misionaris Kongregasi Passionis dari Negeri Belanda terakhir yang masih hidup dan tetap tinggal di Indonesia. Dalam Program Bincang-bincang Panjang bersama Titch TV, Rabu 26 April 2023. (Mathias Hariyadi)

SEPTEMBER tahun 2023 mendatang, Romo Vitalis Frumau CP akan genap merangkai usia 88 tahun. Ia tiba di Jakarta dan masuk Ketapang di Provinsi Kalbar tahun 1964.

Untuk mengawali hari-hari pertamanya sebagai imam misionaris Kongregasi Passionis (CP) di Borneo – nama tenar untuk Kalimantan tahun-tahun itu.

Kisah panggilan hidupnya menarik. Dimulai dari sebuah peristiwa sederhana di Dordrecht, Negeri Belanda, tahun 1938.

Lambang salib Congregatio Passionis CP.

Pastor hebat, musim dingin tanpa kenakan kaos kaki

Vitalis Bocah saat itu masih berumur tiga tahun. Seorang imam datang menyambangi rumahnya di bulan Januari tahun itu.

Masuk rumah keluarga Frumau di Dordrecht bersepatu, tapi tanpa memakai kaos kaki.

Semua orang tahu, Negeri Belanda di bulan Januari pasti sedang dingin-dinginnya.

Hebat nian pastor ini. Di musim dingin, datang ke rumah orang tanpa mengenakan kaos kaki.

“Saya ingin menjadi seperti orang itu. Jadi pastor,” tutur Romo Vitalis Frumau CP dalam Program Bincang-bincang Panjang bersama Titch TV, Rabu siang hari ini tanggal 26 April 2023.

Vitalis sepuh ingin mengenang kisah hidupnya 85 tahun silam, saat di usia saat benih panggilan imam mulai merasuki hatinya. Dan perjalanan hidup berikutnya memang menuntun ke situ.

Ia lalu masuk seminari menengah. Adik kandungnya persis juga ikut menyusulnya masuk seminari menengah, namun kemudian tidak lanjut lagi.

Kongregasi Passionis lebih egaliter

Ia memutuskan bergabung masuk dengan Kongregasi Passionis Provinsi Negeri Belanda hanya karena masalah sangat sepele, namun juga mendasar bagi hidupnya. Yakni, semangat egaliter yang dia lihat di Kongregasi Passionis.

Sementara hal itu tidak dia lihat di Kongregasi Imam lainnya. Antara lain, kenang Romo Vitalis CP, karena semua pastor dan bruder Passionis waktu itu sudah bisa duduk makan satu meja.

Tiga pastor misionaris Congegatio Passionis (CP) merintis awal karya misi di Ketapang mulai tahun 1946. Ki-ka: Pastor Canisius Pijnappels CP, Pastor Bernardinus Knippenberg CP, dan Pastor Plechelmus Dullaert CP. (Dok CP/Repro MH).

Ngacung tunjuk jari

Saat duduk di Seminari Menengah itulah, datang seorang pastor misionaris Kapusin (OFMCap) dari Pontianak memberi ceramah kepada remaja calon imam ini.

Paparannya tentang karya misi Kapusin di belantara pedalaman Kalbar -utamanya di Pontianak dan Ketapang- disampaikan dengan amat menarik.

Sampai membuat Vitalis remaja terpukau manis.

Ketika Pastor Leo OFMCap -nama imam misionaris Kapusin di Kalbar itu- bertanya “menantang” para seminaris Belanda siapa mau menjadi misionaris ke Kalbar, maka tanpa ba-bi-bu lagi Vitalis muda langsung angkat tangan.

Unjuk gigi. “Saya juga mau dan ingin pergi ke sana,” katanya gagah saat itu.

Baca juga: Suster OSA Belanda Merintis Asrama di Ketapang: Pastor Raphael Kleyne CP dan Br. Caspard R. vd Schueren CP Tewas Tenggelam di Sungai Pesaguan (4)

Belajar pastoral dan ilmu kesehatan

Usai tahbisan imamat 5 Mei 1962, Vitalis tak bisa langsung berangkat ke Indonesia. Masih terhalang konflik diplomatik Jakarta-Amsterdam lantaran isu Irian Barat (Papua).

Maka, sembari menunggu visa masuk Indonesia, imam muda CP ini lalu belajar pastoral dan kemudian ilmu kesehatan.

“Saya belajar kesehatan, karena di Borneo tahun-tahun 1960-an itu hanya ada satu orang dokter untuk sebuah wilayah sangat luas itu,” papar Romo Vitalis Frumau CP menjawab Titch TV.

Ke Indonesia via New Zealand dan Australia

Atas izin Uskup Keuskupan Ketapang di Kalbar waktu itu – Mgr. Gabriel Sillekens CP- Romo Vitalis Frumau tidak langsung terbang dari Belanda menuju ke Jakarta.

Melainkan malah terbang lebih ke “timur” lagi menuju Australia dan Selandia Baru.

Plesir dulu ke Australia dan New Zealand, lantaran beberapa kakak kandungnya sudah tinggal di Benua Kangguru dan Negeri Kiwi tersebut. Ingin mengunjungi mereka sebelum mengawali karya pastoralnya sebagai misionaris di Borneo, tepatnya di pedalaman Ketapang, Kalbar.

Saat itu, “pusat kota” Ketapang boleh dikatakan masih ada dalam atmosfir hutan belantara. Karena aneka binatang hutan masih gampang terlihat bersliweran di jalan-jalan dan wilayah permukiman penduduk.

Uskup pertama Keuskupan Ketapang: Mgr. Gabriel Wilhemus Sillekens CP. (Dok CP)

“Tahun 1961, kakak kandung nomor satu memutuskan pindah beremigrasi ke Australia. Disusul kemudian kakak kandung nomor dua. Lalu satu kakak lagi ke New Zealand, karena menikahi orang Belanda tapi kelahiran Medan. Setelah mereka menikah di Australia, pasutri ini pindah ke Selandia Baru,” jelas Romo Vitalis Frumau CP.

Karena itu, perjalanannya menuju Indonesia di tahun 1964 itu tidak terjadi dari Negeri Belanda. Melainkan dari Australia.

Dari Sydney di Australia, ia terbang menuju Jakarta dan akhirnya berhasil tiba sampai di Pontianak. Dari Kuntien ini, Romo Vitalis Frumau CP lalu berlanjut naik kapal dagang sederhana menuju Ketapang.

“Di dalam kapal itulah, saya sedikit-sedikit belajar kosa kata bahasa Indonesia: satu, dua, tiga…,” ungkap Romo Vitalis Frumau CP yang tahun-tahun terakhir ini sempat mengalami sakit Covid-19.

Ia menjadi imam misionaris Kongregasi Passionis Belanda terakhir yang masih hidup dan tetap tinggal di Indonesia. (Berlanjut)

Baca juga: Lebih Jauh dengan Keuskupan Ketapang, Kalbar: Misi Awam Katolik dari Tiongkok

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here