ROMO Wilhelmus van der Weiden MSF tiba di Bumi Nusantara pada tanggal 24 Oktober 1969. Itu terjadi selang delapan bulan sesudah kedatangan imam misionaris Belanda lainnya yakni Romo Jack Veuger MSF.
Meski sejak tahun 1958 telah terjadi tahbisan delapan imam MSF pribumi, namun MSF Provinsi Belanda masih terus mengirim tambahan misionaris-misionaris andal mereka ke Indonesia. Taruhlah seperti Romo Adrianus van der Peet MSF, Romo Henricus Vermeulen MSF, Romo Marcellus van der Vlugt MSF.
“Mereka itu datang dari jauh,” demikian ungkapan Uskup Keuskupan Banjarmasin (alm.) Mgr. WJ Demarteau MSF sering kali mengatakannya.
Sukacita bermisi
Keputusan superior MSF Provinsi Belanda bahwa mereka itu akhirnya bisa bermisi ke Indonesia rupanya menjadi kabar sukacita bagi para imam muda MSF yang memang sejak lama selalu berharap bisa dikirim ke lahan misi ad gentes. Sebagai warga negara Belanda, mereka sangat memahami bahwa bekas wilayah Hindia Belanda itu dulunya merupakan tanah jajahan leluhur mereka. Namun, sebagai imam-imam misionaris MSF, mereka mempersepsi hal itu sebagai ‘lahan bermisi’ dan itu merupakan anugerah bagi Kongregasi MSF Provinsi Belanda.
Inilah sukacita para misionaris MSF.
Baca juga: Mencukur Romo Wim van der Weiden MSF (17)
Ketika di tahun 1932 ada tiga orang imam muda MSF dari Negeri Belanda akhirnya bisa menginjakkan kaki di Bumi Nusantara untuk pertama kalinya, maka peristiwa itu menjadi suatu berita istimewa. Karya mewartakan Injil di antara bangsa-bangsa yang dianggap belum mengenal Injil itu diharapkan membangkitkan semangat misioner para frater skolastik MSF di Negeri Belanda atau tempat-tempat lainnya. Semuanya dalam semangat misioner yang sama: serius menyiapkan diri untuk menyongsong tugas misioner mereka.
Tugas misioner selalu menjadi event komunitas skolastikat.
Romo Wim beda sendiri
Berbeda dengan para misionaris MSF dari Negeri Belanda yang lain, Romo Wim hadir sebagai imam, pengajar dan teolog. Seperti misionaris andal Paulus yang telah mewartakan Injil karena dorongan rasa syukur, demikianlah karena rasa tanggungjawab dan rasa keprihatinan yang sama maka Romo Wim dan para misionaris Belanda itu akhirnya mau datang ke Indonesia.
Ini tentang Bapa Pendiri Kongregasi MSF Pater Berthier. Beliau juga telah memberikan diri untuk akhirnya membangun pondasi bagi berdirinya Kongregasi MSF dengan berbekal talentanya bisa mengajar, mendidik, menulis buku. Nah, demikianlah ‘kisah hidup’ Romo Wim yang juga telah mendedikasikan beberapa dekade hidupnya sebagai Pemimpin Umum Kongregasi MSF Internasional dan Provinsial MSF Provinsi Jawa serta pengajar Kitab Suci Perjanjian Lama, mula-mula di Institut Filsafat Teologi (IFT) Kentungan dan kemudian di Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta.
Misionaris MSF terakhir
Yang kiranya menjadi catatan awal adalah bahwa Romo Wim adalah misionaris MSF Provinsi Belanda terakhir yang datang masuk ke MSF Propinsi Jawa. Ini mengingatkan kita bahwa MSF adalah salah satu kongregasi yang lahir dari pengalaman Gereja Eropa yang “gelap” pada abad 19. Namun “saat gelap” itu juga membawa berkah yakni pembaharuan hidup religius.
Salah satu hasilnya adalah munculnya gerakan misi dan lahirnya banyak kongregasi misi yang kemudian mengutus para misionarisnya ke Amerika, Afrika, Asia termasuk Indonesia. Abad itu ditandai dengan munculnya banyak perkumpulan dan asosiasi yang mendukung misi. Semangat misioner itu sangat didukung oleh Tahta Suci, khususnya Paus Gregorius XVI dan Paus Leo XIII.
Maka muncullah tarekat bruder-bruder dan suster-suster yang terlibat dalam karya misi. Sekedar catatan, akhir abad 19, ada lebih dari 44 ribu -suster dari Eropa yang telah diutus pergi ke tanah-tanah misi. Dan yang menarik: sampai tahun 1900, 67% misionaris Katolik yang berkarya bagi ad gentes itu berasal dari Perancis, tempat kelahiran Kongregasi MSF.
Muncul pertanyaan: di manakah kunci hidup baru yang penuh semangat itu?
Seorang penulis mengatakan bahwa “Apa yang memberi daya bagi karya misioner di abad 19 adalah adanya visi baru masyarakat Kristiani tentang misi. Hal ini menarik banyak orang untuk menjadi misionaris. Banyak panggilan yang muncul di dalam komunitas Kristiani yang penuh semangat untuk mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa yang belum mengenal Injil.”
Kini dengan telah berpulangnya Romo Wim ke tanahair surgawi, tidak berarti MSF Jawa berhenti. Daya tarik misi dan semangat misioner harus dibangun kepada generasi zaman now ini.
Gereja berlangsung terus menjadikan “murid-murid dari segala bangsa” (Mat 28:19). Hanya aktor penginjilan itu kini berada sepenuhnya pada orang Indonesia.
Sederap dengan Gereja di seluruh dunia, Gereja di Asia melewati ambang Milenium Kristiani yang ketiga penuh rasa takjub mengagumkan segala sesuatu yang telah dikaryakan Allah sejak awal mula hingga sekarang, merasa teguh dalam keyakinan bahwa:
“Justru seperti pada millenium pertama. salib telah ditanamkan di kawasan Eropa dan pada millenium kedua di kawasan kedua Amerika maupun di Afrika, kita dapat berdoa bahwa pada milenium ketiga tuaian iman yang besar akan dipaneni di benua yang amat luas penuh gairah ini. (EA, No. 1).
Catatan kedua adalah soal impor yang asing. Datang dari negara yang prosentase jumlah umat Katolik kecil ketimbang denominasi kristiani yang lain, Romo Wim dan para misionaris kiranya tidak terlalu kesulitan memposisikan diri mereka di Indonesia yang terus menjadi kawanan kecil (pusillus grex), minoritas sangat kecil di tengah orang yang memiliki tradisi religius lain, suatu diaspora di tengah lautan Islam.
Di tengah komunitas MSF Jawa pun, hal ini bukanlah suatu tantangan yang serius. Namun tidaklah demikian di tengah masyarakat. Mereka simbol paling kentara dari “keasingan”. Kekatolikan hingga kini tetaplah suatu gambaran “import yang asing”.
Hal ini terjadi karena aktivitas misioner yang berasal dari Eropa. Upaya misioner ini mencapai puncaknya pada periode ekspansi kolonial dan imperalisme Barat pada abad 19. Sebagaimana Paus Johanes Paulus II akui, salah satu ‘kesalahan’ yang pernah dilakukan Gereja adalah adanya sejumlah misionaris yang cenderung dekat dengan penguasa kolonial.
Apakah masih relevan membicarakan realitas ini di zaman yang kini ditandai oleh globalisasi? Kolonialisasi telah lama berlalu. Ini tetaplah relevan. Meski MSF Jawa beranggotakan orang Indonesia. Namun itu tidak berarti Kekatolikan sebagai gambaran asing telah sirna.
Gereja, institusi memiliki gaya arsitektur asing, sistem pendidikan barat, teologi rasional dan abstrak bagi orang Indonesia yang lebih suka cerita, kisah dan menyentuh emosi. Orang Katolik Jawa banyak yang miskin, namun Gereja kelihatan begitu kaya, memiliki sumber dana yang besar untuk membangun institusi dan menjalankan beragam program dan institusi. Meski kita berkarya di suatu area geografis yang sama, misionaris tetaplah berkarya dalam setting budaya yang beranekaragam (cross-culture setting). Kita terus menggali sarana (tool) agar bisa menghindari pewartaan Injil yang tanpa arti (meaningless), pewartaan yang tidak relevan (irrelevant) atau pesan yang dianggap asing dan tentu saja tidak bisa diterima (unacceptable).
Saya ingin mengutip Paus Fransiskus sebagai berikut:
“Tidaklah cukup bahwa para pewarta Injil memiliki perhatian untuk menjangkau setiap orang, Injil juga harus diwartakan kepada kebudayaan-kebudayaan secara menyeluruh… hal terpenting bagi pertimbangan kita tentang bagaimana cara terbaik menyampaikan pesan Injil kepada berbagai konteks dan kelompok budaya yang berbeda. Gereja dalam komitmennya untuk evangelisasi menghargai dan mendorong kharisma para teolog dan daya upaya ilmiah mereka untuk mengembangkan dialog dengan dunia kebudayaan dan ilmu pengetahuan” EG 133.
Apakah kita kini berani merefleksi kembali aspek ketergantungan kita? Apakah kita memang masih tergantung dengan induk Gereja di Eropa sebagaimana sering dicurigakan oleh tetangga-tetangga kita? Masih ada dependensi finansial untuk menjalankan institusi dan fungsi. Ada juga dependensi dengan Roma yang mengontrol seluruh aktivitas gereja serta mengharapkan keseragaman seturut aturan sentralistik dari kuria.
Catatan ini merupakan undangan Gereja untuk membumikan, mengakarkan iman sehingga iman ditangkap lebih indah dan mudah dengan bahasa kultural masyarakat Indonesia sendiri.
Yang bisa menjadi catatan ketiga adalah soal realitas Asia. Bergaul dengan orang Eropa menyadarkan kita akan “ke-Asia-an” kita. Realitas ini kita ketemukan dalam hidup keseharian. Namun dalam dokumen Gereja, hal ini pun disadari sebagai ‘pentakosta’ baru di Asia.
Setahun setelah Romo Wim menginjakkan diri di Indonesia, Paus Paulus VI berada di Manila tanggal 28 November 1970 dan mengatakan hal berikut ini:
“Sebagaimana Yesus Kristus berbagi keadaan dengan orang sezaman-Nya, demikian pula orang Asia bisa menjadi katolik dan tetap orang Asia secara penuh….jika Gereja menjadi katolik, pluralisme adalah sesuatu yang sah dan bahkan dikehendaki dalam cara mengakui iman satu yang sama dalam Yesus Kristus yang satu dan sama”.
Kebudayaan bukanlah penghalang melainkan melayani, aset untuk keselamatan.
Lima tahun sesudah Romo Wim menginjakkan diri di tanah Asia, para uskup Asia menggambarkan Gereja Lokal sebagai berikut:
“Untuk mewartakan Injil di Asia dewasa ini, kita mesti menjadikan pesan dan hidup Kristus sungguh berinkarnasi dalam pikiran dan hidup orang-orang…. Gereja Lokal adalah Gereja yang berinkarnasi dalam orang-orang, Gereja pribumi dan terinkulturasi. Ini konkritnya berarti dialog yang terus menerus, rendah hati dan penuh cinta dengan tradisi yang hidup, kebudayaan dan agama-agama. Ini berbagi dengan apa yang merupakan miliki masyarakat: makna dan nilai-nilai, aspirasi, pemikiran, bahasa, lagu dan seni.”
Cara menggereja yang baru
Sebagai ekseget (ahli Kitab Suci) dan teolog, kita tahu bahwa Romo Wim mengikuti arus “cara menggereja yang baru di Asia” ini.
Dalam beberapa diskusi dan seminar inkulturasi di dalam maupundi luar negeri, Romo Wim selalu memenuhi undangan dan datang sebagai narasumber. Ia memberi banyak masukan tentang proses inkulturasi di Indonesia.
Melanjutkan warisan pemikirannya, kini kita diundang untuk terus melanjutkan karya misi Gereja ini. Meski telah beberapa dekade dirumuskan, namun tema ini malah lebih sering memicu diskusi dan pemikiran para teolog dan misiolog ketimbang awam. Karenanya baik dikatakan bahwa sebagaimana bunga dan buah adalah puncak dari kehidupan tanaman, ‘pemribumian’ adalah puncak dari kekatolikan dalam kultur tertentu. “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap sebiji saja tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12; 24).
‘Pemribumian’
‘Pemribumian’ bukanlah sekedar mengambil pakaian eksternal. Jika misionaris Belanda mengira sudah menyatu dengan orang Jawa dengan menggunakan blangkon, pasti itu keliru. Dan Romo Wim rasanya belum pernah memakai blangkon dan beskap Jawa. Jika membuat desain kapel seturut arsitektur Jawa dianggap sudah cukup, pasti kliru.
‘Pemribumian’ itu bukanlah soal eksternal namun internal, menjadikan Kristus ‘asing’ dan membuat-Nya jadi ‘pribumi’ setempat agar Dia berkembang dan berbuah melimpah bagi bangsa kita.
Untuk membuat Kristus semakin berbuah dalam setiap budaya ada implikasi pencarian spiritualitas.
FABC di bidang formasi menegaskan seperti ini: “Upaya mesti dibuat untuk membangun spiritualitas Asia. Ini penting untuk menginkarnasikan pesan Kristus dalam mentalitas Asia.”
Kita perlu peka akan elemen-elemen kultur Timur: praktik tradisional tentang asketisme, ajaran etis Timur, metode Timur tentang doa dan meditasi. Dan kiranya sebagaimana keahlian Romo Wim dalam bidang Kitab Suci, kita perlu membawa Injil dan pesan-Nya hidup dalam tradisi kita.