Romo Wim van Weiden MSF: Palestina, Tempat Tuhan Menjumpai Manusia dan Berkomunikasi dengan Bahasa Ibrani (9)

0
632 views
Yerusalem dengan pemandangan Dome of the Rock. (Mathias Hariyadi)

ADA dua hal yang selalu akan saya ingat sehubungan dengan almarhum Romo Wim van der Weiden MSF.

  • Yang pertama berkaitan dengan pengaruh almarhum Romo Wim dalam bidang kerja saya sekarang ini sebagai dosen Kitab Suci di Fakultas Teologi Wedabakti Universitas Sanata Dharma (FTW USD).
  • Yang kedua, lebih luas, tetapi juga masih bisa dilihat kaitannya.

Peta buta Palestina dan bahasa Ibrani

Pertama, saya mengenal sosok Romo Wim sekitar 30 tahun yang lalu. Waktu itu,  saya menjadi mahasiswa tingkat I di FTW USD yang waktu itu masih bernama Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan.Sebagai frater diosesan KAS, bersama-sama teman seangkatan –di antaranya Mgr. Pius Riana Prapdi Pr dari Keuskupan Ketapang—saya tinggal di Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan.

Kuliah yang ditawarkan oleh Romo Wim adalah Pengantar ke dalam Perjanjian Lama. Jadwal kuliah ini berlangsung setiap hari Rabu –yang waktu itu merupakan ‘hari libur’ dan tidak ada kuliah untuk mahasiswa tingkat lainnya.

Kepada kami, para frater diosesan KAS dan lainnya, almarhum Romo Wim memperkenalkan dua hal: yang menarik, yaitu bahasa Ibrani dan peta buta Palestina.

Setiap pelajaran beliau, pasti ada acara menggambar peta buta Palestina. Karena sudah terbiasa, beberapa mahasiswa lalu berinisiatif mempersiapkan sebuah lukisan – yang jauh dari sempurna – di papan tulis.

Baca juga:  Risih Melihat Hal Tak Beres, “Maar…Maar” Romo Wim van der Weiden MSF (8)

Dua hal ini merupakan hal amat penting bagi studi Perjanjian Lama, demikian kata Romo Wim waktu itu setiap kali memberi bahan-bahan ajar kuliah di kelas.

Peta buta Palestina, kata dia, akan menjadikan  kami mulai membiasakan membaca teks dengan imajinasi, juga  membayangkan bahwa di tanah itulah Allah dan manusia telah bertemu dengan cara manusiawi. Yakni, “Sabda telah menjadi daging dan tinggal di antara kita”, misteri inkarnasi di mana Allah lahir sebagai manusia bangsa Israel dan menjadi sama seperti kita.

Peta Israel – Palestina. (Ist)

Sementara, bahasa Ibrani yang menakjubkan itu adalah sarana manusiawi yang digunakan Allah untuk berkomunikasi dengan manusia (baca: umat Yahudi pada waktu itu).

Memang di Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan dan di FTW USD  tidak diajarkan bahasa Ibrani. Tetapi saya ingat apa komentar beliau ketika sambi menulis di papan. Bunyinya kurang lebih begini: “Saya menulis ini bukan supaya kamu mengerti, tetapi supaya kalian tahu bahwa saya memang mengerti bahasa Ibrani”.

Artinya,  beliau adalah memang seorang yang punya kompetensi dalam bidangnya: studi tentang Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL) dan mengerti benar bahasa Ibrani.

Kata-kata penting bahasa Ibrani yang sering dituliskan Romo Wim adalah kosa kata seperti ini: torah, berit, betel, YHWH, Israel.

Bahkan perbedaan antara huruf kav dan bet; resh dan dalet, serta chet dan taw, entah bagaimana bisa sampai menimbulkan gema kuat dalam insting belajar saya. Karenanya,  saya lalu dimotivasi mencoba mencari bahan sendiri di perpustakaan untuk mengetahui lebih jauh tentang bahasa Ibrani.

Ketertarikan akan bahasa Ibrani inilah yang mungkin menjadi titik awal perjalanan hidup saya sehingga akhirnya saya sampai pada pelayanan saya sebagai pengajar Alkitab di FTW USD –locus pelayanan yang sama yang  pada zamannya pernah diampu oleh Romo Wim selama lebih dari 40 tahun.

Peta arkeologis Yerusalem. (Mathias Hariyadi)

Pertemuan di Roma

Pokok kedua lebih bernuansa manusiawi.

Pertemuan saya dengan Romo Wim usai saya menerima tahbisan imamat dan kemudian diutus studi Kitab Suci terjadi di Roma. Pertemuan antara mantan mahasiswa dengan dosen KSPL itu terjadi ketika saya sedang menulis disertasi.

Periode ini benar-benar periode kritis bagi saya. Kesehatan saya bermasalah sehingga beberapa kali mesti bolak balik Jakarta – Roma. Setelah penanganan medis selesai dan saya kembali menekuni karya tulis saya.

Suatu hari, saya mengunjungi Romo Wim yang saat itu sudah menjadi Superior Genderal MSF di Generalat MSF di Via Odoardo Beccari 41 Roma.

Dalam pertemuan sambil minum kopi itu, Romo Wim menasehati saya dengan rangkaian kata-kata yang tidak pernah akan terlupakan.

Kata beliau kepada saya waktu itu kurang lebih seperti ini: “Romo, dalam situasi kesehatan seperti ini, pentinglah untuk tidak terlalu takut. Tetapi juga tidak terlalu berani (dalam berkegiatan).”

Separuh jalan

Nasehat ini sampai saat ini saya pegang teguh. Saya sadari betapa tidak mudah berada di posisi tengah seperti itu.

Buat saya, P. Wim bukan hanya guru yang (sungguh-sungguh) berkompeten pada bidangnya, tetapi juga seorang bapak yang sederhana yang senantiasa memperhatikan anak bimbingnya.

Satu harapan tersirat yang sayangnya belum terlaksana sampai sekarang adalah harapan akan adanya seorang doktor tafsir Kitab Suci dari Institut Biblicum Roma.

Sampai saat ini, beliau adalah satu-satunya doktor dari institut tersebut di Indonesia. Maaf Romo Wim…saya hanya bisa sampai separo jalan saja.

Terima kasih atas segala inspirasinya memperkenalkan dunia Semit kuno kepada saya. Todah rabah!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here