Renungan Harian
Jumat, 3 September 2021
PW. St. Gregorius Agung.
Bacaan I: Kol. 1: 15-20
Injil: Luk. 5: 33-39
“AKU mengenalnya sebagai seorang aktivis yang kharismatis. Pembawaannya yang tenang, kalem.
Tetapi kalau mulai berbicara, luar biasa. Aku kagum padanya, bahkan sejak aku mengenal dia pertama kali, aku berpikir bahwa aku beruntung seandainya dia menjadi pendamping hidupku. Maka ketika dia menyatakan cintanya padaku, aku jadi berbunga-bunga.
Selama pacaran, ia sungguh-sungguh perhatian, dan aku merasakan bimbingannya sehingga merasa lebih baik dan jadi berkembang.
Semua itu menjadikanku semakin kagum dan yakin dengannya. Sehingga saat dia melamarku dengan mantap aku menerima lamarannya.
Sejak itu aku sudah membayangkan keluarga indah yang kubangun bersamanya.
Setelah menikah, aku tidak membatasi aktivitasnya, karena aku amat mengerti tentang dia.
Ia bekerja sampai sore, kemudian dilanjutkan dengan berbagai aktivitas. Sehingga kami bertemu saat sudah malam, tetapi tidak mengurangi cara kami berkomunikasi dan berefleksi di akhir hari.
Hidup perkawinan kami semakin indah, dengan hadirnya buah hati kami. Kami berdua bersyukur dan bangga dengan anugerah besar ini.
Kami bersama-sama mendampingi tumbuh kembang anak kami.
Namun, aku mulai merasakan perubahan perilaku dari dirinya. Aku merasakan itu sejak dia memutuskan keluar dari tempat kerjanya, dan mencoba untuk usaha sendiri.
Ia bukannya sibuk dengan membangun usahanya, tetapi semakin menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Hampir setiap hari ia penuh dengan berbagai kegiatan sana sini.
Aku tahu ia banyak tampil di sana-sini dan menjadikan dirinya lupa dengan keluarga.
Aku merasa sekarang dia hidup untuk aktivitasnya, sedang kami seolah-olah tidak ada. Setiap kali aku bicara selalu menjadi pertengkaran.
Akhirnya aku sungguh-sungguh tidak tahan. Aku bekerja dari pagi sampai sore, dan aku sekarang menjadi tulang punggung keluarga, tetapi masih harus mengurus rumah dan anak.
Sementara ia sibuk dengan berbagai kegiatannya. Aku tidak keberatan dia tidak bekerja; aku juga tidak pernah keberatan dia berkegiatan.
Aku hanya ingin, dia juga memikirkan rumahtangga kami. Saya sampai merasa bahwa dia berkegiatan ini untuk melarikan diri dari situasi yang ada.
Saya mengatakan padanya:
“Seharusnya kamu mengutamakan keluarga, bukan aktifitasmu. Untuk apa kamu aktif di sana-sini, tetapi rumah ini berantakan.
Sadar, kamu ini sudah punya isteri dan punya anak, bukan bujangan lagi. Saatnya berpikir tentang kami.
Jangan hanya berpikir tentang dirimu sendiri, tetapi pikir juga kami. Bukan hanya mereka yang di luar itu yang butuh kamu, aku dan anakmu ini juga butuh kamu.
Kamu jangan berpikir dirimu seorang aktivis saja, tetapi berpikirlah juga bahwa kamu adalah seorang suami dan seorang ayah.
Kalau kamu seperti ini, rumahtangga kita akan hancur; aku tidak tahan lagi. Untuk apa kamu tampil “gemerlap dari panggung ke panggung” tetapi hanya untuk melarikan diri dari kenyataan dan mengurbankan keluargamu.”
Ia hanya diam dan tidak menjawab sepatah kata pun.
Semoga omonganku didengar, direnungkan dan menjadi bahan refleksinya. Sebagaimana dia dulu mengajariku untuk berefleksi.”
Seorang ibu memuntahkan keluh kesahnya.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Lukas, Yesus menyampaikan perumpamaan, mengisikan anggur baru dalam kantong kulit yang tua, sehingga mengoyakkan kantong tua itu, sehingga anggurnya terbuang dan kantongnya pun hancur.
Bagaimana dengan aku?
Apakah aku juga berani selalu memperbaharui hidupku dengan cara yang baru pula?