SEEKOR burung kecil bertengger di tirai di dalam kamar tamu biara kami. Sementara itu, burung-burung sejenisnya masih bebas berkicau, terbang dan melompat di ranting-ranting pepohonan halaman biara.
Secara spontan, saya tergerak mau membebaskan burung kecil itu. Sambil mencari cara untuk bisa membebaskannya, saya bertanya dalam hati:
“Mungkinkah burung kecil ini mau keluar ruangan, tapi tidak bisa karena pintu ruangan tertutup sejak tadi pagi?”
Saya mencoba mengulurkan tangan untuk menangkapnya. Tapi burung kecil ini justru terbang masuk ke ruangan lain dan bersembunyi di balik tirai kamar ruang pertemuan komunitas.
Saya coba menggiringnya ke pintu depan yang sudah saya buka lebar. Namun si burung ini terbang lagi dan menabrak kaca jendela.
Sambil tersenyum, saya bertanya: “Hai burung kecil saya mau membantumu supaya kamu bisa berkicau dan berkumpul dengan teman-temanmu di luar sana, kenapa tidak mau?”
Saya tetap berusaha mencari cara, agar si burung kecil ini bisa keluar sendiri.
Pintu-pintu dan semua jendela saya buka, dengan harapan si burung kecil mau keluar lewat salah satu pintu atau jendela yang sudah terbuka lebar.
Namun apa yang terjadi, ketika saya menggiring kembali menuju pintu atau jendela yang sudah terbuka, burung ini justru terbang semakin tidak terkendali, menabrak tembok sana-sini dan akhirnya masuk ke kamar mandi yang ada di dekat ruang makan.
Dengan gerak cepat saya masuk ke kamar mandi di mana burung kecil ini sudah bertengger di kapstok gantungan baju.
Pintu saya tutup.
Dalam ruangan kamar mandi yang kecil ini, saya menangkap si burung kecil dengan mudah, namun burung ini pun meronta dan terlepas lagi.
Wah…, lalu saya sedikit berteriak, “Halo saya ini mau membantumu.”
Si burung kecil terbang dan menabrak tembok dan kemudian jatuh tepat ke dalam bak mandi yang masih terisi setengah air di dalamnya.
Akhirnya si burung kecil tertangkap tidak berdaya.
Saya menangkapnya pelan-pelan dan dengan lembut saya mengatakan:
“Hai burung kecil, saya ini mau membantumu, membebaskanmu.”
Si burung kecil saya bawa keluar menuju halaman depan. Salah satu suster yang melihat saya membawa burung menyarankan supaya burung itu diberikan kepada anak-anak penghuni panti.
Spontan langsung saya jawab: “Wah…, itu malah bahaya Suster. Bisa-bisanya nanti burungnya malah dibakar oleh anak-anak jadi lauk. Seperti yang sudah-sudah.”
Si burung kecil akhirnya saya lepaskan. “Sekarang kau bebas, berkicaulah yang indah bersama teman-temanmu”.
Hati saya jadi ikut lega.
Saya pandangi sejenak, burung itu, seperti burung lainnya, bisa kembali berkicau dan melompat-lompat dari ranting yang satu ke ranting lainnya.
Sungguh indah.
Retret online
Pengalaman sederhana ini, saya alami, di hari ketiga mengikuti retret secara online berama Romo Wardisaputra SJ dengan tema “Abdi Kristus Bangkit, Meretas Batas, Melayani dengan Hati”.
Ini adalah pengalaman pertama menjalani retret tahunan secara online yang disebabkan oleh pandemi. Namun, saya justru mengalami sesuatu yang bermakna dalam situasi sulit ini.
Ada sesuatu yang menantang, ada sesuatu yang menggerakkan hati dan jiwa untuk bergerak keluar.
Ada sesuatu yang menjadi bahan permenungan tiada henti tentang makna hidup panggilan sebagai religius. Secara khusus sebagai seorang suster biarawati Kongregasi Abdi Kristus (AK)
Berkat si burung kecil
Si burung kecil telah menyadarkan saya akan panggilan saya sebagai religius suster biarawati Abdi Kristus (AK).
Sudah saatnya saya harus berani keluar dari sesuatu yang “seolah-olah membuat saya nyaman”.
Pengalaman berbenturan dengan kesulitan-kesulitan jangan sampai mematikan diri saya dengan memilih untuk menjadi tidak berdaya. Kini, sudah saatnya bangkit membuka diri, membangun bangunan rohani bersama dimulai dari komunitas.
Komunitas menjadi sumber kekuatan yang membebaskan, jika di dalamnya ada keterbukaan, kepekaan dan kepedulian yang bersumber dari Allah Sang, sumber kekuatan.
Saya akan dimampukan untuk bangkit, meretas batas melayani sesama dengan hati, jika hati saya terlebih dulu terbebaskan dari belenggu diri yang seolah-olah membuat saya nyaman seperti burung kecil itu yaitu rasa takut, sulit mengampuni, sakit hati, rasa kurang percaya diri dan prasangka buruk.
Dan yang sering kali menjadi penghambat diri untuk mengalami kebebasan adalah jika saya merasa kuat, tidak membutuhkan pertolongan sesama, baik dari komunitas maupun dari luar komunitas.
Sadar diri
Dunia yang semakin penuh dengan berbagai macam permasalahan ini, membuat saya semakin sadar bahwa Allah sungguh hadir melalui sesama yang dengan tulus terlibat menjadi saluran Berkat-Nya, bersama saya mau terbuka mengulurkan Kasih Allah bagi sesama; terutama bagi mereka yang lemah dan tak berdaya.
Dengan pertolongan Bunda Maria Hamba Allah dan Ratu Pencinta Damai, saya selalu mengarahkan diri saya agar selalu memperbaharui diri dan dibebaskan dari belenggu keterikatan diri.
Sehingga saya pun lalu juga dimampukan Allah untuk bersama sesama, saling membebaskan -dengan perkataan dan perbuatan yang membawa damai dan pengharapan- dengan cara Allah sendiri.
Kehadiran saya sebagai religius suster biarawati Kongregasi Abdi Kristus diharapkan menjadi tanda dan kesaksian. Yani, bahwa Allah Sang Sumber Hidup penuh kasih itu ada, hadir dan menyertai kita semua dalam situasi apa pun.
Video refleksi ini bisa diakses di sini.